Muhammad Iqbal adalah penyair-filsuf India awal abad ke-20. Terilhami oleh pemikiran Eropa dan Islam, Iqbal menolak baik konsepsi kemajuan Eropa maupun pola budaya Islam kontemporer di India. Dia mengajak “kaum Muslim sejati” untuk melawan mullahisme, mistisisme, dan monarki, serta melawan cara-cara asing.
Dalam konteks luas, Iqbal menyeru kepada semua manusia untuk bangkit mengatasi cara-cara tradisional serta ide-ide dan teknologi Barat guna menemukan kreativitas, semangat, dan keautentikan diri mereka sendiri.
Lahir di Punjab pada 1873 dari keluarga Muslim, Iqbal sudah menunjukkan keistimewaan sebagai pelajar dan penyair, sebelum pergi ke Lahore pada 1895 untuk belajar di college Pemerintah. Di sana, dia belajar kebudayaan Islam dan kesusastraan literatur Arab dari seorang orientalis Inggris terkemuka, Sir Thomas Arnold. Pada pergantian abad, dia berhasil meraih gelar master dalam filsafat dan mulai memberikan kuliah, akan tetapi dia menyadari keterbatasan kehidupan akademik, dan posisinya sebagai pegawai pemerintah telah mencampakkan bakatnya di bidang kedokteran.
Dalam masa-masa itu dia menulis puisi bergaya tradisional ihwal alam dan cinta dalam lirik khas Urdu. Tulisan-tulisannya melukiskan pertumbuhannya sebagai seorang Muslim, studinya tentang kebudayaan Islam, minatnya terhadap tasawuf melalui abahnya, ketertarikannya terhadap kebangkitan Islam masa itu (Sayyid Ahmad Khan, Jamaluddin al-Afghani), dan komitmennya pada nasionalisme India berdasarkan solidaritas Muslim-Hindu.
Iqbal berangkat belajar ke Eropa selama 3 tahun; pertama-tama di Cambridge bersama seorang filosof neo-Hegelian, JME McTaggert, lantas di Heidelberg dan terakhir di Munich. Dia keluar Eropa dengan gelar sarjana hukum dari Inggris dan gelar doktor dari Jerman dengan tesis tentang mistisisme Persia. Fakta yang lebih penting adalah dia menguasai pemikiran Eropa secara mendalam, sejak teologi Thomas Aquinas hingga filsafat Henri-Louis Bergson dan Nietzsche.
Meski sejak itu bekerja sebagai seorang ahli hukum, Iqbal lebih diakui sebagai penyair dan filosof. Dia diberi gelar kebangsawanan pada 1922, terpilih menjadi anggota Dewan Legislatif pada 1926, ditahbiskan sebagai presiden Liga Muslim pada 1930.
Iqbal mewanti-wanti Liga Muslim bahwa India tidak akan dapat mengatasi pelbagai perbedaan yang timbul untuk menjadi bangsa tunggal yang utuh. Namun, dia menyerukan kerjasama antarkelompok agama. Ide ini akhirnya dikenal sebagai “Rencana Pakistan”, meskipun Iqbal sendiri tidak pernah mendukung nasionalisme sempit dalam bentuk apa pun. Banyak pihak yang memanfaatkan idenya itu untuk melahirkan negara Muslim Pakistan, dan Iqbal diakui secara umum sebagai “Bapak” Pakistan modern. Dia sakit pada 1934, dan akhirnya meninggal pada 1938, hampir satu dekade sebelum India meraih kemerdekaan dan Pakistan memisahkan diri.
Transformasi Radikal
Iqbal percaya bahwa Dunia Muslim pada dekade pertama abad 20 memerlukan transformasi. Namun, radikalisme Iqbal lebih kuat tinimbang sekadar melawan aturan penjajah Inggris. Sebagaimana penggagas-penggagas teori keautentikan Eropa, Iqbal menyerukan perlawanan terhadap kekangan tradisi dan kemodernan yang melanda India dan bagian-dunia non-Eropa lainnya. Dalam puisinya berjudul “Revolusi”, dia mengulangi seruannya, “Eropa adalah kematian bagi jiwa dan Asia adalah kematian bagi kehendak.” Dia mencari keselamatan bagi jiwa dan kehendak melalui transformasi radikal kondisi manusia.
Iqbal mendukung ide Jamaluddin al-Afghani ihwal negara Islam, tetapi dia tidak mengagumi cara hidup Eropa sebagaimana dilakukan rekan-rekan senegaranya. Iqbal menulis:
Jadi, karena sepenuhnya oleh pelbagai hasil aktivitas intelektualnya, manusia modern telah berhenti hidup dengan jiwa, yakni hidup dari dalam. Dalam ranah pemikiran, dia hidup dalam konflik terbuka dengan dirinya sendiri; dan dalam ranah kehidupan politik dan ekonomi, dia hidup dalam konflik terbuka dengan orang lain. Manusia menemukan dirinya tidak mampu mengontrol egoisme yang kejam dan kehausannya pada kekayaan yang tak terpermanai, yang lambat laun membunuh semua kehendak yang lebih tinggi dan membawanya pada hidup yang melelahkan. Terserap dalam “fakta”, sebutlah begitu, sumber sensasi yang hadir secara optis, dia terputus sama sekali dari wujud dirinya sendiri yang terdalam.
Dalam pandangan Iqbal, manusia diasingkan oleh pemisahan tubuh fisik dari idenya sendiri, yang mendapat momentumnya sendiri. Hidup mereka dibebani oleh ideologi dan lembaga yang dilahirkan oleh imajinasi mereka sendiri, dan kehilangan semua sentuhan dengan momen kreatif dari mana mereka tumbuh. Dalam abad positivistik, mereka menggandrungi data dan yang statis, mati, dan berjarak, sedangkan kehidupan, bagi Iqbal, adalah sesuatu yang bergerak dan akrab. Metode induktif di kalangan orang Eropa lahir bukan dari logika, melainkan dari kreativitas. Kreativitas itulah menurut Iqbal, yang telah hilang dari manusia modern. Tuntutan akan eksplorasi hingga kedalaman terakhir adalah tuntutan akan keautentikan.
Islam Autentik
Menurut Robert D. Lee dalam Overcoming Tradition and Modernity: the Search for Islamic Authenticity (Westview Press, 1997), Iqbal menegaskan bahwa seruan pada revolusi autentik sebagai jalan keluar bagi kemodernan tidak boleh dikacaukan dengan kecenderungan pada masyarakat tradisional, atau dengan keinginan untuk membangkitkan masa lalu. Dia tidak mendukung keduanya. Dalam karya Iqbal Javid Nama, Jiwa India mengeluh bahwa orang India “telah terasing dari dirinya sendiri: mereka telah membuat penjara dari kebiasaan-kebiasaan masa silam.”
Iqbal mencela konvensionalisme sebagai “pembunuh diri sendiri” dan berkata bahwa mereka “yang mengabaikan jalan tradisi” adalah pengikut jalan sejati para nabi. Dia memandang bahwa tradisi-tradisi kontemporer Timur bersikap pasif di hadapan imperialisme, mengakomodasi cara-cara asing, dan eskapisme, semua itu ditumbuhkan oleh kemapanan religius dan politik serta ordo-ordo sufi. Iqbal terus-menerus mengkritik para mullah–kalangan terpelajar yang kolot, berpikiran kerdil, dan menjauhi dunia–yang dipandangnya tak selaras dengan dunia Islam. Dalam Javid Nama, Said Halim Pasya menilai mullah: “Bervisi pendek, buta rasa, membual, argumen serampangannya memecah belah komunitas.”
Iqbal mengatakan bahwa seorang mullah bakal menemui surga yang membosankan karena tidak ada lagi orang yang mau diajaknya bertengkar untuk hal remeh temeh. Meskipun berkomitmen terhadap Sufi soal preferensi hati dan cinta atas pikiran, Iqbal keberatan terhadap mistisisme neo-Platonis karena meninggalkan dunia. Keberatannya terhadap monarki terhitung standar: melanggar prinsip-prinsip Islam dan praktik Islam pada masa Muhammad dan para penerus awalnya.
Ketika membandingkan tradisi Islam yang sedang berjalan dengan Islam menurut Alquran dan Muhammad, Iqbal menemukannya berkekurangan dalam hal kebenaran, imajinasi, dan heroisme. Bahwa kaum Muslim telah diseret menuju cara-cara Eropa menunjukkan kelemahan tradisi yang berlaku. Dia memandang bahwa imprealisme bukan hanya menjajah wilayah, melainkan juga cara-cara mengada, dan karenanya Iqbal mengkritik kaum Muslim sendiri sebagaimana mencela orang-orang Eropa. Muslim telah menjadi domba, menerima bukan hanya ketergantungan ekonomi dan politik, melainkan juga kebergantungan psikologis, “Pikiranmu jadi tawanan pikiran orang lain/musik orang lain mengalun dalam kerongkonganmu/suaramu sendiri tertelan/dan hatimu dipenuhi aspirasi yang bukan milikmu.”
Dunia tradisional Timur telah terkolonisasi. Masa kini tidak juga memberi inspirasi. “Masjid, sekolah, dan kedai minuman, semuanya mati,” ujar Iqbal. Hanya dengan mengaji kedalaman diri mereka sendiri yang tak berhingga, kaum Muslim sanggup menemukan kembali zaman kejayaan Islam.
Iqbal memandang Muhammad sebagai seorang revolusioner yang tidak menggunakan kekerasan untuk mengubah dunia. Iqbal mengagumi zaman-zaman awal Islam karena peran revolusionernya dalam persoalan-persoalan manusia, tetapi dia tidak mendukung gerak kembali ke kondisi-kondisi primitif zaman itu. Yang dikaguminya adalah semangat Muhammad dan sahabat-sahabatnya, serta respons kreatif mereka terhadap wahyu dan kenyataan.
Iqbal mengajak kaum Muslim untuk menangkap kembali semangat itu dan bertindak dengan cara revolusioner serupa. Revolusi selalu meminta harga nyawa manusia dan dia percaya bahwa memang itu yang harus dibayarkan. Iqbal mengagungkan-agungkan kekuatan, kekuasaan, kehebatan militer dan kekerasan, sehingga seperti itu menjadi tidak terelakkan.
Dus, semangat revolusioner pemikiran Iqbal membawanya memasuki kancah politik praktis. Dukungan penuhnya terhadap otonomi Muslim di India ikut berperan melahirkan negara baru Pakistan, kendati dia juga mencela nasionalisme teritorial. Dia bersikap toleran terhadap agama lain, tetapi mendukung penindasan atas Ahmadiyah Qadian karena mengancam kesatuan umat Muslim. Pemikiran-pemikiran seperti ini mengundang inkonsistensi.
Fazlur Rahman berargumen bahwa kontradiksi ini justru mencerminkan kesatuan mendasar dalam pemikiran Iqbal. “Bagi kita … tidak ada kontradiksi di dalam pesan universalistik Iqbal di satu sisi dan kehendaknya yang kuat dan keyakinannya yang tak tergoyahkan pada Komunitas Muslim masa kini.” Jadi, watak “pesan universalistik” itulah yang dikemas dalam keunikan dan bukan dalam universalitas, yang melahirkan tekanan-tekanan dalam politik Iqbal.
Arkian, teori Iqbal bersifat autentik karena tunduk pada verifikasi intuitif oleh sosok orang yang reflektif; teori ini secara autentik bersifat Muslim karena, menurutnya, selaras dengan semangat utama keyakinan Islam.