Al-Biruni tergolong ilmuwan jenius yang langka; dia menguasai pelbagai cabang sains: ilmu alam, ilmu pasti, ilmu sosial, ilmu agama, ilmu budaya, dan filsafat. George Santon menahbiskannya sebagai Leonardo da Vinci-nya Islam, namun seorang penulis sejarah sains lainnya malah menjuluki Leonardo da Vinci sebagai al-Biruni-nya Kristen.
Al-Biruni merupakan ilmuwan besar yang banyak sekali melakukan eksperimen-eksperimen dalam pelbagai disiplin ilmu pengetahuan ini, hidup enam ratus tahun sebelum Galileo Galilei. Al-Biruni menulis lebih dari 200 buah karya ilmiah, banyak di antaranya merupakan pembahasan ihwal pelbagai eksperimen yang dia lakukan.
Karya-karya ilmiah al-Biruni itu mencapai 13.000 halaman (tidak termasuk yang hilang), jauh melampaui karya yang ditulis oleh Galileo atau, bahkan, kombinasi Galileo dan Newton sekaligus. Mungkin saja, tak ada seorang pun dalam dunia Islam yang mampu mengawinkan kualitas seorang saintis besar dengan cendekiawan nan cermat, penyusun dan sejarawan setingkat al-Biruni.
Abu ar-Raihan Muhammad bin Ahmad bin al-Biruni–berasal dari sebuah keluarga berkebangsaan Iran. Dia lahir pada 973 M di pinggiran kota Kath, ibu kota Khawarizm. Di kampung halamannya, al-Biruni menekuni pelbagai disiplin ilmu pengetahuan dari tokoh-tokoh seperti Abu Nashr Mansur bin Ali bin Iraq Jilani dan Abu al-Wafa, ahli matematika, fisika, astronomi.
Dia banyak melakukan perjalanan di daerah utara Persia. Sempat menetap di Jurjan, sebelah tenggara Laut Kaspia, lalu dia melanjutkan pengembaraannya mencari ilmu hingga ke Rayy, dekat Teheran.
Sejak itulah, al-Biruni menelurkan karya-karya besarnya dalam bidang matematika, astronomi, mineralogi, fisika, farmasi, biologi, geografi, bahasa, sejarah, dan perbandingan agama.
Al-Biruni sempat mengikuti ekspedisi militer Sultan Mahmud dari Ghana ke India, dan dalam perjalanan itulah dia mempelajari bahasa Sansekerta dan berbagai ragam dialeknya, serta tradisi dan agama di India.
Sepulang perjalanan itu, dia menulis karya masyhur, Description of India yang kemudian disempurnakan pada 1030 M dengan judul Kitab Tarikh al-Hind atau al-Biruni’s India. Menurut Seyyed Hossein Nasr (1968), naskah al-Biruni itu merupakan uraian terbaik mengenai agama Hindu, sains dan adat-istiadat India dalam Abad Pertengahan.
Ilmuan yang menurut Nasr (1968), dianggap oleh beberapa ahli sebagai saintis muslim terbesar itu berkesempatan melakukan korespondensi dengan Ibnu Sina, tokoh ilmuwan-filsuf muslim yang terkenal. Dalam korespondensi itu, terjadi diskusi dan perdebatan ilmiah antara eksperimentalis besar al-Biruni dengan cendekiawan-filsuf Ibnu Sina. Al-Biruni terkenal sebagai sarjana yang mempunyai pikiran-pikiran orisinal ini juga terkenal sebagai seorang ulama. Dia meninggal di Ghazna, Afganistan pada 1050 M.
Al-Biruni memberikan sumbangan yang amat berarti bagi perkembangan sains. Dia meletakkan dasar-dasar metode ilmiah persis seperti dalam pengertian modern.
Penelitian ilmiah dimulai dari masalah, baik masalah teoritis maupun praktis, lalu setelah permasalahannya dirumuskan, ilmuwan mengajukan hipotesis yang siap diuji melalui eksperimen dan observasi. Tujuan akhir penelitian itu, menurut al-Biruni, adalah penarikan simpulan terhadap permasalahan yang diteliti, baik berupa teori dan penemuan baru, maupun peneguhan teori lama. Hipotesis diperoleh melalui jalan deduktif, yakni menyoroti masalah khusus dengan teori umum yang ada. Sedangkan penarikan simpulan diperoleh melalui logika induktif, yaitu membuat pernyataan umum dari peristiwa khusus.
Sebuah contoh sederhana dikemukakan di sini. Al-Biruni menemui masalah tentang gravitasi mayapada. Dia tidak sepakat dengan fisika Yunani yang mengimpresi bahwa hanya benda-benda tertentu saja yang jatuh ke mayapada, yaitu benda-benda yang berasal dari mayapada seperti batu, logam, kayu, dan lain sebagainya.
Menurut tradisi fisika Aristotelian, benda-benda ether, seperti udara dan api, bergerak ke atas karena mereka berasal dari langit. Spekulasi mereka itulah yang dikritik oleh al-Biruni. Melalui observasi awal, al-Biruni mengajukan hipotesis bahwa seluruh benda ditarik oleh gravitasi yang berasal dari pusat mayapada. Hanya saja, besar gravitasi terhadap benda-benda itu berbeda-beda, tergantung pada apa yang dia sebut sebagai specific gravity (gravitasi khusus, berat jenis).
Nah, untuk membuktikan hipotesis itu, al-Biruni merancang serangkaian eksperimen seraya mengembangkan metode dan peralatan yang memadai. Dia menemukan alat-alat untuk mengetahui specific gravity logam-logam, benda-benda cair, dan benda-benda yang larut dalam air.
Metode yang dipakai al-Biruni dalam menghitung specific gravity itu tetap terpakai sampai sekarang. Dari penelitiannya perihal peristiwa jatuhnya benda ke mayapada, al-Biruni menyimpulkan bahwa:
(1) seluruh benda memiliki specific gavity (berat jenis) yang berhubungan dengan tarikan pusat mayapada;
(2) setiap benda memiliki berat jenis yang berbeda-beda; dan
(3) benda yang lebih berat bergerak jatuh lebih cepat tinimbang benda yang lebih ringan.
Terhadap simpulan butir ketiga itulah, Galileo memperbaharui penemuan al-Biruni. Galileo berpendapat, juga melalui eksperimen-eksperimen, bahwa seluruh benda memiliki kecepatan jatuh yang sama, bila pengaruh gaya luar seperti angin dihilangkan (ruang hampa adalah kondisi sempurna); jadi, tidak tergantung dari berat benda itu.
Eksperimen al-Biruni, bahwa seluruh partikel, besar ataupun kecil, ditarik oleh gaya gravitasi oleh pusat mayapada merupakan penemuan ilmiah yang signifikan. Tanpa penemuan al-Biruni itu, tidak akan ada Galileo, Copernicus dan Newton.
Cabang matematika yang amat dikuasai oleh al-Biruni adalah geometri dan trigonometri. Penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Nasional Mesir untuk UNESCO (1986) terhadap karya-karya al-Biruni menemukan bahwa terdapat teori-teori dan asumsi-asumsi geometri di samping metode-metode orisinal pembuktiannya, yang berbeda dengan metode-metode dari para matematikawan Yunani. Contoh, naskah tentang cara perhitungan tali busur jika diketahui panjang busur, pembuktian baru ihwal luas sebuah segitiga dengan mengukur panjang sisi-sisinya.
Komisi itu juga mengutip pernyataan D.E. Smith yang menyebutkan bahwa al-Biruni adalah matematikawan paling cemerlang pada zamannya. Dia membahas pembagian sudut menjadi tiga bagian yang sama besarnya, dan dia juga adalah penemu prinsip menggambar di atas permukaan benda yang bulat.
Sedangkan dalam trigonometri, al-Biruni bersama matematikawan muslim lainnya seperti al-Battani, Abu al-Wafa’, Nashir al-Din al-Thusi diakui sebagai para pelopor rumus trigonometri. Komisi Nasional Mesir untuk UNESCO (1986) menyatakan bahwa nilai geometri dipandang sebagai milik Yunani, maka trigonometri harus dianggap milik Arab (ilmuwan Muslim). Ilmuwan Muslimlah yang membahas ilmu itu secara ilmiah dan teratur.
Mereka menggunakan istilah sinus untuk mengganti istilah “benang yang panjangnya dua kali busur”, yang amat efektif dalam mempermudah penyelesaian banyak masalah matematika. Mereka jugalah yang mula-mula mengenalkan istilah tangent dalam rasio-rasio segitiga.
Menurut Komisi itu, buku-buku al-Biruni memperlihatkan bahwa dia sangat menguasai trigonometri, hukum proporsi-proporsi sinus dan tangent. Bahkan dia telah melakukan penelitian-penelitian untuk menentukan nilai tali busur, sinus dan busur yang lengkung, dan tentang sektor yang bulat dan rasio-rasio antara sinus-sinusnya.
Sebagaimana yang telah ditunjukkan di atas, sumbangan penting al-Biruni terhadap trigonometri adalah ditemukannya sebuah dalil yang sangat membantu perhitungan-perhitungan segitiga. Dalil itu disebut dengan Dalil Sinus.
Melalui keterampilannya dalam trigonometri, al-Biruni juga telah menghitung jarak keliling bumi dengan hasil perhitungan yang akurat dibanding dengan pengukuran/perhitungan modern. Hasil perhitungan al-Biruni adalah 25.000 2/7 mil yang setara dengan 40.225 km (bandingkan dengan hasil perhitungan modern: 40.074 km).
Al-Biruni memberikan sejumlah kontribusi orisinal untuk sains geologi dan geografi. Pertama, dia menjelaskan secara ilmiah asal-usul dan proses pembentukan karang, batu dan mineral. Kedua, al-Biruni memperkenalkan pengukuran-pengukuran geo-detik dan menentukan dengan teliti koordinat-koordinat dari banyak tempat (membuat peta bumi). Ciri khas peta bumi miliknya adalah menempatkan bagian selatan bumi pada sisi atas.
Selain itu, al-Biruni juga meninggalkan karya-karya ilmiah yang sangat baik perihal telaah-telaah sejarah, adat-istiadat, dan perbandingan agama. Deskripsi dan analisa yang dia buat diakui oleh para sarjana sedemikian objektif, akurat dan komprehensif.
Karyanya, Tarikh al-Hind, sampai awal abad ke-20 masih dipelajari dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Sungguh ironis, jikalau Indonesia–sebagai umat Muslim terbesar di dunia saat ini–tidak mau meneladani, apalagi tak mengenal sosok al-Biruni.