Sedang Membaca
Hikayat Mughal
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Hikayat Mughal

Kerajaan Mughal didirikan oleh penakluk Turki dari Asia Tengah, Babur (1483-1530). Dia mengklaim sebagai keturunan langsung Genghis Khan dan Timur Lenk. Silsilah ini membuat Babur yakni, bahwa dirinya akan memimpin kerajaan besar.

Akan tetapi, awal masa kepemimpinannya di negara kecil sang ayah di Uzbekistan tidak terlalu berhasil. Dia kehilangan kontrol atas kota utama Samarkand serta tanah nenek moyangnya di lembah Fergana, lantas dipaksa mengucilkan diri dengan sekelompok kecil pengikut.

Akhirnya, Babur mampu mengukuhkan diri sebagai penguasa kota Kabul di dataran tinggi Afghanistan dengan memanfaatkan perpecahan dan halai-balai di wilayah itu. Dari tempat ini, dia sering mencoba menaklukan tanah asalnya di Asia Tengah, terkadang dengan bantuan Safavid, tetapi tidak berhasil.

Babur kemudian mengalihkan perhatian ke seberang pegunungan Hindu Kush dan masuk ke India. Titimangsa 1542, dia menyerang kesultanan Delhi yang saat itu di bawah kendali Dinasti Lodhi. Dalam Perang Panipat (1526), secara mutlak Babur mengalahkan satu-satunya negara Islam di India dan mengangkat diri menjadi raja Delhi.

Menurut sejarawan Michael H. Fisher dalam bukunya, A Short History of the Mughal Empire (2016), pada akhir abad keenam belas, kerajaan Mughal memperluas jangkauannya hampir ke seluruh anak benua India.

Dalam banyak kasus, penguasa lokal dibiarkan tetap berkuasa dengan imbalan membayar kesetiaan kepada Mughal. Di negeri yang begitu beragam dan terpisah, penetapan politik semacam itu diperlukan bagi stabilitas negara imperial.

Tidak seperti nenek moyangnya, Timur Lenk, yang menyerbu India, tetapi tidak pernah mendirikan kerajaan yang bertahan lama, negara Babur di anak benua akan bertahan selama berabad-abad. Negara ini disebut kerajaan Mughal, yang mengacu pada warisan Mongol. Namun, budaya dan tradisi Mongol hanya memainkan peranan kecil. Alih-alih, kerajaan ini berfungsi sebagai wadah penyatuan Arab, Turki, Persia, dan India.

Mirip seperti kerajaan Ottoman yang sezaman, kerajaan Mughal menyatukan beragam manusia dan tradisi. Lazim bagi seorang Hindu di kerajaan Mughal membaca dan menulis dalam bahasa Persia –bahasa sastra di sebagian besar dunia Islam– atau bagi seorang arsitek muslim Persia terinsipirasi oleh bangunan Hindu India.

Baca juga:  Kisah Kedermawanan Bangsa Arab di Bulan Ramadan

Seorang murid arsitek besar Ottoman, Mimar Sinan, pergi ke kerajaan Mughal untuk terlibat dalam pembangunan Taj Mahal yang legendaris. Secara khusus, India menarik bagi ulama muslim dari bagian dunia Islam lain, yang melihat peluang di wilayah ini untuk menyebarkan Islam dengan berdakwah.

Suasana percampuran budaya mencapai puncaknya pada masa Kaisar Akbar (memerintah pada 1566-1705). Dengan menganggap dirinya pencinta seni dan seorang intelektual, dia giat mendukung cendekiawan tanpa memperhatikan latar belakang budaya dan agama mereka.

Dia masyhur kerap mewadahi debat dan diskusi antarcendekiawan berbagai agama di istananya. Pemuka agama Hindu, Buddha, Kristen, dan Yahudi diundang untuk mendiskusikan konsep Tuhan dan agama mereka dengan ulama muslim.

Akbar lalu merumuskan teori keagamaannya sendiri, yang dalam penalarannya dapat menjembatani kekosongan antarpelbagai tradisi. Dia menyebut agama barunya sebagai Din-e Ilahi atau “Agama Tuhan”. Islam yang monoteis dan Hindu yang polities pada dasarnya bukanlah teologi yang cocok. Hasilnya, agama Akbar cenderung fokus pada perilaku pribadi tinimbang masalah ketuhanan.

Ulama tradisional Islam merasa tersinggung dengan perilaku Akbar, serta menyatakannya sebagai hujatan dan keluar dari batas-batas Islam. Pada akhirnya Din-e Ilahi tak pernah populer. Para pengikut agama ini tampaknya hanya ingin mendapatkan keuntungan dari sang raja. Agama baru ini tidak bertahan pasca suksesi Akbar. Toh, eksistensinya yang singkat membuktikan adanya percampuran budaya, sosial, bahkan keagamaan tingkat tinggi dalam keragaman Mughal, India.

Baca juga:  Respondeo Ergo Sum

Penguasa penerusnya merencanakan jalan kembali ke Islam tradisional. Hal ihwal ini mencapai puncaknya pada masa Aurangzeb (memerintah pada 1658-1707), kaisar Mughal ketujuh yang berkuasa di puncak Mughal. Gelar kerajaannya Alamgir, Penakluk Jagat, lantaran ekspedisi militernya ke seluruh India. Masa kekuasaannya selama empat puluh sembilan tahun ditandai oleh peningkatan aktivitas militer kerajaan Mughal dan kesalehan pribadi, serta dukungannya pada pengetahuan keislaman.

Dalam karyanya, Islamic Civilization in South Asia: A history of Muslim power and presence in the Indian subcontinent (2013), sejarawan Burjor Avari mendedahkan bahwa Aurangzeb terkenal atas ketidaksetujuannya terhadap pembangunan Taj Mahal oleh ayahnya, Shah Jahan. Bangunan ini merupakan makam nan besar (dan mahal).

Aurangzeb melihatnya sebagai pemborosan dan bertentangan dengan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Dia juga merasa perlunya disusun petunjuk lengkap hukum Islam untuk muslim India.

Maka dari itu, dia mengumpulkan ratusan pakar hukum Islam untuk mengerjakan solusinya. Hasilnya, Fatawa-e Alamgiri (Fatwa Alamgiri) yang monumental, himpunan fatwa berdasarkan hukum Islam bermazhab Hanafi. Karya ini digunakan oleh Aurangzeb sebagai hukum legal resmi di kerajaannya.

Meneroka kembali negara Islam pertama di Madinah, Aurangzeb menetapkan syariat Islam sebagai hukum di India. Perihal ini meningkatkan popularitasnya di kalangan rakyat di seluruh India. Dia menghapuskan pajak yang tidak sesuai dengan Islam, sehingga meringankan beban finansial rakyatnya.

Baca juga:  Perempuan Sufi: Ummu Sa’id

Dalam hubungan dengan non-muslim, Kaisar Aurangzeb telah mencapai reputasi modern sebagai raja fanatik dan tidak toleran. Warisannya melukiskan dampak politik modern terhadap cara pandang seseorang memafhumi masa lalu.

Perlu diperhatikan bahwa banyak kuil Hindu di India dihancurkan selama masa pemerintahannya. Fakta sejarah ini, serta ketaatannya yang tinggi pada Islam, telah mengarahkan banyak sejarawan dan penulis pada era kiwari menahbiskannya sebagai penguasa yang tidak toleran dan penindas.

Akan tetapi, alasan di balik vandalisme itu harus dianalisis untuk memahami penguasa jenis apa dia, dan secara umum, bentuk kekuasaan Mughal itu sendiri. Selama abad ketujuh belas, kuil-kuil di India umumnya digunakan sebagai pusat kegiatan politik, selain tempat ibadah. Pemimpin kuil kerap bertindak sebagai pejabat politik dalam daerah hukum masing-masing, guna memelihara ketertiban dan kendali kerajaan.

Kuil-kuil yang dihancurkan oleh Aurangzeb berkelindan dengan pemberontakan politik yang dipimpin pejabat kuil untuk melawan peraturan Mughal. Ini menjadi kecenderungan pada masa kekuasaannya, terutama dengan terbentuknya Konfederasi Maratha yang muncul pada 1600-an.

Jadi, dalam pandangan kerajaan Mughal abad ketujuh belas, pemusnahan kuil bukanlah penindasan keagamaan, melainkan pertahanan politik. Bahkan, pada masa kekuasaan Aurangzeb, banyak kuil baru yang dibangun di India, dan banyak penasihat tertingginya yang beragama Hindu.

Salah satu bahaya penelitian sejarah yang dangkal dan harus dihindari dalam dunia yang penuh intrik politik sekarang ini adalah membebankan konflik politik modern sebagai warisan dari tokoh-tokoh tempo dulu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
2
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top