Rumusan Pancasila adalah karya puncak Soekarno dalam perantauan intelektualnya. Ide itu mulai direnungkannya sejak masa persiapannya menjadi pemimpin, yaitu di Surabaya, dan dimatangkannya sewaktu di Ende.
Pancasila dan pengkajiannya tentang Islam adalah dua kegiatan yang dilakukannya secara serentak di Ende. Oleh karena itu, hasil pemikirannya tentang dua hal ihwal ini saling berkait-kelindan. Pandangan keislamannya juga sudah termasuk dalam Pancasila, demikian pula pandangannya tentang politik telah masuk dalam pemahaman keislamannya.
Uraian Pancasila yang diusulkan Soekarno menjadi dasar filsafat dan pandangan hidup bangsa, disampaikannya untuk pertama kali di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 1 Juni 1945.
Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat selaku Kaitjo Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai menulis kata pengantar dalam buku Lahirnja Pantja-Sila, dan menyatakan bahwa pidato tersebut diuraikan Soekarno tanpa teks dan terdiri dari 6000 kata, karena itu dapat dikatakan bahwa uraian itu keluar dari jiwa Soekarno secara spontan, meskipun sidang berlangsung di bawah pengawasan pemerintah bala tentara Jepang.
Namun pernyataan “secara spontan” dari Dr. Radjiman itu agaknya haruslah diartikan, bahwa pemikiran Soekarno tentang Pancasila itu telah melalui proses renungan yang mendalam dan pengkajian yang saksama terhadap pelbagai aliran pemikiran yang sudah ada waktu itu, baik yang berkembang di Dunia Barat, Islam, maupun Dunia Timur lainnya, ditambah lagi dengan pelbagai persamuhan yang dilakukannya secara intensif dengan pelbagai anggota BPUPKI itu. Simpulan ini diperoleh setelah mendapat penjelasan dari pelaku sejarah yang menyatakan, bahwa Soekarno sebelumnya sudah mengadakan persamuhan dengan para anggota yang diperkirakannya menentang gagasan yang akan dikemukakan Bung Karno.
Soekarno mengajukan konsepnya dengan mengemukakan terlebih dahulu, bahwa terbentuknya sebuah negara tidak terlepas dari keharusan adanya philosofische grondslag, dasar filsafat atau dalam istilah lain disebut Weltanschaung, yaitu pandangan hidup dari bangsa yang akan mendirikan sebuah negara.
Pada dasarnya ada beberapa teori tentang pembentukan sebuah negara. Soekarno terlebih dahulu mengutip dua pendapat tentang pembentukan sebuah negara yang berasal dari pemikiran Barat, setelah itu ia menjelaskan pandangannya terhadap kedua teori itu. Pertama, teori Ernest Renan yang diungkapkannya sewaktu menyampaikan pidato di Universitas Sorbonne. Menurut Renan, terbentuknya sebuah negara adalah berdasarkan le desir d’etre ensemble, yaitu kehendak untuk bersatu. Menurut Renan, terbentuknya sebuah negara ditentukan oleh kemuliaan bersama dari suatu masyarakat di masa silamnya dan keinginan mereka untuk hidup bersama di masa datang. Kedua, muncul pula teori Otto Bauwer, seorang tokoh partai sosialis demokrat berkebangsaan Austria. Dia berpendapat, bahwa lahirnya suatu bangsa sangat erat kaitannya dengan persamaan perangai atau karakter yang timbul sebagai akibat dari kesamaan nasib dan pengalaman.
Soekarno menyanggah kedua teori itu dengan dua alasan. Pertama, kedua teori itu hanya melihat aspek manusianya yang bentuk suatu bangsa, dan tidak melihat aspek tanah air yang mereka diami.
Kedua, teori itu tidak melihat unsur-unsur budaya seperti agama, bahasa, dan yang sejenis, sebagai faktor pembentuk suatu bangsa. Padahal munculnya pergerakan kebangsaan di Indonesia didorong oleh faktor-faktor budaya dimaksud. Oleh sebab itu, Soekarno kurang tertarik dengan kedua teori itu. Dia lebih menyetujui teori geopolitik yang berasal dari Karl Haushofer, yang berpendapat, bahwa terbentuknya sebuah negara adalah atas dasar ikatan darah dan tanah atau yang lazim disebut Bluut und Boden Theorie. Teori itu diuraikannya dalam bukunya yang berjudul Geopolitik des Pazifischen Ozeans (1924).
Dengan teori inilah, menurut Soekarno, dapat dilihat adanya kesatuan wilayah Indonesia. Oleh karena wilayah Asia terdiri dari pelbagai negeri kepulauan, maka teori ini sangat menarik bagi kaum nasionalis Asia dan khususnya Indonesia, karena teori ini digunakan untuk membela cita-cita kemerdekaan.
Soekarno meneroka, bahwa antara orang dan tempat tinggalnya tidak dapat dipisahkan, dan karena itu meskipun Indonesia terdiri dari beribu pulau tetapi bila dilihat peta dunia akan kelihatan adanya kesatuan tanah, yaitu gerombolan pulau-pulau yang membentang antara dua lautan besar, yakni Pasifik dan Hindia dan dua benua yaitu Asia dan Australia.
Alasan yang dikemukakan Soekarno itu tidak seluruhnya dapat diterima oleh para tokoh kebangsaan yang lain. Mohammad Hatta menolak teori geopolitik itu apabila dimaksudkan untuk mendukung kesatuan wilayah Indonesia sebagaimana dikenal sekarang, sekalipun Hatta mengakui bahwa teori itu sangat menarik. Hatta mengatakan, bahwa kalau teori geopolitik itu diterapkan secara konsekuen di Indonesia, maka wilayah Indonesia akan mencakup Filipina. Sehubungan dengan itu dia mengajukan rumusan baru tentang terbentuknya suatu bangsa yaitu:
Bangsa ditentukan oleh keinsafan suatu persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsafan yang bertambah besar oleh karena sama seperuntungan, malang yang sama diderita, mujur yang sama yang didapat, oleh karena jasa bersama, kesengsaraan bersama, pendeknya oleh karena pernyataan kepada rakyat bersama yang tertanam di dalam hati dan akal. (Hatta 1981: 15).
Menurut Hatta, dengan memafhumi kriteria pembentukan suatu bangsa ini, akan tetap dapat dipertahankan cita-cita persatuan Indonesia sesuai dengan tujuan teori geopolitik itu. Bagi Soekarno, masalah persatuan dan kesatuan bangsa adalah sebagai persoalan pokok, maka dia mengusulkan kebangsaan sebagai dasar pertama dari negara yang akan merdeka kelak. Arti kebangsaan yang ada pada manusia Indonesia menurut Soekarno, haruslah yang memiliki cakrawala yang luas dan merasa dirinya sebagai anggota masyarakat umat manusia seperti yang sering diucapkan Mahatma Gandhi: “’my nationalism is humanity’, saya adalah seorang nasionalis tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan.”
Untuk menghindari timbulnya pemahaman yang sempit perihal nasionalisme itu, Soekarno mengusulkan dasar kedua yaitu internasionalisme atau perikemanusiaan. Internasionalisme harus dibedakan dari kosmopolitanisme, yaitu paham yang meniadakan kebangsaan. Soekarno mengemukakan alasan yang demikian, karena menurutnya internasionalisme hanya dapat subur dan berakar, apabila paham itu sendiri mempunyai akar di bumi nasionalisme. Sebaliknya pula nasionalisme tidak dapat hidup subur tanpa ia berada dalam taman sarinya, internasionalisme.
Sesuai dengan pengertian nasionalisme, yaitu negara yang didirikan berdasarkan rasa kebangsaan, maka semua jenis perbedaan sosial seperti ras, agama, dan status sosial lainnya, harus tunduk dan berada di bawah rasa kebangsaan itu. Pandangan ini sejalan konsep multirasial yang diterimanya dari Douwes Dekker, pendiri Indische Partij. Dasar negara yang dibentuk adalah dari semua untuk semua, maka semua persoalan yang yang menjadi kepentingan bersama harus diselesaikan secara musyawarah. Berdasar hal itu, Soekarno mengusulkan dasar ketiga, yakni permusyawaratan atau perwakilan. Segala ide dan cita-cita dari pelbagai paham yang ada dan berkembang dalam masyarakat, termasuk cita-cita agama, harus disalurkan lewat lembaga permusyawaratan itu.
Oleh sebab itu, sekalipun agama tidak dijadikan sebagai dasar negara, namun pada dasar ketiga inilah dapat disalurkan peranan Islam. Di sini, Bung Karno ingin menerangkan strategi penempatan Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semua cita-cita Islam dapat tersalurkan, terutama kebenaran praktis bukan kebenaran normatif, tanpa mengganggu prinsip kebangsaan sebagai dasar pertama itu.