Sedang Membaca
Bung Karno dan Pancasila: Adanya Kementerian Agama Mulanya Konsesi Politik
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Bung Karno dan Pancasila: Adanya Kementerian Agama Mulanya Konsesi Politik

Pada satu segi, gagasan Bung Karno ini dapat dipandang sebagai konsesi yang ingin diberikannya kepada kelompok Islam yang menggabungkan dirinya menjadi kelompok Islam, agar mereka tidak kecewa karena Islam tidak dijadikan sebagai dasar negara.

Segi lain dapat pula dilihat pada kerangka pemikirannya yang bertitik tolak dari pandangan budaya, artinya sejauh mana ajaran Islam itu telah membudaya di kalangan umat muslim. Oleh karena itu, eksistensi dan pelaksanaan hukum-hukum Islam akan diukur dari hasil yang dicapai lewat proses sosialisasi tersebut. Soekarno mempunyai prinsip, bahwa hukum Islam tidak dapat ditetapkan dalam struktur kenegaraan apabila tidak mendapat dukungan dari umat muslim itu sendiri.

Dasar keempat adalah prinsip kesejahteraan yang menuju kepada keadilan sosial. Perihal ini mendedahkan, bahwa tujuan mendirikan negara adalah untuk menyejahterakan semua warga negara, bukan hanya golongan bangsawan dan feodal. Prinsip ini juga untuk menegaskan bahwa tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka.

Karena itu, kemerdekaan Indonesia harus berbeda dengan Barat yang mengangungkan demokrasi, tetapi hanya membuat kapitalisme merajalela dan tidak adanya rasa kekeluargaan sebagai saudara sebangsa dan setanah air, jelasnya mereka tidak mementingkan keadilan sosial. 

Dasar kelima adalah Ketuhanan yang menjelaskan causa finalis dari berbangsa dan bernegara itu bukan untuk tujuan materi semata-mata, melainkan adalah dalam rangka pengabdian kepada Tuhan Yang Mahaesa. Ketuhanan diartikan bahwa tiap-tiap orang Indonesia hendaknya bertuhan sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya.

Akan tetapi, sekalipun masing-masing dianjurkan menyembah Tuhan dengan cara yang leluasa, hal ihwal ini jangan sampai menjurus kepada sikap egoisme agama. Masing-masing agama akan berbeda dalam memahami kebenaran normatifnya, namun tidaklah menghalangi mereka untuk sama-sama memanfaatkan kebenaran praktis dari ajaran agama, khususnya Islam.

Sikap masing-masing penganut agama itu disebut Soekarno dengan bertuhan secara berkebudayaan dan berkeadaban yang berarti saling menghormati. Soekarno menginginkan agar masing-masing pemeluk agama lebih mendalami ajaran agamanya, dan pengalaman ajaran agamanya harus membawa terwujudnya integrasi bangsa.

Baca juga:  Idul Fitri, Momentum Berkaca Diri

Yang diamati dari pemikiran Bung Karno, adalah konsep Pancasila itu bermula dari hal yang fisik menuju kepada yang metafisik atau dengan sistem piramida terbalik dengan menempatkan kebangsaan di atas dan Ketuhanan di bawah. Ini dapat dipahami bahwa dia menempatkan kebangsaan dengan anggapan, bahwa dengan kebangsaan itulah dapat dicapai persatuan nasional, sedang dasar ketuhanan sekalipun sangat esensial dalam kehidupan umat manusia namun perkembangan pemikiran pada saat itu masih memperhitungkan bahwa dasar itu lebih menonjolkan faktor desintegrasi dan integrasinya.

Namun kemudian berkembang pemikiran bangsa ini, yaitu pada 22 Juni 1945 dan 18 Agustus 1945, yang melihat, bahwa paham ketuhanan tidak mesti dilihat sebagai faktor desintegrasi, oleh karena itulah prinsip tersebut ditetapkan sebagai sila yang pertama. Selanjutnya, pemikiran Soekarno selalu berangkat dari hal yang rasional menuju kepada yang suprarasional yaitu Tuhan sebagai Khalik. Pola pemikiran ini kemungkinan karena dipengaruhi latar belakang pemahaman agamanya dan pendidikannya. 

Konsep Soekarno tentang Pancasila sedikit banyak juga diilhami oleh pandangannya tentang Islam seperti prinsip nasionalisme dihubungkan dengan sikap membela hak dan kebenaran, internasionalisme dengan ukhuwah islamiyah, musyawarah dengan anjuran syura, kesejahteraan sosial dengan perintah untuk berlaku adil, dan ketuhanan dengan tauhid. Akan tetapi yang tampak di sini, konsep keislaman itu dioperasionalkannya ke dalam ruang lingkup yang lebih luas, yaitu manusia Indonesia secara keseluruhan. 

Soekarno melepaskan pemikirannya itu dari keterikatannya dengan pemikiran keislaman para ulama dan intelektual muslim pada waktu itu, dan dijadikannya menjadi milik bersama bangsa Indonesia. Contoh lain dari sikap Bung Karno itu disebut C.A.O. Van Nieuwenhuijze, yakni pembentukan Kementerian Agama titimangsa 1946. Sekalipun pada mulanya kementerian tersebut sebagai konsesi bagi umat muslim, tetapi kementerian ini juga mengurus kepentingan umat beragama lain. Gagasan Bung Karno ini disebut deconfessionalized muslim thought, yaitu melepaskannya dari kepercayaan pemikir muslim.

Baca juga:  Refleksi Harlah Lesbumi: Bakiak Kiai

Teranglah, bahwa Pancasila yang dikemukakan Soekarno itu tidak bisa dilepaskan dari kondisi pola pemikiran bangsa Indonesia. Menurut J.M. Van der Kroef, ada tiga pemikiran yang membentuk alam pikiran di Indonesia dan ketiga hal inilah yang melandasi rumusan Pancasila itu.

Pertama, ideologi tradisional komunal, yang di Jawa dan sebagian Sumatra bercampur dengan etos sosial Hinduisme. Kedua, Islam baik yang beraliran ortodoks maupun yang berwajah pembaruan. Ketiga, sejarah Liberalisme yang bercampur dengan ideologi Marxisme. Akan tetapi sekalipun demikian, pandangan Soekarno ihwal Islam lebih banyak mendominasi pemikirannya tentang dasar negara, mengingat sikap keagamaan ini menjadi pokok perhatiannya dalam tulisan-tulisannya tentang politik.

Bagi Soekarno, Pancasila adalah terjemahan dari kepribadian bangsa Indonesia yaitu gotong-royong. Karena intinya adalah gotong-royong, maka sekalipun dipersempit atau diperluas, intinya tetap sama. Karena itulah kelima sila dalam Pancasila itu dapat diperas menjadi tiga sila, yaitu Sosio Nasionalisme, Sosio Demokrasi, Ketuhanan, dan ketiga sila itu disebut Trisila. Kemudian ketiga sila ini pun dapat diperas lagi menjadi Ekasila yaitu gotong-royong. Tampaknya yang menjadi alasan bagi Bung Karno memeras sila-sila Pancasila itu adalah untuk menunjukkan, bahwa uraian tentang Pancasila dapat dipersempit atau diperluas dengan tetap dapat mengembalikannya kepada konsep dasarnya. 

J.K. Tumakaka mengatakan, bahwa diperasnya Pancasila itu bukan berarti kehilangan maknanya, karena yang diperas itu hanya jumlah silanya bukan bobot materinya. Gotong-royong dalam masyarakat Indonesia selalu diselenggarakan berdasarkan kepada kelima hal. 

Baca juga:  Belangiran, Tradisi Orang Lampung Menjemput Ramadan

Pertama, magis-religius yaitu kepercayaan dan keyakinan akan adanya kekuatan gaib yang tidak terlihat dan teraba oleh manusia biasa. 

Kedua, adanya lingkungan kesatuan baik lingkungan kesatuan genealogis maupun territorial. 

Ketiga, dasar persamaan, persaudaraan dan kekeluargaan. 

Keempat adalah musyawarah dan mufakat. 

Dan yang kelima, gotong-royong dilaksanakan dengan tujuan untuk kepentingan bersama. Dengan demikian, pelaksanaan gotong-royong pun melambangkan pelaksanaan kelima sila itu yaitu ketuhanan, kebangsaan atau persatuan, internasionalisme atau perikemanusiaan, musyawarah, dan kesejahteraan sosial.

Kalakian, rumusan Pancasila yang dikemukakan Soekarno ini, berbeda dengan formula dan uraian yang ada dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, akan tetapi dasar ideologinya sama. Pancasila terdiri dari dua lapis fundamen ,yakni politik dan moral atau etik agama. Soekarno mendahulukan fundamen politik dan menjadikan fundamen moral sebagai penutup, sementara dalam pembukaan UUD 1945 didahulukan fundamen moral dari fundamen politik. Maksud yang terkandung dalam rumusan pembukaan UUD 1945 itu untuk menegaskan, bahwa bangsa Indonesia adalah selalu berpijak pada kepercayaan kepada Tuhan Yang Mahakuasa, sekalipun lukisan tentang itu mengalami perkembangan, terutama setelah masuknya agama wahyu ke Indonesia maka ukuran moral itu pun lebih kongkret. 

Namun, sekalipun rumusan Pancasila Soekarno berbeda dengan yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945, dan rumusan yang terakhir ini sudah merupakan hasil pekerjaaan orang banyak serta menempatkan prinsip metafisik sebagai dasar pertama, harus diakui bahwa peranan terbesar dalam menggali dan menghasilkan filsafat, dasar, serta jiwa, dan semangat konstitusi tersebut dipegang oleh Soekarno dan Hatta.

Oleh sebab itu, tidaklah mungkin memberi makna, tafsir, serta akan mewujudkan masyarakat yang berketuhanan, berperikemanusiaan, bersatu, berkedaulatan rakyat, berkeadilan sosial, terlepas dari pergulatan sejarah pemikiran kedua tokoh tersebut serta rekan-rekannya dalam membangun sejarah pergerakan Indonesia merdeka.     

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top