Di antara orang Ibo, seni mengoceh sangat tinggi dihargai orang, dan pepatah merupakan lauk makan kata-kata (Chinua Achebe)
Things Fall Apart mengambil judul dan temanya dari sajak yang berjudul The Second Coming karya penyair Irlandia, W.B. Yeats. Baris-baris syair yang berkelindan dengannya:
Segalanya berantakan; pusat tak dapat bertahan;
Hanya anarki kini melanda jagat.
Novel Things Fall Apart terbit pertama kali tahun 1958 oleh penerbit William Heinemann Ltd. Inggris, penerbit yang lahir pada tahun 1890. Tentu saja mula-mula terbit dalam bahasa Inggris, tapi tak lama kemudian, novel berlatar belakang Nigeria itu dialihbahasakan lebih dari 50 bahasa, termasuk bahasa kita.
Chinua Achebe menengok ke belakang, kepada masyarakat Ibo, khususnya pada masa orang kulit putih memasukinya sebagai misionaris, pedagang, dan pengendali pemerintahan, dan era itu memiliki benang merah dengan kedua baris syair itu.
Kesadaran akan berantakannya segala sesuatu itu dilihat oleh Obierika, seperti ternyata dari tuduhannya terhadap orang kulit putih:
“Sekarang ia sudah mengalahkan saudara-saudara kita, dan suku kita tidak dapat lagi bertindak bulat. Dia sudah memutuskan tali yang mengikat kita bersama, dan kita telah berantakan.”
Oleh karena itu, Things Fall Apart adalah ihwal satu suku yang pernah dinilai dan diwicarakan sebagai satu kesatuan, memiliki simpul kesadaran bersama, serta berperilaku bak “sapu lidi”. Orang kulit putih datang, dan kedatangannya mematahkan keterpaduan ini.
Dalam proses tersebut banyak kepala ikut memikirkan; kata-kata baru, cara-cara kekinian, dan penerapan-penerapan aktual mulai mencangkoki isi kepala dan hati orang banyak, dan masyarakat lama pun berangsur-angsur ambruk. Proses ini berlangsung terus-menerus dan militan.
Judul edisi Jerman untuk Things Fall Apart adalah Okonkwo. Ini pengakuan yang tepat atas peranan Okonkwo mencapai puncaknya, yang dia peroleh melalui “prestasi pribadi yang gemilang”, seperti ketika dia merobohkan Amalinze si kucing pada umur delapan belas tahun.
Selanjutnya jelas kelihatan bahwa dia ditakdirkan untuk melakukan hal-hal besar. Dia adalah pegulat yang masyhur, petani kaya dengan tiga orang istri, dan pemenang dua gelar. Satu-satunya kutukan baginya adalah ayahnya Unoka, seorang tukang hutang, orang lemah, pemain biola.
Kemakmuran Okonkwo tampak di dalam dan luar rumah tangganya. Yang tidak diketahui oleh siapa pun ialah bahwa orang yang terkenal ini menjalani hidup yang dikuasai dan didorong oleh rasa takut. Takut akan kegagalan dan kelemahan seperti dialami ayahnya, dan takut bahwa reputasi dan kekayaan yang telah ditimbunnya akan jatuh ke tangan anaknya Nwoye yang letoi, bahkan tidak bernilai. Ketika dia mengancam Nwoye dengan kata-kata:
“Aku takkan mau punya anak yang tak dapat menegakkan kepala dalam pertemuan suku. Lebih baik kucekik dia dengan tanganku sendiri. Dan jikalau kamu berdiri memandangku macam itu… Amadiora akan memecahkan kepalamu.”
Kita melihat bukti bahwa dalam memerintah keluarganya, dia menggunakan cara “tangan besi” yang didorong oleh rasa takut. Ajaran Okonkwo menyatakan bahwa satu-satunya yang perlu diperlihatkan adalah kekuatan; perihal ini adalah akibat dari rasa takut yang bersemayam nun di dalam lubuk hatinya.
Dengan hati-hati dia mengekspresikan diri untuk tidak secara terbuka memperlihatkan emosi, kecuali ekspresi kemarahan (karena marah, dia lupa bahwa waktu itu adalah Minggu Tentram, dan dia justru menghajar Ojiugo); dengan begitu dia menempatkan diri di tengah masyarakat yang biasanya hanya bertindak sesudah ada kepastian, bahwa ada masalah yang jelas dan adil untuk diperjuangkan.
Sikap marah dan rasa takut merupakan kata-kata kunci untuk mencoba meneroka peranan Okonkwo dalam Things Fall Apart. Dalam kemarahan, dia memukuli Ojiugo dan menodai Minggu Tentram. Dalam kemurkaan, dia menembak istri keduanya dan nyaris melakukan pembunuhan yang perdana.
Dia menghunus golok dan menebas Ikemefuna, karena dia takut dikira lemah. Dan kemudian pembunuhan atas anak laki-laki Ezeudu yang berumur enam belas tahun; meskipun peristiwa itu merupakan kejahatan perempuan, tetapi mendatangkan hukuman pengasingan dan kehancuran bagi segala yang telah dibangun Okonkwo.
Dalam bagian kedua novel ini, kita bisa melihat Okonkwo dalam pembuangan, di tengah kerabat ibunya. Dia diterima dengan baik dan dibantu menyusun diri kembali. Namun dia membawa serta kenangan keras yang harus tunduk kepada perjalanan waktu; dan cara hidup yang hampir dapat dinamakan pasif itu asing bagi sifatnya. Obierika bertindak sebagai jembatan antara Umuofia obodo dike dan Mbanta. Lewat Obierika, Okonkwo menemukan kembali sebagian dari kekayaannya yang hilang dan mengetahui pelbagai perkembangan yang baru–perkembangan yang hanya memperkuat rasa putus asanya.
Achebe menyimpulkan bahwa Okonkwo pada tahap hidupnya dengan kalimat yang patut dingat:
Hidup Okonkwo dahulu dikendalikan oleh nafsu yang besar untuk menjadi salah seorang yang dipertuan suku. Itulah dulu prinsip hidupnya. Dan dia telah memiliki segalanya, terkecuali mencapai keinginan tadi. Namun kemudian segalanya patah. Dia telah terlempar ke luar dari sukunya, seperti ikan terlempar ke pantai berpasir dan kering, terengap-engap. Jelaslah kini, dewa pribadi atau chi-nya tidak ditakdirkan untuk hal-hal besar. Seorang manusia tidak mungkin bangkit melebihi nasib chi-nya. Peribahasa para kamitua itu tidak benar; katanya kalau orang mengatakan ya, chi-nya pun mengiakan. Ini dia orang yan chi-nya mengatakan tidak, padahal ia sendiri mengiakan.
Perkembangan-perkembangan baru apakah ini? Abame tidak ada lagi, dihapus dari muka bumi karena tidak tunduk kepada juru ramalnya sendiri dan melanggar ajaran moral, “Jangan membunuh orang yang tak mengatakan apa-apa.” Kedua, para misionaris telah datang di Umuofia dan mendirikan gereja dengan sejumlah pengikut yang bersemangat, di antaranya Nwoye. Dan sebagai pelengkap semua itu mereka mulai mamasuki Mbanta dan membangun gereja.
Di sini kita melihat Gereja pada tahun-tahun awal perjuangannya untuk mendapat tempat berpijak dalam masyarakat yang sudah memiliki adat-istiadat, tabu-tabu, dan harapan-harapan yang kekal. Sesekali di dalam kinerjanya, pihak Gereja mendapat halangan dari para pengikut yang terlalu bersemangat, seperti halnya Kiaga dan Enoch.
Apakah tak akan terjadi sesuatu? Okonkwo menjadi semakin gelisah, ketika reaksi umum terhadap orang-orang Kristen rupanya adalah, “Bukan kebiasaan kita memperjuangkan dewa-dewa kita.”
“Jangan kita berpikir seperti pengecut,” ujar Konkwo. “Kalau satu orang masuk pondokku dan berak di lantai, apa yang meski aku lakukan? Apa aku pejamkan mataku? Tidak! Aku ambil tongkat dan aku akan remukkan bijinya. Itulah yang biasa dilakukan orang. Orang-orang itu tiap hari menumpahkan tai ke kepala kita, tetapi Okeke berkata kita mesti berpura-pura tak melihat.” Okonkwo pun memuntahkan suara yang menyatakan sikap muak. Ini rupanya suku perempuan, batinya. Hal ihwal ini tidak mungkin terjadi di tanah bapaknya, Umuofia.
Bahkan, menjelang keberangkatannya dari Mbanta, dia tidak dapat menyembunyikan dendamnya kepada agama yang baru itu:
Satu agama yang tercela telah hadir di tengah kalian. Kini orang dapat meninggalkan ayahnya dan saudara-saudara lelakinya. Ia dapat mengutuk para dewa bapak-bapaknya dan para leluhurnya, seperti anjing pemburu yang tiba-tiba menjadi gila dan berbalik menyerang tuannya. Aku prihatin dengan kalian; aku prihatin dengan suku kita.
Di Bagian Tiga, Okonkwo kembali ke Umuofia dengan pelbagai harapan besar. Dia menepati adat kebiasaan sukunya dan menahbiskan anak-anaknya menjadi anggota masyarakat Ozo dan dengan demikian sekali lagi memperlihatkan kekuatan dan kekayaannya.
Dia akan membasuh masyarakat itu dari bencana baru yang didatangkan oleh orang Kristen. Namun Umuofia sudah berubah pada tahun-tahun dia berada di pembuangan, dan orang lain yang sudah muncul menggantikan posisinya. Bahkan, orang-orang bergelar seperti Ugbuefi Ugonna telah menggabungkan diri dengan kaum misionaris.
Akan tetapi selain gereja, orang-orang kulit putih telah juga mendatangkan pemerintahan beserta pengadilan, hakim-hakim, dan utusan-utusan pengadilan. Dihadapkan pada semua perubahan ini Okonkwo menjadi bingung; dia menundukkan kepala dengan masygul dan berkata, “Barangkali sudah terlalu lama aku tak hadir…. Tak dapat aku mengerti, apa yang kauceritakan ini. Apa yang sudah terjadi dengan suku kita? Kenapa mereka kehilangan kekuatan untuk bertempur? Kenapa?”
Obierika pun menjawab:
Bagaimana kita akan bertempur, kalau saudara-saudara kita sendiri sudah berbalik melawan kita? Orang kulit putih itu pandai sekali. Dia datang dengan tenang dan damai, dengan agamanya. Kita senang dengan ketololannya, dan mengizinkannya tinggal. Sekarang dia sudah berhasil memikat saudara-saudara kita, dan suku kita tidak lagi dapat bertindak bulat. Ia sudah memutuskan tali yang mengingatkan kita bersama, dan kita kini sudah berantakan.
Inilah krisis di dalam Things Fall Apart; dan sejak itu Okonkwo mengerahkan segenap tenaga untuk melawan.
Arkian, gereja muda yang mengakui dan mencoba memecah masalah-masalah khusus, pertama-tama dipimpin oleh Tuan Brown dan selanjutnya Tuan Smith, dan kita sadar akan semakin tumbuhnya ketegangan antara gereja dan suku di Umuofia. Semangat Enoch yang berlebihan dalam mempertahankan agama Kristen justru merupakan perihal yang dibutuhkan oleh Okonkwo untuk meledak.
Namun belum selesai. Sikap siaga dan akal sehat menyatakan diri dalam diri Ajofia, sampai akhirnya keduanya dengan hebat ditentang oleh Tuan Smith. Dalam sekejap mata gereja tanah merah yang telah dibangun oleh Tuan Brown menjadi timbunan tanah dan abu.
Gereja dan pemerintah bersekutu dalam satu usaha yang celaka untuk membungkam masyarakat Umuofia. Akan tetapi awan sudah berhimpun dan tidak ada lagi yang mesti dinantikan kecuali badai. Dengan cara lama yang megah, Okonkwo mencoba membangkitkan Umuofia untuk bertindak secara bulat menghadapi pengkhianatan dan pelanggaran. Dan dia gagal.
Tak seorang pun mengikutinya. Dan dia diperosotkan. Namun benarkah, bahwa Okonkwo diperosotkan?
Achebe menyerahkan jawabannya kepada kisah Things Fall Apart. Okonkwo pergi membunuh diri. Obierika memandang tubuhnya yang terjuntai-juntai, dan menutup kata-katanya dengan tulisan makam: “Orang ini salah satu dari orang-orang terbesar di Umuofia”.