Akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan “zaman edan”. Masa itu, masa yang sangat halai-balai dalam sejarah pemerintahan kolonial di Hindia Belanda. Pemerintah diambil alih oleh tiga bangsa berturut-turut, dan tiap gubernur baru merombak sistem jajahan, serta melancarkan politik pembaruan.
Berakhirnya kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan peperangan yang terus berkecamuk di Eropa berakibat penting bagi Pulau Jawa. Ekonomi kolonial mengalami pasang surut, meski dalam beberapa bidang tampak kemajuan.
Suasana politik panas dan sungguh merepotkan; pemerintah kolonial gusar, sementara sebagian masyarat, yang antara lain kaum ulama, bersiap-siap “memberontak”. Selangkah demi selangkah menjurus ke perang besar (kelak kita kenal dengan nama Perang Jawa dan seorang pangeran bernama Diponegoro menjadi bintang).
Pada awal 1780-an, akibat perang Inggris-Belanda, Hindia Belanda menjadi terisolir, sehingga perdagangan terhenti dan Kompeni VOC yang sudah dirongrong oleh korupsi hampir bangkrut. Pada saat itulah orang Inggris menjejakkan kakinya di Pulau Pinang.
Seorang komisaris Belanda diutus ke Batavia untuk mengarsiteki reorganisasi pengelolaan Kompeni, ialah S.C. Nederburgh yang tiba di Jawa pada 1793. Namun, komisaris itu hanya memandang kepentingannya sendiri, sedangkan pada tahun itu juga, negeri Belanda menyatakan perang kepada Republik Prancis.
Dua tahun kemudian, Belanda dikuasai oleh angkatan revolusioner dan menjadi Bataafsche Republiek. Tahun berikutnya “ketujuh belas tuan” (Heeren XVII) dilepaskan dari jabatannya sebagai penguasa tertinggi Kompeni, dan sebuah panitia khusus mengambil keputusan agar kontrak Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda itu tidak diperpanjang setelah habis masanya pada 31 Desember 1799. Selanjutnya, Hindia Belanda akan menjadi jajahan langsung pemerintah Belanda.
Kala itu, Belanda bersekutu dengan Prancis melawan Inggris. Armada Inggris tidak menyerang Jawa, tetapi merampas Malaka, pantai barat Sumatra, serta Ambon dan Banda, dan menenggelamkan kapal-kapal Belanda di Laut Jawa. Walaupun begitu, dengan berakhirnya monopoli Belanda, pemerintahan Batavia dapat menjual hasil dagangannya, justru pada waktu harga rempah-rempah sedang menjulang tinggi, sehingga negara kolonial mengalami masa kemakmuran selama beberapa tahun.
Namun keadaan ini tidaklah berjalan stabil. Situasi di Eropa lekas merubah lagi keadaan di Hindia Belanda. Pada 1806, Republik Belanda dijadikan kerajaan dan adik Napoleon sendiri dinobatkan menjadi Raja Louis. Waktu itulah Daendels ditahbiskan sebagai Gubernur Jenderal Hindia. Daendels tiba di Jawa pada Januari 1808 dan memerintah selama tiga tahun sampai dengan Mei 1811. Waktu Raja Louis diturunkan dari takhta oleh Napoleon dan negeri Belanda disatukan dengan kekaisaran Prancis, maka Daendels diganti oleh J.W. Janssens. Saat itu pula orang Inggris merasa diri terancam oleh kekuasaan Prancis di Jawa, sehingga Lord Minto menyerang Batavia pada Agustus 1811 dan menaklukkan pasukan kolonial Prancis dalam waktu enam minggu.
Dus, mulailah masa pemerintahan Lieutenant-Governor Raffles yang kemudian berakhir dengan pengembalian kawasan jajahan Hindia kepada pemerintah Belanda pada Agustus 1816. Napoleon sudah jatuh, kerusuhan di Eropa mulai mereda, orang Belanda menata kembali pemerintahannya di Hindia, sedangkan Raffles mencari-cari sebuah pangkalan di daerah Selat Malaka, dan akhirnya mendirikan kota Singapura pada 1819.
Selama tiga tahun memerintah, Daendels menjalankan sebuah politik yang sangat otoriter demi perombakan keadaan militer, ekonomi, administrasi, dan hukum. Secara berturut-turut “Sang Mareskalek” (Maarschalk) menundukkan Sultan Banten, Sultan Cirebon, dan Sultan Yogyakarta.
Dia membentuk sebuah tentara dalam jumlah besar: 18.000 orang. Dia mengubah sistem peradilan. Sebuah jalan lintas Pulau Jawa (De Groote Postweg) dibukanya dari Anyer hingga ke Panarukan. Benteng Belanda di Batavia dirubuhkannya, dan kantor-kantor pemerintahan dipindahkannya ke Weltevreden. Untuk mengisi kas negara, kabupaten Besuki, Panarukan, dan Probolinggo dijualnya kepada Kapiten Tionghoa di Surabaya. Sebuah benteng (Ford Louis) dibangunnya di Teluk Surabaya.