Tersebutlah seorang anak yang mempunyai sebuah buku cerita dongeng terbitan 1872. Di usianya ke-7, ia suka mengoreksi apa-apa yang ia anggap sebagai kesalahan pengejaan, yaitu ortografi gaya lama sebelum perubahan ejaan bahasa Jerman pada 1900.
Dalam buku dongeng itu, ada sebuah cerita yang sangat ia sukai, sebuah kisah yang tidak akan ditemukan dalam buku mana pun yang ia baca seumur hidup. Cerita itu berjudul “Padmanaba dan Hasan”, yang meriwayatkan kunjungan seorang guru India ke Damaskus. Di sini, guru itu memperkenalkan misteri kehidupan spiritual kepada seorang anak laki-laki dan membawanya ke ruangan bawah tanah. Di ruangan ini, keranda raja yang mulia diletakkan di tengah-tengah perhiasan yang tiada tara. Di atasnya tertulis:
“Manusia sebenarnya sedang tertidur, dan ketika mereka mati, mereka terjaga.”
Sepuluh tahun kemudian, ketika ia berumur delapan belas tahun. Saat itulah, ia menyadari bahwa kalimah dahsyat itu adalah sebuah hadis, lema-lema yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw dan sangat disukai di kalangan sufi, serta penyair di dunia Islam.
Sejak anak-anak, ia suka membaca dan menggambar, dan tidak menyukai kegiatan di luar rumah. Karena lahir agak terlambat dalam kehidupan orangtuanya, mereka melimpahi kasih sayang dan perhatian yang tak terhingga untuk sang gadis kecil.
Ayahnya berasal dari Jerman bagian tengah, tidak jauh dari Erzgebirge. Dia bekerja sebagai pegawai Kantor Pos dan Telegraf. Ibunya yang dibesarkan di utara, tak jauh dari perbatasan dengan Belanda, adalah anak dari keluarga yang mempunyai tradisi menjelajah lautan selama berabad-abad.
Ayahnya lembut dan penyabar, serta memiliki kecintaan akan literatur filsafat dari semua agama, melengkapi kungkungan religius ibunya yang dibesarkan dalam tradisi ketat Protestan Jerman bagian utara. Kedua orangtuanya menyukai puisi. Ayahnya sering membacakan literatur klasik Jerman dan Prancis, setiap Minggu siang.
Kala berusia lima belas tahun, ia mendapatkan seorang guru bahasa Arab.
Pasca seminggu berjalan, ia betul-betul tergila-gila dengan apa yang ia pelajari karena gurunya tidak hanya memperkenalkan tata bahasa Arab, tetapi juga sejarah dan kebudayaan Islam.
Pekan demi pekan dihitung dari Kamis ke Kamis (hari di mana ia belajar bahasa Arab), sungguh menyenangkan, meski ia harus menyimpan pengetahuan itu untuk diri sendiri saja. Takkan ada teman sekolahnya yang bisa mengerti dan peduli. Tidak ada keluarga dan kerabat yang akan menghargai seorang gadis belajar bahasa Semit pada waktu nasionalisme ala Fuhrer Adolf Hitler dan kefanatikan politik fasisme, yang tega melumat siapa saja yang beda.
Namun, sejarah berkata lain atas takdir sang gadis. Kelak, pada Maret 1967, tatkala ia menginjakkan kaki di “tempat tersunyi di muka bumi”: Universitas Harvard, Amerika Serikat. Gadis yang kini telah menjadi perempuan dewasa dan sangat terpelajar itu diangkat menjadi profesor di kampus tersebut. Ia mengajarkan pengantar sejarah Islam, bahasa Persia, Urdu, dan beberapa topik lainnya.
Fase hidup ini ia raih, setelah melewati kehidupan yang amat buruk di Jerman masa Perang Dunia II–kekejaman yang akhir juga membuat ayahnya terbunuh di peperangan Berlin sebagai “baris pertahanan utama”, padahal ia bahkan tidak tahu cara menggunakan senjata api (dan senapan yang ada hanya enam buah untuk 25 orang prajurit wamil!). Dus, fase penziarahan-penziarahan yang membawa perempuan itu ke negeri-negeri Muslim (Turki, Pakistan, India, Afganistan, dlsb).
Seruling Anak Gembala
Annemarie Schimmel (1922-2003) adalah seorang cendekiawan terkemuka dan amat berpengaruh dalam studi Islam dan tasawuf. Pada usia 21 tahun, ia mendapat gelar doktor bidang Bahasa dan Peradaban Islam dari Universitas Berlin.
Pada umur 23, Schimmel ditahbiskan sebagai profesor Kajian Islam dan Arab di Universitas Marburg, Jerman, tempat ia mendapat gelar doktor keduanya dalam bidang Sejarah Agama. Sejak 1967 hingga 1992, ia menjadi tenaga pengajar dan guru besar emeritus bidang Kebudayaan Indo-Muslim di Universitas Harvard.
Fase penting dalam hidupnya terjadi pada 1954, ketika Schimmel menghabiskan waktunya selama lima tahun untuk mengajar dan mengkaji secara intensif tradisi spiritual yang berkembang di Turki. Ketika ia menjadi profesor Sejarah Agama di sana, Schimmel sering mengadakan kunjungan ke Konya, tempat dimakamkannya sang Maulana. Tanggal 17 Desember 1954, di acara peringatan hari lahirnya Rumi, ia diberi kehormatan untuk menyampaikan kuliah terbuka. Kegiatan itu baru mulai diselenggarakan kembali setelah lama dilarang oleh pemerintahan Republik Turki.
Di sanalah untuk pertama kalinya Schimmel berkesempatan menyaksikan secara langsung tarian berputar (sama’). Pengalaman ini membuat figur Rumi semakin hidup dalam dirinya. Dan, menjadi sumber inspirasi dan penenang harinya, hingga ia menghembuskan nafas terakhirnya.
Schimmel menguasai setidaknya bahasa Persia, Urdu, Arab, Sindhi, dan Turki, selain bahasa Jerman, Prancis, dan Inggris. Orientalis Jerman ini telah melahirkan lebih dari 100 karya berbobot dalam kajian keislaman. Dua tokoh Islam yang menjadi pusat perhatiannya adalah Maulana Jalaluddin Rumi dan Muhammad Iqbal. Perkenalan pertamanya dengan Rumi adalah lewat Diwan-i Shams-I Tabriz, terjemahan R.A. Nicholson, yang disalinnya dengan tangan. Schimmel berhasil membuat terjemahan sendiri yang pertama atas puisi-puisi Rumi dan Hallaj pada Desember 1940.
Rumi menjadi begitu hidup di tangan Schimmel, seperti yang didedahkannya dalam buku Rumi’s World: The Life and Works of the Greatest Sufi Poe. Minat puisinya disertai dengan bakat pemahaman spiritual yang tajam menghasilkan ulasan-ulasan yang kembali menghadirkan Rumi kepada khalayak pembaca secara lebih nyata, tinimbang para penulis lain.
Berkat jasa-jasanya dalam studi Islam, tasawuf, dan pemikiran Iqbal, Schimmel dianugerahi penghargaan tertinggi oleh pemerintah republik Islam Pakistan, di samping menerima banyak penghargaan lainnya dari berbagai negara. Namanya kini diabadikan sebagai salah satu nama jalan di Lahore, Pakistan.
Sang Cahaya Purnama
Salah satu karya Schimmel yang mashyur adalah tentang Nabi Muhammad saw, berjudul And Muhammad is His Messenger: The Veneration of the Prophet in Islamic Piety, tahun 1985.
Buku tersebus dalam edisi bahasa Indonesianya berjudul: Cahaya Purnama Kekasih Tuhan: dan Muhammad adalah Utusan Allah, tahun 2012.
Dengan merujuk kepada sumber-sumber asli dari berbagai bahasa dunia Islam, karya Schimmel ini mengeksplorasi perwujudan rasa cinta dan penghormatan umat Muslim yang demikian mendalam terhadap nabinya. Kedudukan sentral Nabi dalam kehidupan umat Muslim diuraikan pengagum Rumi ini dengan membahas aspek-aspek kehidupannya–teladan indahnya, posisi uniknya, kelahirannya, mukjizatnya, Isra’ Mi’rajnya, nama-nama julukannya, kisah-kisah serta legendanya–yang kesemuanya dirajut secara cerkas dan indah oleh para ulama, sufi, maupun pujangga, menjadi ribuan karya prosa dan puisi yang memikat hati.
Schimmel menggunakan teks-teks puitis dan ungkapan-ungkapan artisik, serta menelaah praktik-praktik dan tradisi religius umat Muslim. Ia juga memaparkan sisi yang lebih halus dari kebudayaan religius Islam, sehingga memberikan pemahaman yang baik bagi orang-orang yang ingin memafhumi Islam sebagaimana yang dihayati dan diamalkan oleh pemeluknya.
Menurut Schimmel, tak satu pun sarjana Barat sebelumnya yang mencurahkan perhatian untuk menelaah bidang yang mengulas kecintaan kepada Nabi saw dengan cara yang sangat indah dan sangat fasih: puisi masyarakat Islam. Bukan hanya puisi dalam bahasa-bahasa klasik Arab, Persia, dan Turki ‘Utsmani yang patut diperhatikan di sini, melainkan juga bahkan sajak-sajak rakyat dalam berbagai bahasa daerah Islam.
Dengan syair-syair itulah, anak-anak mereguk kecintaan kepada Nabi sejak dini dan membantu mereka membentuk dan mengukir citra Nabi tercinta, sang pemberi syafaat di Hari Kiamat dan Penutup Para Nabi yang cemerlang. Sedangkan orang dewasa dapat menafsirkan sabda-sabda Nabi sebagai pesan perubahan dan dinamisme, keadilan sosial, demokrasi, atau kemajuan intelegensia.
Segi-segi yang berbeda dari citra Nabi saw memberikan banyak sekali bahan kepada ahli sejarah agama untuk studi atau kajian perbandingan. Kesejajaran-kesejajaran dengan kehidupan para pendiri tradisi keagamaan yang lain pun nampak nyata.
Dalam perihal penghormatan mistis kepada Nabi, tampak aneka keserupaan dengan berbagai ide atau gagasan Kristen atau Yunani Gnostik. Ahli fenomenologi agama dan ahli psikologi akan mendapati, bahwa Islam memberikan contoh-contoh yang sangat menarik tentang ketaatan yang disertai rasa cinta kepada Nabi.
Schimmel menjelaskan bahwa semua orang setuju terhadap kepribadian Muhammad, di samping Alquran, sungguh-sungguh menjadi pusat kehidupan kaum Muslim. Nabi saw adalah sosok yang selamanya akan tetap menjadi “teladah indah”, uswah hasanah (lihat QS Al-Ahzab, [33]:21) bagi kehidupan semua orang yang mengikrarkan kalimat syahadat bahwa “Muhammad adalah utusan Allah”.
Surga adalah Tiada Hari Libur!
Seperti dituturkannya–dengan begitu puitis–dalam buku My Soul is a Woman: Aspek Feminin dalam Spiritualitas Islam (Mizan, April 2017), Schimmel senang melukiskan perjalanan hidupnya sebagai lingkaran proses belajar yang terus membesar. Sebagaimana yang dikatakan penyair Jerman Rainer Maria Rilke, hidup merupakan proses belajar tidak putus-putusnya. Tentu saja belajar dan mempelajari kembali sejarah sebagaimana yang terjadi beberapa kali dalam kehidupan pribadinya, membuat Schimmel agak jenuh dengan selalu berubahnya fokus dan perspektif dalam kehidupan politik di negara-negara yang bertautan dengannya.
Mungkin meneroka pada masyarakat Muslim (dan bukan hanya Islam) di era modern, menurut Schimmel, kita harus menjaga wawasan intelektual perihal pola pasang-surut sejarah. Dengan mengemukakan kembali pemikiran sejarawan Ibn Khaldun, dalam kitab Muqaddimah-nya, Schimmel mengkritik kecenderungan masyarakat era kiwari (setidaknya ia sendiri), yang cenderung mencari kekuatan yang tidak berubah di balik permukaan samudra peristiwa yang bergelombang. Seperti yang dikisahnya:
Orangtuaku yang arif mengajari saya masalah ini dengan cara yang berbeda. Dari ayah, saya mendapatkan pemahaman tentang jantung agama. Ibu memberi saya kearifan yang dalam, kesabaran yang tidak terhingga untuk anaknya yang agak aneh ini, serta dukungannya yang tidak pernah habis. Tanpa kesemuanya itu, hidup saya pastilah berbeda jauh.
Ibunda Schimmel hanyalah seorang gadis kampung yang tidak pernah mengenyam bangku pendidikan sekolah menengah, tetapi ia betul-betul belajar secara otodidak. Ia membaca semua naskah dan draf semua buku dan artikel berbahasa Jerman karangan Schimmel. Ia bertindak, sebagaimana yang suka disebutnya, sebagai “suara rakyat”.
Ibunyalah yang mengajari Schimmel menulis dengan mempertimbangkan pembaca yang awam. Namun, orangtua itu juga yang mengawasi kecenderungan Schimmel yang terlalu jauh ke dalam mimpinya tentang kecintaan mistik. Perihal ini dikarenakan sang ibu sangat perasa, sehingga ia takut jikalau anak perempuannya kehilangan kesadaran dan pikiran kritis.
Dalam dunia pendidikan kontemporer yang semakin singkat, Schimmel mengerti bahwa setiap saat, yang paling tidak menyenangkan sekalipun, mengajarinya “sesuatu”. Dan bahwa setiap pengalaman mestilah dimasukkan ke dalam kehidupan kita, guna memperkaya kehidupan itu. Karena tiada kata akhir untuk belajar, seperti juga tiada lema akhir untuk kehidupan.
Ketika Iqbal mengutarakannya dalam rumusan yang berani “Surga adalah tiada hari libur!”, dia mengungkapkan pandangan ini. Pandangan yang disukai oleh Johann Wolfgang von Goethe dan para cendekiawan lainnya. Bahwa, bahkan kehidupan yang abadi sekalipun akan merupakan proses kesinambungan guna bertumbuh dan untuk belajar. “Belajar dengan cara bagaimanapun, sesuatu ihwal misteri Tuhan yang tidak dapat diduga, yang mewujudkan diri dalam pelbagai pertanda,” ujar Schimmel. Penderitaan juga termasuk di dalamnya. Dan tugas paling sulit dalam kehidupan adalah belajar untuk sabar.
Bagi Schimmel, belajar adalah mengubah ilmu pengetahuan dan pengalaman hidup menjadi kearifan dan kasih sayang, untuk menjadi “dewasa”.
Arkian, seperti dikatakan dalam tradisi Timur, kerikil bisa berubah menjadi rubi, dengan memberikan kepadanya kesabaran untuk mengambil sinar matahari, menumpahkan darahnya sendiri dalam sebuah pengorbanan tertinggi. Schimmel adalah mutiara yang membawa pemahaman yang lebih baik dan manusiawi tentang Islam kepada Barat. Ia bagai gelas kristal: bening, cemerlang, dan insyaallah menyucurkan cahaya.
Bagus akhuya muhammad iqbal. Teruskan menulis….