Sedang Membaca
Dialektika Muhammad: Transformasi Jahiliyah Menuju Peradaban Islam
M. Hasyim Romadani
Penulis Kolom

Mahasiswa Filsafat di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, sekarang sedang berdomisili di PP. Aswaja Nusantara Zawiyah Matan UIN Sunan Kalijaga

Dialektika Muhammad: Transformasi Jahiliyah Menuju Peradaban Islam

Islam yang dibawa oleh Muhammad adalah agama pencerahan bagi sekalian mahkluk. Nilai-nilai luhur di dalamnya adalah jiwa bagi kehidupan dunia. Muhammad kembali mengembalikan ajaran-ajaran nenek moyangnya yang telah mengalami pergeseran.

Menjadi tempat kelahiran nabi terakhir, negeri Arab tentunya bisa dikatakan beruntung sebab di tempat lain orang Yahudi telah meramal dan meyakini bahwa nabi tersebut akan lahir dari golongannya. Tapi takdir adalah takdir, tidak ada yang bisa mengubah kenyataan, bangsa Arab lebih dahulu berkesempatan untuk mendapatkan karunia luar biasa itu.

Pada kesempatan kali ini penulis akan sedikit menjelaskan transformasi budaya yang telah dilakukan Nabi Muhammad di semenanjung Arab. Transformasi ini juga meliputi penjelasan mengenai ekspansi Islam yang mengedepankan upaya damai.

Tulisan ini mencoba mengangkat ajaran Islam yang sangat menjunjung tinggi moral dan juga nilai kemanusiaan. Selain itu juga diharapkan mampu menjawab tudingan tudingan negatif pihak yang tidak suka atau bahkan membenci Islam. Pihak ini kerap kali beranggapan bahwa Islam adalah agama yang jumud, keras, yang berkembang dengan pedang (peperangan) dan seolah jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Lebih lanjut mari kita simak ceritanya.

Untuk mengetahui transformasi apa saja yang telah dilakukan Muhammad di semenanjung Arab, kita perlu terlebih dahulu mengetahui bagaimana keadaan Bangsa Arab sebelum datangnya Islam.

Semenanjung Arab adalah suatu wilayah yang diselimuti kebodohan. Kebodohan ini merembet pada setiap lini kehidupan masyarakat, mulai dari sosial, ekonomi, dan juga praktik keagamaan.

Pada tahap ini masyarakat Arab mengalami kebobrokan moral yang begitu tampak, hingga disebut sebagai bangsa jahiliyah. bisa kita amati bagaimana penilaian ini kemudian dialamatkan pada bangsa Arab pra-Islam.

Kehidupan Sosial masyarakat Arab dapat dibilang memprihatinkan. Masyarakat Arab secara struktur sosial dibedakan menjadi dua golongan, yaitu golongan para budak dan golongan orang yang merdeka. perbudakan ini terjadi sebab peperangan yang sering dilakukan oleh orang-orang Arab.

Baca juga:  Gus Dur Menziarahi Syekh Mutamakkin, Sebuah Kritik Filologis

Dari penuturan beberapa ahli sejarah, termasuk Syed Ameer Ali dalam bukunya yang berjudul Api Islam : Sejarah Evolusi dan Cita-cita Islam dengan Riwayat Hidup Nabi Muhammad kita bisa mengetahui bahwa peperangan yang terjadi biasanya dilatarbelakangi oleh kefanatikan terhadap kelompok pribadi atau kabilahnya, sehingga memunculkan rasa permusuhan antar kabilah satu dengan yang lainnya.

Perempuan pada masa ini juga sangat tidak dihormati. Lelaki boleh menikah seenaknya tanpa ada batasan jumlah lalu diceraikan bila telah bosan, bahkan perempuan tidak memiliki bagian dari warisan. Ditambahi dengan kebiasaan bangsa Arab yang sangat menggandrungi peperangan, mengakibatkan bayi bayi yang lahir dengan berjenis kelamin perempuan kerap kali dibunuh karena dianggap menyusahkan. Dari keterangan ini bisa dibayangkan bagaimana tersiksanya seorang perempuan di masa jahiliyah.

Masalah selanjutnya adalah perekonomian yang menyulitkan kelas bawah. Praktik perekonomian atau perdagangan Arab malahirkan sistem pinjaman berbunga. Praktik riba telah disejajarkan dengan praktik jual beli. Hal semacam ini tentunya berat sebelah karna hanya menguntungkan pihak yang kaya. Parahnya, orang yang tak mampu membayar utang kemudian akan dijadikan budak. Dari semua penjelasan ini tak heran mengapa bangsa Arab memiliki julukan sebagai bangsa yang kolot dan tak bermoral sampai pada akhirnya Nabi Muhammad datang membawa ajaran Islam dan memberikan perubahan yang signifikan.

Transformasi budaya yang dilakukan Nabi Muhammad bersumber dari ajaran Islam yang dibawanya, ajaran yang menjawab proses perenungan, kontemplasi, serta analisa Nabi Muhammad. Tidak secara langsung mendapatkan wahyu, Nabi melewati proses berpikir terlebih dahulu, berdialektik dengan pemikirannya, yang kemudian oleh Musya Asy’arie jelaskan sebagai bentuk keberfilsafatannya.

Ajaran Islam memiliki dua penekanan untuk perlahan merombak kemerosotan moral masyarakat jahiliyah. Pertama adalah prubahan sistem teologi yang awalnya politeisme menjadi ketauhidan. Kedua dengan cara menata struktur sosial dengan hukum-hukum. Pada kedua formasi ini kita akan sama-sama melihat perkembangan dari transformasi budaya yang dilakukan Nabi.

Perubahan sistem ketuhanan politeisme menjadi ketauhidan menghasilkan rasa kesetaraan dalam diri masyarakat sebab Tuhan yang mereka sembah adalah Tuhan yang sama, Tuhan yang satu, yaitu Allah.

Mereka diajarkan untuk hanya tunduk pada Allah, tidak pada selainnya, terlebih kepada mereka yang berlaku semena-mena. Akibatnya, perlahan praktik ketidakadilan sosial mengurang dan akhirnya menghilang. Ini adalah tahap pertama yang dilakukan Nabi untuk menghadirkan nilai-nilai kemusiaan yang telah lama hilang.

Baca juga:  Denys Lombard ke Makam Kiai Telingsing: Ziarah dalam Sepi (1)

Untuk mengatasi fanatisme kesukuan, Nabi melakukan pemantapan kesolidan dengan menyatukan keberagaman suku. Proyek ini makin membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih aman. Pasalnya Nabi Muhammad, sebagaimana penjelasan Ali Shodiqin, mengikat keberagaman suku-suku pada konsep ummah untuk menciptakan struktur sosial yang lebih kuat berdasarkan loyalitas keagamaan. Tidak membatasi pada suku, ras, atau budaya tertentu semua menjadi satu dalam ikatan keagamaan. Pada tahap ini Islam tidak hanya menjadi Agama melainkan juga menjadi institusi politik.

Setelah mengatur permasalahan masyarakat dalam unit yang besar, Nabi Muhammad juga meperhatikan masyarakat dalam unit kecil yaitu keluarga. Di sini Nabi menetapkan aturan-aturan tentang perkawinan, perceraian, pengasuhan anak, dan juga warisan. Dengan penetapan ini, Nabi terakhir kita menginginkan masyarakat untuk lebih beradab dan bermoral, sehingga tidak ada lagi praktik sosial yang merugikan salah satu pihak, yang dalam hal ini adalah perempuan.

Lebih jauh lagi aturan-aturan yang ditetapkan Nabi menyentuh segala lini kehidupan masyarakat, mulai dari praktik jual beli sampai tindakan pembunuhan.

Dari penjelasan awal mengenai transformasi budaya yang dilakukan Nabi Muahammad di atas sebenarnya kita sudah bisa menyimpulkan bahwa Islam hadir dan menyebar dengan cara yang damai. Proses penyebaran Islam memang beberapa kali mengantarkan umat Islam pada peperangan. Tapi kita perlu mengetahui secara lebih dalam mengapa peperangan itu sampai terjadi. Peperangan yang dilakukan umat Muslim pada kepemimpinan Nabi Muhamad tak lain adalah bentuk pembelaan diri demi mempertahankan hidup. Hanya ketika merasa terancamlah Nabi memerintahkan pasukan muslim untuk berperang. Kita bisa melihat permasalahan ini pada salah satu surat dalam Alquran:

Baca juga:  Muhammad SAW menurut Karl Marx

Telah diizikan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguh­nya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata, “Tuhan kami hanyalah Allah.” Dan sekiranya Allah tiada me­nolak(keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-NyaSesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa lagi Mahaperkasa”. (Q.S. 22:39-40). Jadi peperangan bisa dilakukan hanya ketika masyarakat muslim terancam.

Begitupun ayat yang mengutamakan perdamaian tak akan luput diajarkan sebagai implementasi ajaran Islam yang sebenarnya, “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. 8:61). Dan juga  surat An-nisa’ ayat 90.

Dari berbagai keterangan di atas bisa kita simpulkan bahwa nilai moral dan budi pekerti luhur adalah gambaran dominan tentang Islam. Segala lini kehidupan masyarakat Arab telah mengalami perubahan yang pesat, mulai dari sistem keagamaan, sosial, dan ekonomi, termasuk dalam hal ini adalah sistem peperangan.

Peperangan yang dilakukan Islam tidak lebih hanyalah bentuk pembelan diri, berperang bila terancam dan berdamai bila memungkinkan. Dengan begitu tudingan negatif yang dialamatkan pada Islam tidaklah benar. mengenai hari ini Islam terlihat jumud, kaku, dan dinilai mengajarkan kekerasan tak lebih hanyalah dampak dari kelompok yang menyimpang serta pemahaman dangkal tentang Islam. karna lebih luas dari pengertian agama, Islam adalah peradaban.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top