Pelayaran pertama kaum kolonial Belanda ke Nusantara dilakukan pada tahun 1595-1597. Pelayaran tersebut disponsori oleh Compagnie van Verre dari Amsterdam, Belanda. Konon kabarnya pelayaran tersebut adalah pelayaran yang sangat mahal dan penuh pertaruhan yang besar.
Pelayaran yang berangkat pada 02 April 1595 tersebut berangkat dengan empat armada kapal besar. Dari tiga tahun perjalanannya, dari 247 awak yang berangkat hanya 87 awak yang berhasil kembali ke Belanda. Dan dari empat armada kapal besarnya tersebut, hanya tiga kapal yang berhasil kembali (Steenbrink, 1995).
Dalam perjalanan pertama tersebut membawa seorang yang bernama Fredrick de Houtman (1571-1627), seorang tokoh petualang yang paling bersemangat dalam sejarah kolonial Belanda. Sosoknyalah yang pertama memiliki catatan dan laporan tentang interaksi dan pengalamannya dalam berhubungan dengan masyarakat Nusantara.
De Houtman memiliki laporan berjudul Cort Verhael van’ gene wedervaren yang konon ditulis tangan pada tahun 1602.
Nah, dari catatan De Houtman tersebutlah penting bagi kita untuk memahami bagaimana mereka melihat Islam pada masa mereka berinteraksi dengan masyarakat muslim Nusantara.
Catatan De Houtman tersebut banyak membahas soal Islam, bahkan banyak dari catatan yang ia tulis tersebut porsi tentang Islam memiliki porsi yang sangat besar. Ia menceritakan bagaimana ia ketika berhubungan dengan seorang raja muslim, petugas kerajaan, hakim kerajaan hingga perdebatannya dengan seorang ulama.
Menurut Karel Steenbrink (1995) dalam bukunya berjudul Kawan dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Hindia Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942) menjelaskan bahwa apa yang ada dalam catatan De Houtman tersebut memiliki keanehan-keanehan dalam mempersepsikan dan menjelaskan tentang Islam.
Dalam catatan-catatannya tersebut De Houtman masih membawa misinterpretasi dan prasangka Barat-Kristen yang telah mapan terhadap Islam.
Prasangka De Houtman tersebut bisa dilihat dari penamaannya terhadap agama Islam yang ia sebut sebagai “agama Muhammad”. Penyebutan De Houtman tentang agama Muhammad ini menarik untuk ditelisik, apakah penyebutan tersebut ia dapatkan dari masyarakat Nusantara sendiri dalam menyebut agama mereka.
Ternyata tidak, penamaan Islam sebagai agama Muhammad tersebut menggambarkan bahwa pelabelan tersebut adalah prasangka bawaan yang sudah mapan dalam kalangan Kristen-Barat.
Dengan kata lain, bagaimana De Houtman dalam melihat dan memahami masyarakat muslim Nusantara tersebut lebih banyak hanya melanjutkan prasangka tentang Islam dari apa yang sudah mapan dari kalangan Kristen di Barat.
Baca juga:
- Sayid Abdullah Lombok: Keluarga Suci dan Kolonisasi
- Berpakaian Islami di Masa Kolonial
- Mencari Historiografi Islam Indonesia yang Mandiri
Dalam catatannya tersebut ia tidak memahami Islam dari apa yang dipercayai dan diyakini oleh kaum muslim di Nusantara tentang Islam yang oleh mereka peluk. Kita tentu yakin bahwa tidak mungkin kaum muslim di Nusantara menyebut agama mereka sendiri dengan sebutan “agama Muhammad”.
Kemudian, yang dilakukan oleh De Houtman hanya pelabelan dari pemahaman tentang Islam dari kaum Kristen Barat yang sudah ia pelajari di Belanda sebelumnya. Ia tidak menggali ulang dari pengalaman dan interaksinya dengan kaum muslim Nusantara dalam mendefinisikan pemahaman tentang Islam di Nusantara.
Menurut Steenbrink (1995) kemungkinan misinterpretasi dan prasangka De Houtman dalam memahami Islam tersebut diperkuat dengan adanya kemungkinan bahwa dalam laporan dan catatan-catatannya De Houtman tersebut banyak ditambahi dan dibumbui hal-hal kecil agar menarik bagi para pembaca Belandanya. Dan memang catatan tersebut oleh De Houtman dipersembahkan kepada Pangeran Maurits di Kerajaan Belanda.
Dengan demikian, sangat tampak sekali pemahaman De Houtman tersebut memiliki bias-bias pemahaman tentang Islam di Nusantara. Latar prasangka dan labeling De Houtman dalam memahami dan menuliskan tentang Islam tersebut adalah problem kepenulisan kolonial dalam melakukan pencatatan kepada masyarakat jajahannya.
Kasus yang demikian itu banyak dilakukan oleh para penulis kolonial. Memang mengingat bahwa kolonialisme tidak semata-mata hanya pendudukan militer secara teritorial saja. Justru yang paling penting dari proses kolonialisasi adalah kuasa pengetahuan dengan tujuan menundukkan kebudayaan masyarakat jajahannya.
Terakhir, dari catatan De Houtman yang menampilkan gambaran tentang Islam di Nusantara yang penuh bias tersebut seolah mengamini kritik yang telah dilakukan Edward Said melalui karya Orientalism-nya tentang kuasa pengetahuan kolonial terhadap negeri jajahannya. Bahwa penjajahan tak hanya penundukan militer dan kewilayahan. Tapi juga adalah penundukan kepengetahuanan.