Kalau ingin tahu seberapa besar magnet lebaran di Madura, khususnya bagi perantauan di ibu kota, jangan tanya ke tukang survei atau mesin pengolahan data-data. Tanyakan ia kepada ahlinya, yakni kepada agen-agen perusahaan otobis, seperti PO Karina, Pahala Kencana, PO Haryanto, Madu Kismo, dan Gunung Harta perihal seberapa “sesuatu banget”-nya.
Tentu saja, itu pun bukan ukuran pasti karena yang mudik bawa mobil sendiri tak kalah banyaknya. Tapi, jalur bis Jakarta-Madura itu termasuk jalur paling ramai dan diincar berbagai perusahan otobus. Sekurang-kurangnya, itulah dasar pemikirannya. Di jalur ini, masa ‘toeslag’ berlaku paling lama. Kok bisa?
Orang Madura, selain mudik lebaran, di bulan Syawal biasanya arus baliknya tidak sekaligus alias arus balik grosiran, melainkan balik secara ‘eceren’ hingga mencapai satu bulan, hingga tutup bulan Syawal. Alasannya, saudara-saudara mereka di Madura banyak yang mengadakan hajatan di bulan tersebut.
Itulah satu hal yang khas dari lebaran di Madura. Perusahaan angkutan umum, terutama bis, akan berpesta pora di momen ini, terutama kira-kira setengah bulan sebelum lebaran hingga satu bulan setelahnya. Mobilitas orang Madura memang tidak perlu diragukan, terutama di masa-masa lebaran.
Dulu, kenyataan ini dapat terpantau dari penyeberangan Ujung-Kamal dan Jangkar-Kalianget. Sekarang kita tetap bisa menyaksikannya dari volume kendaraan yang melintasi Jembatan Suramadu.
Satu hal lagi: meskipun treyek bis AKDP di Madura itu ‘buntu’ hingga di Sumenep/Kalianget, tetapi armada-armada di lintasan ini beroperasi selama 24 jam, di saat trayek lintasan yang bahkan saling menghubungkan kota-kota besar pun tidak, seperti Malang-Surabaya atau Jogja-Semarang.
Sedikit berbeda, khususnya di daerah Blega, lebaran di situ juga dan di beberapa daerah “yang sewakt dengannya” lebih meriah justru pada saat Idul Adha (hariraya kurban), entah mengapa. Apakah karena banyak perantau yang lebih banyak memilih mudik di lebaran tersebut atau tidak?
Entahlah. Perantauan penjual sate umumnya memang berasal dari Sampang dan Bangkalan.
Jadi, saat dulu saya merantau, saya juga heran kenapa orang mengidentikkan sate dengan Madura: suatu hal yang sama sekali tidak saya mengerti karena tidak ada satu pun penjual sate asal Sumenep yang saya tahu begitu.
Pir-piran
Satu perayaan lebaran yang unik di Madura itu adalah pir-piran. Acara ini merupakan festival rakyat dan hanya dapat dijumpai di desa Bandaran dan Tanjung, desa-kecamatan yang berada di tapal batas kabupaten Pamekasan dan Sampang, di jalur selatan pulau Madura. Acara ini sudah berlangsung bertahun-tahun.
Menurut Sofyan, pir-piran berasal dari kata “pir”, yaitu kendaraan roda dua yang dihela oleh seekor kuda, mirip dokar. Pir mempunyai roda belakang sangat besar. Saya tidak pernah melihat, hanya bisa membayangkan. Konon, di atas roda pir itu terdapat tempat duduk yang berupa balai-balai.
Apabila kita mendengar istilah “pir-piran” sekarang, maka istilah itu mengacu pada kegiatan lalu-lalang atau ulang-alik masyarakat dari Tanjung ke Bandaran dan atau sebaliknya.
Dulu, mereka menggunakan alat transportasi bernama pir. Sekarang mereka menggunakan becak, atau odong-odong, atau sepeda motor.
Para pengunjung mengenaikan pakaian terbaik layaknya hari raya. Sebagian perempuannya bahkan mengenakan gelang-gelang emas begitu banyak. Kalung dan cincin pun tak ketinggalan. Mereka mengenakan pakaian baru dan meriah. Sepintas, pir-piran mirip fashion show raksasa dengan bentangan aspal sebagai cat walk-nya.
Mengapa acaranya hanya hilir-mudik di satu ruas jalan? Itulah gambaran masyarakat Bandaran-Tanjung dalam bersilaturahim ke sanak kerabat di hari raya.
Lazim diketahui, masyarakat kedua desa ini umumnya menikah dengan sesama tetangga. Pemukiman di sana sangat padat. Karena hanya menikah dengan sesama tetangga, maka dari itu, “main tellas” (saling bertandang di hari lebaran) cukup dengan pir saja, tidak perlu menggunakan mobil atau bis.
Pir-piran berlangsung tiga kali setahun, tepatnya “setiap keesokan hari raya”, yaitu keesokan hari raya Idul Fitri; keesokan hari raya Ketupat (hari raya ketujuh setelah Idul Fitri), dan keesokan Idul Adha. Pi-Piran yang terakhir inilah yang paling besar karena dianggap sebagai “main tellas” terakhir dari serangkaian ketiga hari raya itu.
Pada ketiga acara ini, jalur selatan pasti macet. Acara ini biasanya dijaga oleh kepolisian dua resor, Sampang dan Pamekasan. Uniknya, untuk membubarkan acara ini, polisi tidak perlu menurunkan pasukan huru hara, cukup mobil patwal yang TOA-nya berbunyi woro-woro, “Ampon, tore enggi. Paleman ampon! Persiapan salat Maghrib. Sae, se ashalat-a Maghrib.” (“Sudah, cukup. Mari pulang untuk bersiap-siap salat Maghrib”).
Saya amati, kurang dari lima menit, perubahan drastis terjadi. Orang-orang bubar dengan sendirinya karena persiapan pulang rumah masing-masing karena sebentar lagi azan Maghrib akan berkumandang.
Di Sumenep
Di Sumenep, saya tidak menemukan hal unik kecuali hanya saling kunjung-mengunjungi. Biasanya, di hariraya ketupat, hari ketujuh, orang-orang pada berkunjung ke tempat wisata. Pantai Lombang dan Pantai Camplong adalah dua tempat wisata yang paling ramai dikujungi di hari raya ketupat. Hanya itu saja yang saya rekam. Sisanya, biasa saja, seperti di mana-mana tempat.
Namun, ada satu hal yang mungkin perlu diceritakan. Di tempat kami, di Guluk-Guluk, ada kebiasaan kunjungan yang terjadwal selama nyaris sepekan, bukan hanya pada jam tertentu dan hari tertentu. Kunjungan terjadwal ini membuat kerabat yang akan saling-mengunjungi tidak akan salipan, jadi pasti betemu.
Jadwal ini dimulai dari kunjungan ke kediaman generasi yang tertua, baru lanjut ke generasi berikutnya, berdasarkan urutan usia juga dan untuk selanjutnya diatur bersama. Kesepakatannya, menu hidangan adalah cemilan dan makanan ringan. Jika ada yang mau menyiapkan makanan berat, diusulkan lebih dulu dan biasanya menerima kunjungan di jam makan (pagi atau siang).
Sejauh ini, kunjung-mengunjungi ini terjadwal hingga hari ketujuh.
Menu di hari pertama ada delapan kali kunjungan, pagi, siang, dan sore. Menunya: teh, camilan, buah-buahan, rujak buah manis-pedas, minuman limun dan temulawak, cemilan, nasi kuning, penganan ringan, gorengan, jajanan basah, kue kering, urap-urap kecambah, umbi-umbian rebus, rujak kepeng. Adapun menu di hari kedua adalah; serabi kuah, gado-gado, es rumput laut, lemper, pasong, tempura, kepeng, martabak, es krim, rujak lontong, bakso, kroket, gado-gado, lopes, es buah, gorengan, rujak kepeng, krupuk, gorengan, sosis/donat, rujak buah, nutrijel, kue kering, rujak lontong. Menu beratnya adalah nasi Bukhari.
Hari ketiga hanya ada pagi dan siang, sorenya kosong. Adapun jadwal kulinernya adalah; cake, gorengan, mie gendud, tramcam, cenil, sitrup frambozen, tahu petis, susu kedelai.
Hari keempat Syawal, rutenya bergeser agak jauh, kurang lebih duabelas kilometer. Kami biasanya rombongan dalam melakukan kunjungan. Adapun menu yang disajikan adalah; bakso lontong dan cendol.
Di hari kelima, acaranya bebas, bergantung siapa pun yang siap menyelenggarakan pertemuan. Hari keenam kosong dan baru hari ketujuh yang bertepatan dengan hariraya ketupat, kami melahap sajian lontong dan ketupat.
Jika ada yang kebetulan berpuasa sunah Syawal, umumnya mereka tetap hadir dengan risiko harus tahan diri untuk menahan liur sampai acara selesai. Acara di tempat kami ramai sekali, bukan? Lalu, bagaimana di tempat Anda?