Shalawat banyak sekali sighat-nya. Redaksinya beragam, mulai dari yang pendek hingga yang panjang. Shalawat-shalawat tersebut disusun oleh ulama atau aulia’, namun ada pula yang bersumber dari Rasul dan diajarkan secara langsung.
Shalawat-shalawat itu kemudian dibaca dan dijadikan aurad/wiridan. Ada yang dibaca secara berkala atau insidental. Di antaranya, ada ulama yang mengkreasikannya dengan riyadhah khusus, misalnya untuk pengobatan dan keperluan lainnya.
Shalawat Ibrahimiyah
Shalawat ini adalah yang paling masyhur karena digunakan di dalam shalat. Shalawat Ibrahimiyah biasa dibacakan kepada anak-anak dan ditiupkan ke ubun-ubunnya demi ketenteraman hati dan sifat khudlu’ yang diharapkan memancar dari kedalaman batinnya berkat permohonan kita kepada Allah melalui nabi-nabinya. Redaksi shalawat ini dibaca pada tahiyat akhir sebelum salam. Adapun sighatnya sedikit berbeda, ada yang menggunakannya “tanpa sayyidina” dan ada pula yang “dengan sayyidina”.
Shalawat Tibbil Qulub (Syifa’)
أَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ طِبِّ الْقُلُوْبِ وَدَوَائِهَا وَعَافِيَةِ الأَبْدَانِ وَشِفَائِهَا وَنُوْرِ الأَبْصَارِ وَضِيَائِهَا وَعَلَى آَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ
Shalawat ini umumnya digunakan untuk penyembuhan, sesuai dengan namanya. Namun begitu, namanya adalah “tibbil qulub” atau “obat hati”. Meskipun di dalam redaksinya disebutkan juga perihal “kebugaran tubuh dan penyembuhannya”, namun pengobatan hati tetaplah yang utama. Ini dapat dirujuk pada adanya frasa “qalbun salim” (hati yang lurus/murni) di dalam Alquran, tanpa ada “jismis salim” (tubuh yang sehat). Intinya, hati adalah kunci dengan juga memperhatikan bahwa tubuh juga harus diperhitungkan karena menjadi penentu gerak dalam aktivitas ibadah.
Jika ada statemen “aqlus salim” (akal yang sehat) dan “qalbun salim” (hati yang sehat), maka kemungkinan besar ia merujuk pada pernyataan mens sana in corpore sano (akal yang sehat ada pada tubuh yang sehat) dan itu juga telah ‘diamputasi’ dari statemen dari petikan puisi Juvenal, seorang penyair Romawi, yang selengkapnya berbunyi “orandum est ut sit mens sana in corpore sano” dan bermakna “berdoalah agar di dalam tubuh yang sehat terdapat pula jiwa yang sehat”. Setelah dipangkas bagian belakangnya saja, maka statemen yang religius ini menjadi sangat materialistik, sangat fisikal. Nah, sebab itulah, pernyataan tersebut tidak kita temukan dalam tradisi keislaman.
Shalawat Syajaah (Haibah)
Adapun Shalawat Syajaah kadang disebut pula Shalawat Haibah (karena kedua kata tersebut sama-sama disebut di dalam sighat atau redaksi shalawatnya). Shalawat ini, biasanya, digunakan seseorang yang akan menghadapi masalah berat, persoalan yang dianggapnya menakutkan, seperti menghadapi persidangan, menghadapi pendadaran skripsi, dll. Redaksi shalawatnya memang mengarah ke sana. Maka, berkat keyakinan atas syafaat Rasul sejak di dunia hingga akhirat, ramai orang membaca ini, baik sebagai riyadhah (bacaan harian) maupun bacaan berkala, yakni dibaca saat-saat menjelang kondisi yang dimaksud. Berikut redaksinya.
اَللهم صلِّ على سَيدنَا مُحَمَّدٍ صَلاةً تُلْقى بِها الرُّعْعبة وَالْهَيبةَ والعجز والضعف والفشلة فِى قلوبِ الْكافريْن وَالْمُلحدين
وتلقي بها الشجاعة والحماسة والنشاطة والقوة واليقين في قلبي وقلوب المسلمين وَعلى آله وصحْبه وسلِّم
Shalawat Nariyah
اَللّٰهُمَّ صَلِّ صَلَاةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلَامًا تَامًّا عَلىٰ سَيِّدِنَا مُحَــمَّدِ ࣙالَّذِيْ تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضٰى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلىٰ اٰلِهِ وِصَحْبِهِ فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَ نَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ
Banyak yang menentang shalawat yang sangat masyhur ini. Alasannya adalah karena dianggap terlalu menggantungkan ‘nasib’ kepada Nabi Saw (padahal, mestinya hanya kepada Allah—demikian menurut orang yang menyesatkannya). Akan tetapi, ia tetaplah ramai dibaca, bahkan termasuk yang paling populer di antara bacaan shalawat yang beredar di dalam masyarakat. Shalawat ini merujuk kepada Ibrahim at Taziyah dan juga kepada Imam Qurtubi. Konon, wali kutub teragung, Syeikh Abdul Qadir al-Jailani, juga memdawamkan bacaan ini.
Ada riyadhah khusus (dalam hal jumlah wirid) yang dikenal luas di dalam masyarakat dan menggunakan sighat Shalawat Nariyah. Biasanya, ia dibaca untuk kepentingan khusus. Shalawat Nariyah untuk kepentingan khusus biasanya dibaca sejumlah 4444 kali, baik sendirian maunpun dengan bantuan beberapa orang yang membacanya, dibagi habis sejumlah angkat tersebut dengan menggunakan alat penghitung batu, jagung, atau lainnya.
Burdah
Burdah adalah kitab puisi yang paling banyak digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari upaya bermimpi Nabi, sebagai sarana permohonan kesembuhan dari sakit, maupun perlindungan dari bala dan wabah, hingga penyembuhan saraf. Burdah kerap dijadikan ritual gerbat (gerakan batin) dengan cara dibacakan sambil berkeliling, di sekitar lokasi yang dimaksud (kalau di pondok pesantren biasanya di area batas terluar, mengelilingi pondok), dan dibaca bersama. Tujuannya adalah agar bacaan tersebut—atas pertolongan dan izin Allah tentunya—dapat menjadi “perisai maya” atau “benteng tak kasat mata” dari berbagai gangguan dan serangan, baik dari makhluk halus (jin) maupun makhluk kasar (manusia).
Di beberapa tempat, di Madura khususnya, biasanya, Burdah dibacakan di dekat orang yang sakit kritis. Tujuannya adalah; jika diberikan kesembuhan, cara itu dianggap sebagai cara untuk penyembuhan; jika ditakdir meninggal, maka diharapkan dapat membuat si muntazir (orang sakit yang menunggu ajal) dimudahkan saat dicabut ajalnya. Ada juga pengecualiannya: Burdah dianggap sebagai sarana penyembuhan secara umum, maka tak heran saat wabah korona, banyak sekali kampung dan desa yang menggiatkan pembacaan Burdah bersama-sama.
Namun, di antara yang sangat menarik dari Burdah adalah baik ini:
كم أبرأت وصبا باللمس راحته # وأطلقت أربا من ربقة اللمم
Maknanya kira-kira berarti bahwa banyak orang gila yang sembuh hanya dengan disentuh tangan beliau, dan sakitnya itu pun tidak kambuh lagi. Bait ini, oleh beberapa orang, digunakan riyadhah untuk media penyembuhan orang stres/gila atau syaraf terganggu (termasuk kesurupan). Biasanya, selain bacaan, media yang digunakan adalah daun dan/atau sulur sirih, dan tentu saja air.
Biasa kita bayangkan, betapa tinggi dan hebatnya marwah kepenyairan itu. Burdah yang dulu dikenal semata puisi madah, belakangan bertambah fungsi sebagai media pengobatan. Kiranya, kita bisa berkaca kembali, menilik kembali, mengapa peran penyair itu begitu penting dampaknya bagi kehidupan masyarakat secara umum sehingga ia masuk ke dalam salah satu surah di dalam Alquran.
Di atas itu semua, hampir semua media yang digunakan terapi atau penyembuhan dari bacaan-bacaan shalawat di atas pastilah menggunakan air. Kita sering melihat orang mengaji lalu meniup air dalam gelas (atau botol) setelah selesai. Begitu pula, kita melihat hal yang sama saat minta doa/kesembuhan dari seorang kiai/ulama. Mengapa air? Padahal kita tahu uap nafas kita tidak senyawa kimia dengan air? Jawabannya ternyata ditulis oleh Masaru Emoto dalam The Miracle of Water. Dalam penelitiannya itu, beliau hanya sekadar mengambil contoh air yang ditiup dengan ucapan biasa saja, seperti arigato dlsb, sudah dapat menyimpulkan bahwa air itu merespons. Jika arigato saja bisa membuat air berubah cerah berkristal, maka apalagi Tibbil Qulub dan Burdah yang ditiup?