Sebagai pakaian, sarung agak tersingkir. Kadang pula, ia menjadi bahan untuk membuat adonan stereotip inferior. Di tengah publik—di luar Madura—saya pernah ‘dituduh’ (pakai tanda kutip karena mereka yang menuduh itu gayanya setengah meledek) habis sunatan hanya karena memakai sarung, padahal saya sudah dewasa.
Sarung memang identik dengan orang Madura, meskipun di daerah lain seperti di Lombok juga banyak orang mengenakan sarung. Di Madura, sarung merupakan pakaian keseharian. Orang pergi membajak sawah atau pergi ke kota sama-sama memakai sarung.
Di pertengahan 1990-an, kawan saya datang ke Madura dan menyatakan seolah-olah datang ke Mars, karena melihat ada orang naik motor pakai sarung, orang memanjat kelapa juga pakai sarung. Pandangan yang dibawanya dari luar bahwa bersarung hanya dilakukan oleh mereka yang Salat Id atau habis sunat atau pejabat yang mau salat berjamaah di Masjid Istiqlal, rusak sudah. Di mana-mana, sarung berkibar-kibar.
Sindhunata pernah menulis resensi buku Accros Madura Strait, sekumpulan esai karya orang Eropa tentang Madura dan orang Madura. Dalam esai yang berjudul Malangnya Orang Madura dan Teganya Orang Jawa, Romo Sindhu melihat bahwa pandangan inferior terhadap Madura dan orang Madura itu salah satunya namun yang utama, berawal dari etnologi versi Belanda.
Bukan sekadar soal pakaian dan bentuk fisiknya, bahkan soal sebutan ‘toron’ (turun) untuk mereka yang datang ke Madura adalah salah satu buktinya. Jadi, kalau kita mengacu pada pernyataan sebagaimana esai Sindhunata itu, maka wajar saja stereotip miring tentang Madura dan segala sarung yang membungkusnya.
Terus, asal-muasal sarung itu dari mana? Saya tidak tahu, tapi kita dengan mudah dapat menelusurinya. Saya belum merasa lebih penting mencari nenek-moyang sarung daripada mengenakannya. Kajian kesejarahan soal ini pasti sudah banyak, tetapi karena bukan itu yang saya ingin sampaikan, maka biar Anda saja yang mencarinya di tempat yang lain saja.
Kenyataannya, hingga saat ini, sarung di Madura merupakan hal yang lazim dikenakan manusia-manusianya. Orang yang bersarung masih banyak, meskipun mereka tidak sedang pergi ke masjid. Jadi, sarung tidak dilekati dengan hal-hal yang bernuansa ibadah sebagaimana selalu demikian jika kita acukan dengan sinetron dan hal lainnya. Di Madura, mudah ditemukan orang mengayuh becak menggunakan sarung, bahkan pencuri yang kepergok warga dan sedang menggunakan sarung pun juga ada.
Kebiasaan ini lantas membuat saya, misalnya, ketika bepergian ke luar Madura dan tetap menggunakan sarung, terkena imbas pandangan minor-inferior. Jangankan pergi ke luar Madura, di lingkungan Madura perkotaan saja, terkadang masih ada stereotip warganya yang menganggap ‘keterbelakangan’ sarung. Betapa hebat sudut pandang sekerumunan orang penting itu dalam membentuk sebuah anggapan masyarakat banyak yang awam.
Akan tetapi, beda dengan perusahaan tenun besar. Mereka menganggap Madura dan orang Madura adalah aset yang tak boleh dilepaskan. Perusahaan yang menerbitkan sarung seperti Manggis, Behaestex, Lamiri, Donggala, bahkan mengeluarkan motif-motif khas dan khusus yang identik dengan orang Madura. Ciriya berwarna mencolok dengan dominasi warna menyala dan solid, seperti merah, kuning, dongker, hijau, dst.
Sarung kotak biru-kehitaman ala Manggis pernah menjadi identitas “orang-orang tua di Madura”, sementara sarung motif kotak berwarwa merah jambu menyala, seolah menjadi identitas hampir setiap grup hadrah.
Jika pemakaian sarung terus bertahan, bahkan berkembang ke wilayah-wilayah lain di area Tapal Kuda yang notabene banyak dihuni oleh orang Madura, bukan mustahil Lee Cooper dan Lea akan memproduksi sarung premium juga, menjadi pesaing baru bagi Lamiri dan BHS.