Filosofi buka bersama itu sebetulnya berawal dari filosofi sedekah, yakni memberi (bahan) berbuka puasa kepada orang lain, terutama fakir miskin. Jelasnya, bahan berbuka tentu saja bukan beras dan kangkung mentah juga ikan gabus hidup, melainkan sudah dalam wujud nasi, oseng-oseng, dan ikan pepesan, misalnya, agar ia dapat langsung disantap begitu azan maghrib berkumandang.
Kenyataannya, agar lebih praktis, langkahnya dibalik: yang hendak dikasih sedekah diundang ke rumah.
Karena filosofi sedekah itu adalah berbagi rezeki dengan asas kebahagiaan, acara buka bersama baiknya mengandung asas ini, sebisa mungkin tidak merepotkan dengan berbagai macam hal-ihwal, misalnya; undangan harus tanda tangan dan menyetorkan foto KTP lebih dulu, dan seterusnya.
Saran tambahan, menunya lebih menyelerakan lidah terundang. Tentu saja, ini bukanlah dengan maksud menghina orang yang tidak mampu bersedekah tetapi ingin bersedekah buka. Ini hanya tentang salah satu cara bersedekah.
Lain lubuk, lain belalang, kata pepatah. Kebiasaan buka bersama mungkin beda di Madura dan beda pula di Padang, baik cara maupun menu. Entah puasa tahun lalu atau tahun sebelumnya, nyaris sebulan suntuk saya berbuka di rumah tetangga.
Undangan paling heroik adalah undangan berbuka puasa persis di hari pertama. Undangan ini bikin ewuh-pakewuh. Ketika banyak perantauan Madura—khususnya area Tapal Kuda—yang pulang ke Madura hanya demi “tampaan”, bagaimana rasanya jika ia mengalami ini? Harus berbuka di rumah orang?
“Tampaan” atau “nampani” adalah tradisi unik di Madura, mungkin juga ada kekhasan lain di tempat lain. Tampaan (kata benda) adalah “aktivitas nampani” (kata kerja; tindakan menyambut hari pertama bulan Ramadan), yakni berupa tindakan pulang ke rumah (atau ke tempat tertentu yang dianggap dekat secara emosional dengan pelaku) “hanya” untuk menjalani taraweh pertama, puasa pertama, dan buka pertama, di rumah asalatau patobin, rumah orangtua.
adi, tidak heran apabila ada warga Madura perantauan yang rela menempuh jarak hingga 300-an kilometer demi melakukan ini. Tampaan, bagi sebagian orang, adalah momen dramatis dalam hidupnya.
Ada beberapa jenis buka bersama yang pernah saya alami:
Pertama, buka bersama ala biasa: mengundang sanak kerabat dan tetangga untuk datang kira-kira satu jam sebelum azan maghrib. Adapun pra acara, yakni sebelum acara inti yakni makan bersama, ada acara pembacaan tahlil atau mengaji Alqurannya.
Biasanya, acara buka bersama ala ini tidaklah murni acara buka bersama, melainkan terpadu dengan acara lain yang dibarengkan, seperti haul, selamatan, dan sebagainya.
Kedua, buka bersama sungguhan. Pernah saya alami beberapa kali acara buka bersama yang benar-benar acara buka bersama. Maksudnya?
Undangan datang kira-kira limabelas menit sebelum maghrib. Tiba di lokasi, kiai yang ditunjuk membaca doa singkat setelah azan dan setelah itu lanjut makan, tanpa acara tambahan lainnya. Biasanya, menu hidangan di acara seperti ini justru lebih mewah daripada yang lainnya, model prasmanan dan kadang ‘diamplopi’.
Ketiga, buka bersama politis. Yang pernah saya hadiri bukanlah acara kepartaian, melainkan mirip acara buka bersama mahasiswa, pake diskusi lebih dulu. Temanya pun sedikit mendakik, seperti tema politik kebangsaan dan/atau pembicaraan rencana-rencana strategis umat.
Tema kepartaian saya tidak tahu karena saya nonpartisan. Bedanya, menu di acara seperti ini biasanya lebih beragam daripada buka bersamanya mahasiswa yang terkadang hanya berupa nasi bungkus atau nasi kotak.
Dan di antara acara buka bersama yang paling aneh yang pernah saya hadiri itu terjadi di Solo Baru. Ketika itu, saya hadir di dalam suatu acara buka bersama sebuah paguyuban, semacam komunitas, penglaju Solo-Jakarta (udah kayak trayek bis/kereta api saja nama kelompok mereka ini).
Namanya paguyuban, tentu saja yang hadir berbagai jenis orang dari berbagai latar. Maka, wajarlah jika yang datang tidak semuanya muslim.
Ketika itu, jam sudah menunjuk pukul lima sore. Acaranya sudah dimulai, semacam ngobrol santai begitu. Saya hanya nguping, tidak ikut nimbrung.
Beberapa menit lagi menjelang magrib, tiba-tiba, seorang hadirin menyingkir dari kerumuman, terus menyingkir lalu bilang kulonuwun kepada saya, lantas berlindung pada tubuh saya. Dia pun mengeluarkan sebatang rokok dan menyulutnya, “Sepurane, Mas. Enggak tahan,” desisnya.
Tiga detik kemudian, mengepullah asap putih, disemburkannya ke samping. Ia masih berupaya menyembunyikan, mungkin dengan maksud “ingin tetap menghormati tapi sudah enggak tahan”.
Asap putih itu, ya, rupanya seperti asap mesin diesel yang sudah bocor kompresinya. Tapi, aromanya tetaplah tembakau, mudah sekali diendus hidung yang bahkan walaupun tidak berpengalaman.