Begitulah para penulis zaman dulu memberi judul karangannya. Misal Nabi Muhammad dan Istri-Istrinya, Sadam Husein dan Istana Bawah Tanahnya, Mike Tyson dan Sarung Tinjunya, Kiai dan Kitab Kuningnya. Dan Seterusnya, dan seterusnya. Kali ini saya menulis judul “Masjid dan Toiletnya”. Ya, seperti pengarang zaman dulu membubuhi judul dalam karangannya. Saya senang sekali jika Anda ada waktu untuk membacanya. Bismillah..
Anda mendengar ungkapan seperti ini; “Kalau nyari masjid yang megah di Madura itu banyak, tapi kalau nyari masjid yang airnya banyak, nah, itu yang sulit”? Bagi saya, ini bukan ungkapan lelucon. Kalau pun dianggap sekadar lucu-lucuan, jelas ada sindiran bahkan sinisme di dalamnya. Bagaimana tidak, dalam ungkapan tersebut, orang Madura seolah-olah tidak tahu bahwa air merupakan syarat utama dalam bersuci. Jadi, buat apa membangun masjid yang megah kalau air didapat malah susah? Tapi itu dulu.
Saya juga mendengar ungkapan senada, tapi itu dulu. Sekarang, khususnya di sepanjang Jalan Nasional 21, di pesisir selatan pulau Madura, masjid-masjid di tepi jalannya sudah banyak yang airnya tercukupi. Memang, tidak semelimpah air di masjid-masjid di Jawa, tapi paling tidak, kondisi sekarang sudah mematahkan ungkapan di atas. Meskipun begitu, tidak semua masjid memiliki punya sumur sendiri, lebih-lebih di musim kemarau. Ada sebagian masjid yang airnya disuplai dari desa lain dengan pengiriman lewat truk tangki.
Kita tahu, air adalah hal yang paling dekat dengan proses bersuci umat Islam. Jadi, ketika di masyarakat di negara-negara Eropa mulai meninggalkan air di toilet dan beralih ke tisu, orang muslim Nusantara yang notabene bermazhab Syafii dan kebetulan melancong ke Benua Biru tersebut akan mengalami masalah serius. Di sana, toilet bahkan urinoir pun sudah awa-air. Problem ini disiasati oleh beberapa pelancong, misalnya, dengan membawa botol air sendiri untuk hadas kecil, seperti pipis, merepotkan sekali!
Adapun di Indonesia sendiri, masalahnya adalah hal lain, yaitu kesempurnaan dalam bersuci. Air ada, bahkan banyak, tapi acapkali tata ruang di toilet dan tempat wudu masjidnya yang kurang mendukung. Kita mungkin sering melihat arsitektur bangunan yang megah, penuh kaligrafi, marmer di sana-sini, dan interior yang menakjubkan. Yang berkarpet tebal dan berpendingin ruangan pun juga mulai marak. Semua ini akan membuat jamaah lebih betah saat iktikaf.
Beberapa masalah yang dimaksud, antara lain, adalah;
TEMPAT KENCING sebaiknya dirancang untuk jongkok. Sejauh yang saya temui, banyak tempat kencing di masjid yang memaksa orang kencing berdiri, baik karena ruang yang terlalu sempit atau karena memang menggunakan keramik tempat kencing berdiri. Dengan dirancang kencing jongkok, ada dua tujuan yang dapat tercapai: pertama, sesuai dengan anjuran Nabi: pipis jongkok (bahkan, di dalam Islam, ada teknik kencing yang benar pun ada panduannya, yakni dengan menumpukan beban tubuh pada kaki kiri yang posisinya sedikit dimajukan. Cara ini, konon, demi untuk menuntaskan air seni agar seluruhnya keluar, tidak tersisa di kantung kemih. Disunnahkan pula berdehem dan memijit batang kemaluan [bagi laki-laki]). Yang kedua, agar percikan air kencing tidak mengenai anggota tubuh dan/atau pakaian, terutama celana.
KOLAM AIR disediakan di pintu masuk tempat wudu dan pintu akses ke masjid. Hal ini adalah antisipasi kesucian sehingga percikan najis pada bagian tapak kaki atau lainnya dapat mengenai lantai yang dengan demikian akan membuat najis tersebar dengan mudah. Penempatan kolam air (yang lebih dari dua kulah) di pintu masjid, dari tempat wudu, adalah cara paling aman untuk menyelamatkan percikan najis agar tidak tersebar di seluruh masjid.
Saya menemukan masjid—di antaranya tiga masjid milik PO Haryanto—yang toilet/tempat kencingnya dibangun terpisah dengan masjid. Kiranya, hal ini memang disengaja agar kaki-kaki jamaah yang hendak masuk ke masjid sudah terjamin kesuciannya (tidak mutanajjis [terkena najis,]), serta terjamin dari percikan air seni secara langsung ke lantai yang terhubung ke masjid. Tentu saja, jika lahan terbatas, cara yang paling mungkin dilakukan adalah dengan penyediaan kolam air untuk membasuh kaki tersebut, terutama di pintu akses ke masjid dan/atau dari tempat pipis.
Pembicaraan masalah air dan kencing memang agak rumit dan harus rinci karena ia berhubungan langsung dengan cara bersuci dan kesucian. Shalat memanglah wajib, tapi apalah artinya wajib jika syarat-syaratnya tidak terpenuhi? Padahal, wadu dan kesucian pakaian dan tempat merupakan bagian tak terpisahkan dalam ibadah shalat.
HEMAT AIR: Sejauh ini, biasanya, sisa air wudu terbuang percuma. Pada beberapa masjid, saya melihat, sisa air wudu yang tidak terpakai (karena menggunakan kran/pancuran) dialirkan ke kolam air (untuk basuh kaki). Mengingat debit air semakin tahun semakin berkurang, maka pemikiran jangka panjang haruslah dipertimbangkan. Saatnya, fikih air tidak melulu bicara taharah, tapi juga harus berwawasan lingkungan (environmental) demi kelanjutan hidup dan kebutuhan hajat orang banyak. Adapun soal kebersihan dan kehigienisannya, bisa disiasati.
Di banyak tempat, kita melihat penapisan dan penyaringan air—seperti di Masjid Al-Aqsa, Klaten—padahal hanya untuk air mancur yang sifatnya dekoratif. Masa untuk bersuci/berwudu tidak bisa?
Demkianlah sekelumit pandangan. Tentu saja, semua ini hanya usulan yang sangat bergantung kepada daerah, iklim, budaya, serta keyakinan masyarakatnya. Paling tidak, ini menjadi catatan, bahwa untuk membangun masjid itu seharusnya melibatkan ahli fikih, tidak cukup dipasrahkan sepenuhnya kepada arsitek.