Seorang tamu—sebut saja Samsuri—pergi sowan kepada Kiai Hairul. Target utama dia sebetulnya Kiai Gofur, dengan maksud mengundangnya untuk suatu acara.
Dia sowan kepada Kiai Hairul lebih dulu demi mendapatkan ‘katebelece’ agar bisa menjumpai Kiai Gofur dengan jalan yang lebih mudah.
Cara seperti itu dianggap lazim terjadi, ibarat orang yang mau menghadap bupati, maka ia akan lebih mudah jika sudah kenal dengan orang terdekat bupati sehingga tidak perlu ribet menghadapi protokolernya.
Cuman, sialnya, Kiai Hairul ini memang tipikal suka bercanda, bahkan terkadang terkesan kelewatan bagi yang tidak biasa. Beliau berpesan pada si tamu.
“Nanti, setelah Sampeyan bertemu sama Kiai Gofur, suara Sampeyan harus dikeraskan karena Kiai Gofur itu kurang baik pendengarannya.”
Si calon tamu manggut-manggut.
Kiai Hairul masuk ke biliknya dan terdengar ia sedang menelepon, samar-samar. Tak selang beberapa lama, ia keluar lagi, menemui si tamu tadi.
“Silakan Sampeyan kalau mau menghadap Kiai Gofur sekarang. Sampeyan panggil salam saja di depan pintu beliau, langsung, tidak perlu cari santri atau khadam. Kiai Gofur ada di rumah kok, sudah saya telepon barusan,” kata Kiai Hairul kepada si tamu.
Begitu si tamu pergi, Kiai Hairul lantas menelpon Kiai Gafur untuk yang kedua kalinya. Ia menambahkan sejenis “catatan kaki”, catatan yang persis sama dengan yang berusan ia sampaikan kepada si tamu. “Mmm…Nganu, tamunya Panjenengan ini agak tuli. Jadi, Panjenengan kalau bicara nanti harus dikeraskan suaranya supaya dia bisa mendengar.”
Sementara itu…
Begitu terdengar orang menguluk salam, Kiai Gofur langsung muncul dan mempersilakan masuk. Si tamu pun duduk. Hanya beberapa detik berlalu, si tamu langsung memulai pembicaraan dengan dengan nada yang sangat keras, nyaris seperti orang berteriak.
“Pak Kiai, nama saya Hamdi, dari desa Tampojung. Saya ingin…”
Kiai Gofur kaget bukan alang-kepalang karena si tamu yang tidak dikenalnya itu—yang katanya kurang bisa mendengar dengan baik tapi malah teriak-teriak, seolah menganggap dirinyalah yang kurang bisa mendengar—berbicara dengan nada yang keras, seperti orang marah-marah.
“Heh! Apa-apaan ini? Jangan teriak-teriak! Saya tidak tuli!”
***
Jika ada cerita candaan “kelas berat” para kiai, maka wajar jika ada cerita serupa di level para lora (putra kiai atau kiai yang masih muda [bahasa Madura]). Anggaplah kasus ini sebagai “ala wazni”: yang terjadi berikutnya itu karena pernah terjadi sebelumnya. Rumusnya: anak muda selalu meniru anak tua.
Tersebutlah Lora Zawid dan Lora Jufri. Keduanya berkerabat, sefamilian. Suatu hari, Lora Jufri menghadiri undangan acara di dekat rumah Lora Zawid. Kala itu, tuan rumah bertanya kepada Lora Zawid, “Siapa, ya, lora yang pakai kacamata dan berkumis itu?” Maksud si tuan rumah itu adalah Lora Jufri.
“Ooo… beliau itu cucunya Mbah Wali. Jangan macam-macam sama beliau. Beliau kalau dikasih berkat, biasanya mutung dan pulang duluan.”
“Mmm… iya, baik, Ra.” Tuan rumah mengangguk-angguk tanda paham. “Apa lagi yang harus dihindari?”
“Jangan dikasih amplop. Bahaya! Kalau dikasih amplop, beliau biasanya tidak akan datang kalau diundang lagi.”
“Oh, baik, Ra. Tapi, kalau cuma kopi, tidak apa-apa?”
“Kalau cuman kopi, silakan, tapi ingat: jangan dikasih berkat!”
“Baik, Ra.”
Tuan rumah rupanya sangat taat terhadap Lora Zawid yang kebetulan memang dituakan di lingkungan desanya meskipun usianya relatif muda. Jadi, ia percaya saya terhadap ucapannya.
Acara selesai dan benarlah yang terjadi. Saat hidangan diedarkan, seluruh undangan dikasih berkat (besek) dan kopi. Hanya satu orang saja yang dilewati, yaitu Lora Jefri. Sebagian tamu, biasanya, akan memintakan berkat kepada tuan rumah jika ada undangan yang tidak kebagian, tetapi yang ini perkecualian. “Tamu spesial” terkadang memang diperlakukan begitu, tidak dikasih berkat di hadapannya, melainkan langsung diletakkan di mobilnya karena berkatnya lebih besar daripada yang lain atau undangan umum.
Dalam perjalanan pulang setelah acara selesai, Lora Jefri bertanya-tanya dalam hati: “Apa salahku sehingga aku saja yang diperkecualikan, ya?”. Beliau melangkah ke mobil, dan sesekali menoleh ke belakang, siapa tahu ada orang yang datang tergopoh-gopog untuk menyusulkan berkatnya. Nyatanya, nihil, tak ada siapa pun, tak ada apapun.
Selang beberapa waktu kemudian, barulah Lora Zawid bertanya kepada Lora Jufri, “Gimana rasanya pulang kondangan tapi enggak dikasih berkat di saat yang lain nenteng besek semua?”
“Wah, iya. Kok kamu tahu?”
Lora Zawid tertawa dan langsung menjauh dari hadapan Lora Jufri setelah berkata, “Aku cuman ingin ngetes saja: seberapa hebatkah keikhlasanmu! Ha, ha, ha…”