Musik adalah salah satu tema di dalam Islam—terutama di Abad Kejayaan—yang duduk sejajar dengan matematika dan filsafat. Musik berkembang, tapi juga diperdebatkan secara sengit, bahkan—belakangan—cenderung direndahkan.
Musik juga ditinggalkan oleh sebagian kelompok karena dianggap sebagai mainan (malahi), remeh-temeh (anggap saja sejenis kitsch), yang tidak begitu penting diwacanakan dalam tema keislaman yang lebih besar. Musik dituduh membuat orang mudah lupa kepada Tuhan.
Sebagian pendapat menganggap musik adalah anugerah dan selera terhadap musik adalah sunnatullah. Pasalnya, manusia tidak bisa lepas dari musik karena ia adalah panggilan atau suara hati nurani. Dasar analoginya adalah surah Ali Imran ayat 14. (Baca: Musik dalam Khazanah Islam)
Enam kesenangan yang termaktub dalam ayat tersebut merupakan kebutuhan dan kesukaan manusia dan karenanya dianggap wajar dan tidak tercela. Tarekat Maulawiyah malah memadukan musik dan tarian sebagai sarana menuju ekstase.
Masih ada lagi pendapat di antaranya, yakni melarang memainkan alat musik tertentu tetapi memperbolehkan alat tertentu lainnya, termasuk juga mendengarnya. Artinya, memainkan tidak sama dengan mendengarkan. Beda pendapat adalah hal yang wajar dalam istinbat.
Esai ini bukanlah ajakan berdebat soal selisih pendapat. Ini adalah tentang hal lain, tentang kesamaan dan keserupaan dalam perbedaan.
Saya merasakan, malam 25 Desember 2018, saat menyimak kasidah “Thalama Asyku Gharami”, ada satu getaran yang menelusup. Anda mungkin mengenal lagu itu pertama kali sejak Haddad Alwi mempopulerkannya beberapa tahun yang silam atau melalui nasyid-nasyid sufi yang dilantunkan oleh penyanyi Arab maupun Turki.
Melalui penjelajahan di internet, saya menemukan data bahwa madah ini disusun oleh Syaikh Mahmd Abussyamat, seorang syekh Tarekat Syadziliyah-Yasyartiyah, sebuah tarekat Sunni di Syiria (bagian data ini perlu dilengkapi dan klarifikasi).
Akan tetapi, alangkah kaget saya manakala beberapa saat sesudahnya saya memutar lagu yang berbeda, sebuah lagu dari khazanah tiga agama di Abad Pertengahan di Spanyol.
Malam itu, lamat-lamat, di tengah malam, saat tetes air hujan jatuh satu per satu di atas atap, lantunan “Canción De Shabat – Iodujá Raional” sayup-sayup mengingang (dari album “Tres Culturas”, aransemen Eduardo Paniagua, dkk). Ternyata, ia adalah lagu religi umat Yahudi, nyanyian menjelang hari Sabtu nan suci.
Yang pasti, lirik keduanya jauh berbeda. Namun, lagunya persis sama. Yang pertama khazanah sufi, yang kedua dari tradisi Yahudi. Rupanya, selalu ada yang sama di antara yang berbeda.
Tentu saja, saya tidak sibuk mencari tahu, siapa yang mula-mula mengaransemen nada-nada ini lebih dulu. Yang ada dalam pikiran saya adalah; atas nama karya agung dan anugerah dari Tuhan, musik menjadi jembatan antar-sesama-manusia, yang berbicara melintasi ras dan bangsa juga bahasa. Benar, yang sering membuat kesenjangan dan salah paham adalah liriknya, dan itu adalah kata-kata, bukan nada-nada.
Jauh sebelumnya, saya biasa mendengar dan/atau melantunkan kasidah “Ya Rasulallah Salamun Alaik”. Kasidah susunan Syd Abdullah Alawi al-Haddad ini sangat masyhur di Indonesia.
Sejak kecil saya sudah mendengarnya, tapi baru belakangan ini saya dikagetkan karena lagu yang biasa saya dengarkan itu sama persis dengan “Qaddukal Mayyas”, sebuah lagu tradisional Syiria. Aransemen paling lawas digarap oleh Suhail Arafah. Meskipun sama nadanya, keduanya berbeda materinya. Yang pertama adalah madah nabawiyah, yang kedua adalah sanjungan asmara.
Kok bisa begitu?
Tak ada bangsa mana pun di dunia ini yang tidak menjadikan musik sebagai bagian dari jejak peradabannya. Musik itu universal. Sebab itulah, sangat wajar apabila bangsa yang satu mengisi khazanah budaya bangsa yang lainnya melalui proses akulturasi dan silang budaya.
Dalam dunia Islam, dasar-dasar musik yang utama diletakkan oleh Al-Farabi, seorang ilmuwan dan filsuf Islam yang berasal dari Kazakhstan. Nama lengkap beliau adalah Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzalah, berasal dari kota Otrar (nama lain dari kota “Farab” yang selanjutnya dijadikan nisbat namanya). (Baca: Empat Estetikawan Muslim Abad Pertengahan)
Melalui aritmetika, Al-Farabi memodifikasi nada-nada. Karyanya yang masyhur adalah “Kitab al-Musiqa”. Al-Farabi belajar ilmu-ilmu keislaman dan musik di Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari, ulama hadis paling masyhur dalam dunia Islam) hingga akhirnya melawat ke Baghdad untuk menuntut ilmu.
Sampai di sini kita dapat melihat, seperti apa hubungan Islam dengan musik dan bagaimana relasi musik terhadap agama dan peradaban. Jadi, jika Anda ingin berbicara untuk semua orang, semua agama, dan kepada seluruh perasaan dan hati umat manusia, bicaralah dengan musik karena sekeras apa pun ia bicara, tak akan pernah ia melukai perasaan pendengarnya.