Sedang Membaca
Kisah Seorang Arab Baduwi Kencing di Masjid
M. Faisol Fatawi
Penulis Kolom

Pengajar di Fakultas Humaniora UIN Malang. Pegiat literasi di Kota Malang. Menerjemah banyak buku dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Menyelesaikan program doktoral di bidang Pemikiran Islam, UIN Sunan Ampel Surabaya, dengan disertasi tentang "Naratologi al-Qur'an".

Kisah Seorang Arab Baduwi Kencing di Masjid

Islam itu merupakan agama ketundukan dan kepasrahan. Tunduk dan pasrah kepada Allah Swt. Bahwa hanya Allah Swt yang wajib disembah, dan tidak ada yang lain. Kalau sudah menyatakan Islam, maka berarti seseorang menyatakan diri tunduk dan pasrah kepada Allah Swt. Agama adalah ketaatan. Inilah inti dari Islam. Agama yang dalam bahasa Islam disebut dengan al-din memiliki pengertian ketaatan (al-tha’ah)

Islam itu juga berarti penyelamatan atau kedamaian. Pengertian ini dapat diambil dari arti kata al-islam, yang berasal dari akar kata slm. Seseorang ketika masuk Islam, maka dia disebut dengan muslim yang berarti “orang yang melakukan penyelamatan atau perdamaian”. Maka seorang muslim tidak boleh menyakiti kepada orang lain, meskipun berbeda agama dan akidah. Rasulullah saw bersabda: “seorang muslim adalah orang yang lisan dan perbuatannya tidak menyakiti kepada orang muslim lainnya.” 

Menjadi muslim tidak lantas menutup diri dengan orang lain yang berbeda keyakinan. Orang-orang yang hidup bertetangga di sekitar kita tetap menjadi saudara karena bertetangga. Imam Ghazali mengkategorikan saudara dalam tiga pengertian.

Pertama, seseorang dianggap saudara jika memang karena ada hubungan keturunan (senasab). Kedua, seseorang disebut saudara karena memiliki ikatan keyakinan yang sama (misalnya, sama-sama muslim). Ketiga, seseorang dianggap saudara atas dasar alasan dia hidup bersebelahan dengan kita. 

Baca juga:  Inilah Dokumen Rahasia Rencana Pelengseran Presiden Gus Dur

Ketiga kategori yang dikemukakan oleh Imam al-Ghozali tersebut mengisyaratkan kepada kita mengenai pentingnya menjalin ikatan sosial di tengah kehidupan. Ada ikatan sosial sesama keturunan, ikatan sosial sesama agama, dan ikatan sosial sesama manusia yang hidup saling bertetangga. Islam, tentunya, bukanlah agama yang mendakwahkan nilai-nilai universal (rahmatan lil alamin) berdasarkan ikatan agama saja atau ikatan satu keturunan, tetapi lebih dari itu menjunjung tinggi ikatan sosial berdasarkan atas kepentingan kemanusiaan. 

Tujuan dari beragama itu adalah membangun kehidupan yang selamat dan bahagia. Bagaimana seorang beragama akan bahagia di tengah kehidupan dunia ini jika ikatan-ikatan sosial yang semestinya dijunjung tinggi malah diabaikan?

Hidup tidak boleh main menang sendiri dengan memaksanakan keyakinan kepada yang lain, misalnya. Maka, kedamaian menjadi kunci penting dalam menjalankan agama. Dan, Islam itu mengajak setiap orang yang memeluknya untuk mewujudkan—pertama-tama–perdamaian di dunia, sehingga kebahagiaan diakhirat bisa diraih. Oleh karena itu, kita diajari untuk berdoa rabbana atina fi al-dunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina azaban nar.

Beragama Islam itu butuh kedewasaan berpikir, meskipun akidah (keimanan) juga harus ditanamkan dengan baik. Tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal (la dina liman la aqla lah). Akidah yang membabi-buta, tanpa disertai dengan akal sehat, maka akan berujung pada sikap keras dan kaku. Banyak contoh yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah saw mengenai hal itu. 

Baca juga:  Hubungan Masjumi dengan Partai Sekuler

Dalam sebuah riwayat dari Abu Dawud disebutkan, suatu ketika seorang Arab baduwi (a’rabi) berdiri dan kencing di masjid. Lalu para sahabat Nabi Saw berteriak melarangnya. Namun, Rasulullah Saw hanya mengatakan: “biarkan, jangan memutus kencingnya!” Tak lama kemudian, beliau memanggil orang Baduwi itu, dan menasehatinya:

“Ini adalah masjid yang tidak layak untuk dikencingi dan dikotori. Masjid hanya untuk dzikir kepada Allah, shalat, dan membaca al-Qur’an.” Dalam cerita lain ditambahkan Rasulullah Saw kemudian menyuruh sahabat lain untuk membawa air dan menyiram kencing itu.

Betapa mulia akhlak Rasulullah saw. Sedikitpun beliau tidak menampak wajah murka ketika melihat seorang Arab Baduwi kencing di masjid, bahkan melarang sahabat untuk melarang dan menghentikan kencingnya. Nabi Saw seolah mengajari kepada sahabat bahwa ada cara yang lebih santun untuk mengingatkan orang Arab Baduwi itu. Nasehat beliau dengan nada lembut jauh lebih menyentuh  hati orang Baduwi itu daripada makian atau teriakan yang terlontar dari mulut para sahabat.

Agama itu nasehat (al-din al-nasihah). Itulah hadis yang pernah disampaikan oleh Rasulullah saw kepada para sahabat. Manusia memiliki potensi besar berbuat kejelekan karena sungguh nafsu akan mengajak pada keburukan (inna al-nafsa la ammaratum bissu’).

Oleh karena itu, agama harus selalu dinasehatkan kepada pemeluknya setiap saat. Jangankan kepada orang yang tidak beragama, kita saja yang sudah mengaku muslim seringkali lupa untuk menjadikan agama sebagai nasehat bagi diri sendiri. Tampaknya, berakidah itu lebih mudah katimbang menasehati diri sendiri. 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top