“Nyepi” atau uzlah merupakan salah satu metode atau cara manusia dalam mencari ketentraman dan ketenangan jiwa serta mencari keping-keping kebenaran yang hakiki. Waktu dan tempat “nyepi” pun beragam, mulai dari “nyepi” di bibir pantai, di dalam goa hingga di tengah-tengah padang pasir.
Dalam perjalanannya “nyepi” juga merupakan salah satu kebutuhan psikologis yang tidak boleh dinihilkan dalam diri manusia untuk menetralisir aura negatif pada dirinya. Apalagi ketika sedang dihadapkan berbagai permasalahan, maka “nyepi” bisa dijadikan sebagai salah satu booster terbaik untuk menyelesaikan permasalahan yang keputusannnya biasanya sarat akan dilema. Maka menjadi wajar jika “nyepi” atau uzlah perlu dibudayakan dalam diri setiap manusia agar manusia dapat berjalan pada jalan kebenaran yang hakiki.
Salah satu praktik atau amaliyah “nyepi” terbaik yang tercatat dalam sejarah peradaban manusia adalah nyepinya sang ayah sejagat ingkang jumeneng Nabi Muhammad s.a.w. 14 abad silam. Nabi Muhammad s.a.w yang kala itu baru genap berumur 40 tahun melakukan “nyepi” di Gua Hira —sebuah goa yang berada di Jabal Nur yang letaknya di sebelah utara kota Mekah dan jaraknya kurang lebih dua farsakh atau 6 Km dari kota Mekah— dalam rangka tahannuf (hanif) atau mencari kebenaran yang hakiki.
Lewat proses panjang “nyepi” di Gua Hira yang bertepatan dengan bulan Ramadhan 610 M tersebut Nabi Muhammad s.a.w mendapat wahyu saking Gusti Allah SWT lewat perantara sayyidina Jibril A.S yang kelak akan menjadi kompas bagi umat manusia dalam menentukan kebenaran yang hakiki. Kala itu di dalam gua yang gelap gulita tersebut beliau sedang istirahat, (sebagian riwayat menyebutkan kronik turunnya wahyu pertama itu siang hari) namun di tengah istirahatnya yang pulas, beliau di kagetkan oleh kedatangan sayyidina Jibril A.S yang membawa wahyu pertama kepada Nabi Muhammad s.a.w. berupa Q.S Al-Alaq 1-5.
Sebelumnya sayyidina Jibril A.S berkata: إقرأ “Bacalah”. Dengan tekejut Nabi Muhammad s.a.w menjawab: ماأقرأ “Saya tidak dapat menjawab”. Kala itu rongga tenggorokan Nabi Muhammad s.a.w menyempit seolah sayyidina Jibril A.S. mencekiknya, selang beberapa saat rongga tenggorokan beliau kembali normal dan sayyidina Jibril A.S kembali mengulangi perkataannya: إقرأ “Bacalah”. Dalam keadaan masih diselimuti rasa takut yang mencekam beliau menjawab: ماذا اقرأ “Apa yang akan saya baca”. Selanjutnya sayyidina Jibril A.S berkata:
ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ. خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ. ٱقۡرَأۡ وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ. ٱلَّذِي عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ. عَلَّمَ ٱلۡإِنسَٰنَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡ.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S. al-Alaq: 1-5).
Berkaca dari kronik “nyepi” yang pernah dilakukan oleh ingkang jumeneng Nabi Muhammad s.a.w sudah sepatutnya kita mengamalkan ajaran “nyepi” ala Nabi Muhammad s.a.w. sebagai bagian dari spektrum sunah rasul. Jika dikompare dengan nyepinya umat Hindu tentu berbeda jauh baik niat dan praktiknya, dengan kata lain tidak alif to alif. Nyepinya umat Islam tentu dilandasi dengan keimanan dan ketaqwaan sehingga menghasikan out put “nyepi” yang positif, baik secara lahiriyah maupun batiniyah.
Praktik “Nyepi” Umpetan Sak Njabane Padhang
“Nyepi” sebagai spektrum sunah rasul dalam dinamika tafsirnya mengalami perkembangan yang massif, baik ruang, waktu dan jenis nyepinya pun sekarang semakin beragam, dan tidak lagi terbatas oleh ruang dan waktu.
Banyak sekali praktik “nyepi” yang sudah pernah dipraktikan oleh banyak ulama, utamanya nyepi dari berbagai dosa besar maupun kecil. Bahkan tidak jarang untuk ibadah “nyepi” atau “khalwat” para ulama membangun ruang bawah tanah sebagai media “nyepi” khusunya dalam hal mengingat kematian.
Selain contoh di atas, tidak sedikit pula para ulama yang melakukan nyepi dengan cara umpetan sak njabane padhang. Praktik “nyepi” umpetan sak njabane padhang ini tergolong cukup berat, karena membutuhkan keimanan dan ketaqwaan yang luhur. Sebagaimana yang pernah diajarkan Nabi Muhammad s.a.w 14 abad silam, walaupun beliau padhang atau mempunyai segudang ilmu yang luhur namun dalam masa awal dakwah beliau mampu umpetan sak njabane padhang dengan melakukan dakwah secara sirri. Walaupun di tengah keramian (njabane padhang) namun beliau mampu umpetan atau membawa diri, duduk sama rendah berdiri sama tinggi, tidak serta merta langsung “unjuk panggung” hingga ahirnya waktu terus berjalan dan beliaupun ahirnya dikenali oleh masyarakat dan memutuskan untuk dakwah secara jahr.
Tentu jika dikompare lagi dengan zaman sekarang ini, praktik “nyepi” dengan umpetan sak njabane padhang tentu sangat sulit kita temui, karena dalam berbagai catatan sejarah perdakwahan di Indonesia banyak sekali para pendakwah yang ilmunya belum matang tapi langsung “unjuk panggung” dengan teknik yang ndakik-ndakik, padahal itu semua hanya pepesan kosong. Tentu ini menjadi autokritik bagi kita semua, karena bagaimanapun praktik “unjuk panggung” semacam itu cukup meresahkan cum menyesatkan masyarakat di mana praktiknya begitu nyebahi dan sering dibersamai dengan kalimat yang provokatif dan bid’ahistik.
Lalu bagaimana dengan pengamalan “nyepi” kita? Ya tentu, berpijak dari ragam tafsir tentang “nyepi” atau “khalwat” kita bisa memilih praktik “nyepi” mana yang akan kita amalkan, bisa saja kita melakukan “nyepi” dari media sosial atau istilah lainnya yaitu “detoks medsos”, itu juga perlu dipraktikan, tentu diniatkan sebagai bentuk ibadah agar mendapat out put yang positif.
Tapi saya rasa, tafsir “nyepi” di atas akan ditolak mentah-mentah bagi mereka yang mempunyai jargon “Kembali ke Al-Qur’an dan Sunah”. Sebut saja orang-orang yang bermanhaj salafi-wahabi yang mempunyai obsesi untuk memurnikan ajaran Nabi Muhammad s.a.w., bagi mereka, boleh jadi “nyepi” itu hanya satu yaitu di dalam goa, selain di goa itu bidngah.
Namun demikian dalam dinamikanya “nyepi” di dalam goa yang boleh dikata merupakan embrio dari —turunnya— Al-Quran dan boleh dibilang juga merupakan salah satu spektrum sunah yang cukup prestisius namun dalam perjalannya sangat dinihilkan dari panggung dakwah para pendakwah salafi-wahabi. Singkatnya dalam hal sunah mereka cenderung tebang pilih dalam amaliahnya, hanya yang enak-enak saja, poligami, misalnya, padahal Indonesia ini surplus goa namun mereka enggan untuk melakukan sunah yang satu ini, jikapun ada seruan di atas mimbar mereka: “Nyepi di gua itu sunah rasul, akhi, jadi mari kita nyepi di dalam gua, sebagaimana yang pernah dicontohkan nabi kita dengan nyepi di Gua Hira” saya meyakini mereka akan terbelah, dan enggan untuk menyepi di gua. Padahal “nyepi” di gua itu sunah rasul, tapi kenapa mereka enggan untuk mengamalkannya?
Ya begitulah dinamikanya, “nyepi” sebagai salah satu spektrum sunah rasul nampaknya perlu disyiarkan kembali. Karena bagaimanapun juga:
“Setiap yang berjiwa akan merasakan nyepi” (Bukan Al-Qur’an)