Ada yang menarik dari narasi ayat QS. Al-Isra ayat 1, “Maha Suci Allah Dzat yang memperjalankan hamba-Nya di waktu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha…”. Dalam ayat tersebut Al-Quran menggunakan redaksi bi’abdihi (hamba-Nya) bukan binabiyyihi (nabi-Nya)/birasulihi (rasul-Nya). Padahal secara kronologis peristiwa tersebut terjadi setelah kenabian/kerasulan (prophethood) Muhammad SAW terlepas dari beragam perselisihan pendapat para ulama dan ahli tafsir mengenai tahun ke-berapa setelah kenabian. Alih-alih status kenabian-kerasulan Muhammad, kenapa yang disandarkan status ke-hamba-annya, apa makna dari pilihan lafal tersebut bagi keberagamaan dan kemanusiaan kita?
Penyandaran lafal ‘abdihi ini menurut Izzan (2009: 73) menunjukkan bahwa Nabi Muhammad telah melaksanakan serta menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai seorang hamba dengan sempurna sehingga Allah menempatkannya di tempat yang paling mulia di sisi-Nya – yang paling utama diantara para hamba (afdhol al ‘ibadi).
Terkait dengan itu, bentuk derivatif dari ‘abd yakni ‘abada-ya’budu-‘ibadatan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan hanya diterjemahkan “menyembah-penyembahan,” “menghamba-penghambaan” yang orientasinya kepada “Yang Sakral”, apabila diasosiakan kepada hal yang profan dan keduniaan maka akan bermakna negatif, misal menyembah berhala, menghamba kepada harta dsb.
Namun juga perlu diingat bahwa kata tersebut telah menjadi serapan yakni “mengabdi-pengabdian.” Pada tataran serapan inilah, kata tersebut bisa diasosiasikan kepada hal yang profan (horizontal) misalnya ungkapan mengabdi untuk umat, bangsa, negeri dsb.
Penghambaan dan Pengabdian terhadap Kemanusiaan
Sudah jamak diketahui bagi khalayak, bahwa oleh-oleh dari kisah Isra Mi’raj Nabi Agung Muhammad adalah shalat lima waktu yang menjadi bagian dari kewajiban setiap muslim dalam menjalankan agamanya. Namun, narasi kejadian-kejadian lain yang mengiringi hasil shalat lima waktu sebagai oleh-oleh utama juga harus dimaknai secara mendalam. Diantaranya yang paling utama, sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dalam redaksi Hadis tentang Isra Mi’raj yang panjang, adalah kisah Nabi Muhammad naik turun menemui Allah kurang lebih sembilan kali untuk memintakan keringanan ibadah shalat bagi umatnya melalui saran dari Nabi Musa. Apabila Nabi Muhammad tidak peduli dan masa bodoh kepada umatnya terhadap perintah Allah pada titik ini, maka tentunya seorang Nabi tidak perlu memikirkan dan melakukan perjalanan mondar-mandir yang merepotkan itu untuk urusan umatnya.
Betapa welasnya Nabi Muhammad kepada umatnya untuk rela “repot-repot” melakukan usaha tersebut demi kemaslahatan dan keringanan umatnya. Bahkan, menjelang akhir hayatnya yang disebut oleh lisan beliau adalah Ummatii! Ummatii! (duhai umatku…duhai umatku…). Panggilan rintihan Sang Hamba Agung ini menggambarkan beliau sangat memikirkan nasib umatnya kelak supaya tidak celaka dan terjerumus bujuk rayu syetan.
Dari narasi kejadian Isra-Mi’raj tersebutlah kita bisa melihat juga secara jelas sisi ‘abd– dalam arti pengabdian kepada umat oleh Nabi Muhammad. Sang Nabi Agung dalam perjalanan Isra Mi’raj telah mencapai puncak spiritualitas sebagai seorang penyembah-penghamba kepada Allah. Level inilah yang menjadikannya turut memiliki kesadaran penuh akan pentingnya memperhatikan dan mengabdikan diri untuk kemaslahatan umat. Nabi Muhammad di-Isra Mi’raj-kan untuk kemudian kembali ke bumi demi memberikan pencerahan kepada umat manusia dan terus melanjutkan misi sebagai kasih bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin).
Oleh karena itu, tidak heran jika Mulla Shadra seorang Mistis, Filosof dan Teolog Muslim Persia (1572-1635 M) dalam konsep empat perjalanan teosofis sang hamba (al asfar al arba’ah) menyatakan bahwa tahap utama dan puncak dari perjalanan seorang hamba adalah perjalanan dalam (membersamai) makhluk bersama Al-Haq (Allah) (al-safar fi al-khalq bi al-Haq). Pada level inilah, dengan pancaran ilahi, seorang hamba memperhatikan makhluk Allah, umatnya (dalam konteks Nabi) serta sesamanya.
Melalui momentum Isra Mi’raj di tengah pandemi ini kita diingatkan kembali untuk menjadi umat beragama yang peduli dan memperhatikan dan menjaga sesama kita, misalnya melalui tetap menjaga prokes maupun melakukan kegiatan filantropis-peduli bagi kita yang memiliki kelebihan rizki kepada mereka yang terkena dampak kondisi pandemic/musibah. Ritual penyembahan kita kepada Tuhan seharusnya mengantarkan kita bukan kepada keangkuhan, kebengisan dan ketidakpedulian, melainkan kepada kesadaran penuh akan pengabdian kita kepada kemanusiaan untuk memajukan peradaban serta terhindar dari keterpurukan. Wallahu a’lam.