Ibu Gedong Bagoes Oka atau terlahir dengan nama Ni Wayan Gedong (lahir 1921) adalah perempuan Hindu Bali yang dikenal sebagai perempuan penggera perdamaian. Pengalaman pendidikan yang ditempuh oleh Ibu Gedhong sejak kanak-kanak hingga dewasa telah memberi kesempatan bertemu dengan berbagai masyarakat dan budaya yang berbeda dengan budaya Bali dan di luar penganut Hindu.
Semasa sekolah di Algemene Middelbare School (AMS) di Yogyakarta, Ibu Gedong tinggal di keluarga Prof. HJ. Bavick Pendeta misionaris Kristen, dosen Sekolah Tinggi Teologia Duta Wacana (Cikal Bakal Universitas Kristen Duta Wacana).
Pada tahun 1964 Ibu Gedong lulus dari Universitas Udayana Denpasar dan mengajar bahasa Inggris di Universitas tersebut hingga tahun 1972.
Beliau mulai berkenalan dengan Mahatma Gandhi tokoh pejuang kemerdekaan India dari kolonialisasi Inggris yang memobilisasi gerakan pemerdekaan dengan beberapa metode politik spiritual yang terkenal; Ahimsa (emoh kekerasan), Swadesi (kemandirian), Satyagraha (kekuatan kebenaran). Pada diri Mahatma Gandhi, Ibu Gedong menemukan spirit yang dirindukan dari ajaran Hindu yang terbuka dengan berbagai ajaran. Sebagaimana Mahatma Gandhi, Ibu Gendong banyak mendapati ajaran-ajaran kebaikan dalam agama Hindu ditemukan juga dalam kitab suci lain, seperti Injil dan Alquran.
Pertemuan yang cukup intens dengan ajaran-ajaran Kristiani mendorong Ibu Gedong mencermati kembali cara beragama umat Hindu di Bali. Beliau melihat ada nilai-nilai yang sama dalam Kekristenan dan Hindu, tetapi juga mulai melihat dan merasakan bahwa banyak umat Hindu yang terjebak dalam keribetan ritual maupun sistem kasta hingga kehilangan spiritulitas yang diajarkan agama. Meski memiliki pandangan yang kritis terhadap masyarakatnya, Ibu Gedong tetap menghargai cara masyarakat beragama, sambil terus mengingatkan pentingnya menghidupi spiritulitas perdamaian yang diajarkan dalam agama Hindu sebagai Sanatana Dharma pada berbagai kesempatan dan mendirikan Yayasan Bali Santi Sena (Gerakan Perdamaian Masyarakat Bali) pada tahun 1970.
Ibu Gedong menterjemahkan biografi Mahatma Gandi dan diterbitkan tahun 1975. Pada tahun berikutnya beliau mendirkan Ashram Gandhi di wilayah Candidasa kabupaten Karangasem Bali. Ashram Gandi menjadi semacam lembaga pendidikan pesantren Hindu yang menampung anak-anak muda untuk belajar spiritulitas perdamaian dalam ajaran Hindu.
Aktifitas di asram Gandhi dimulai sejak waktu subuh dengan berdoa bersama, meditasi dan yoga. Dalam mewujudkan prinsip-prinsip swadesi atau kemadirian, warga asram dilatih beberapa ketrampilan hidup, seperti bertani bersama masyarakat, membuat kerajinan, pengobatan alternatif seperti akupunktur, menjahit dan sebagianya. Asram ini juga menampung anak-anak yatim dan anak dari keluarga tidak mampu, termasuk dari kalangan bukan penganut Hindu, untuk melanjutkan sekolah dan mendapat pendidikan ketrampilan hidup agar dapat mandiri.
Satu ritual khas yang diselenggarakan di Asram Gandhi adalah ‘agnihotra’ berdoa sambil menyalakan api, di mana ada beberapa ekpresi doa yang menggunakan beberapa kata dari hasanah doa berbagai agama. Dalam agnihotra ini, ada asma ul husna yang turut dilantunkan, yaitu ar Rahim.
Dalam menterjemahkan ajaran trihita karana dalam kehidupan, yatu ajaran untuk membangun relasi harmoni dengan Tuhan, sesama manusia dan alam semesta, terdapat ajaran Gandhi yang sangat menonjol dan mempengaruhi gerakan Ibu Gedong sebagaimana dulu tertulis di salah satu tembok rumah induk kediaman beliau di Asram Gandhi di desa Candi Dasa. Ajaran tersebut dikenal dengan Seven Social Sin (Tujuh Dosa Sosial). Yang dimaksud tujuh dosa sosial menurut Mahatma Gandhi adalah:
1) Politik tanpa prinsip, 2) Kekayaan tanpa kerja keras, 3) Perniagaan tanpa moralitas, 4) Kesenangan tanpa nurani, 5) Pendidikan tanpa karakter, 6) ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan dan 7) Peribadatan tanpa pengorbanan.
Hidup manusia saling terkait satu dengan yang lain. Sikap hidup yang saleh dengan sendirinya harus pula dikaitkan dengan kemaslahatan yang lebih luas. Ibu Gedong menghayati spiritualitas Hindu yang teraktualisasi dalam ajaran-ajaran Gandhi dalam laku hidup yang meditatif, bersahaja namun sibuk dengan berbagai karya untuk keadilan dan perdamaian.
Selain hidup dengan sangat bersahaja, Ibu Gedong dan warga Asram juga menjalani hidup vegetarian atau tidak memakan makanan dari bahan-bahan yang bernyawa, sebagai salah satu perwujudan sikap ahimsa atau emoh kekerasan.
Melihat penampilan dan sosok Ibu Gedong, sangat terasa penghayatannya atas ajaran Mahatma Gandhi, bahwa ‘Seluruh kekayaan di bumi ini cukup untuk semua orang, kecuali bila ada yang serakah’. Kebersahajaannya, menjadi penyadaran bagi para muridnya bahwa keserakahan, bila tidak diwaspadai dapat menjadi gaya hidup yang dengan sendirinya akan memunclkan kemiskinan bagi pihak yang terpinggirkan.
Ibu Gedong mendirikan yayasan Kosala Wanita dan Yayasan Kesejahteraan Perempuan untuk mengupayakan meningkatan pendidikan dan ekonomi bagi para perempuan Bali. Pada 1996 beliau mendirikan Asram untuk para mahasiswa, yaitu Gandhi Vidya Pith di Denpasar dan selanjutnya mendirkan mendirikan asram serupa di Yogyakarta.
Dalam menyebarkan spirit Gandhian inilah Ibu Gedong bertemu dan menjalin persahabatan saling menguatkan dengan banyak tokoh perdamaian dan aktifis pro demokrasi dari berbagai latar belakang agama. Salah satu lembaga yang menjadi ruang perjumpaan persahabatan ini adalah Institut DIAN/Interfidei di Yogyakarta, di beliau menjalin persahabatan dengan Gus Dur melalui berbagai kegiatan.
Saat Ibu Gedong meninggal dunia, meninggal 14 November 2002, almarhum Gus Dur turut hadir bersama Dr. Th. Sumartana dan para sahabat penggerak perdamaian dalam upacara palebon (upacara kremasi dalam agama Hindu Bali), dan memberikan kesaksian tentang keluhuran budi baik Ibu Gedong serta ketekunanannya dalam gerakan perdamaian hingga melewati batas agama, budaya dan negara.
“Satu hal yang saya tidak bisa meniru dari beliau adalah kesederhanaannya,” demikian menurut Gus Dur.
Ijin share y kak 🙏
Contoh kehidupan insan beragama yg sebenarnya bs kita teladani dari ke dua tokoh kemanusiaan tadi, yaitu ibu Gendong dan Gus Dur.. dari mereka kita bisa belajar untuk memaknai agama kita secara lebih luas dan bijak,daripada sekedar mempertahankan ego keagamaan kita secara sempit.. dgn merasa sbg kebenaran tunggal yg absolut dan intoleran dgn yg berbeda.. dgn wajah agama yg ramah, justru akan menjadi efektif berkontribusi untuk membangun peradaban yg toleran dgn perbedaan dan tentunya humanis,hingga menciptakan kehidupan sosial yg jauh lebih baik..