Seperti biasa, saat momen lebaran tiba, banyak anggota keluarga yang lebih sepuh berbagi rejeki kepada anggota keluarga yang lebih kecil. Nominalnya pun biasanya berbeda-beda tergantung pada keikhlasan yang memberi.
Pada momen Idulfitri ini, menurut warganet, biasanya marak menjadi pengalaman investasi bodong pertama si kecil lantaran angpau lebaran yang ia terima biasanya ia berikan kepada orang tuanya untuk dikelola.
Hal tersebut pun membuat saya tersenyum dan kembali mengingat pengalaman kecil saya yang juga melakukan hal yang sama, yaitu menitipkan kumpulan uang salam tempel kepada almarhumah Ibu. Biasanya Ibu selalu berkata, “sini simpan di Ibu, nanti kita tabung” walaupun sampai saat ini saya tidak tahu kemana uang itu ditabung. Tetapi saya husnudzan dengan beliau, bisa jadi memang ditabung dan sudah digunakan untuk kebutuhan saya, wallahu a’lam.
Berkaca dari pengalaman tersebut, saya berusaha untuk mengelola dana yang si kecil dapatkan sejak ia lahir untuk kelak ia gunakan saat ia butuh karena sejatinya uang angpau tersebut adalah hak si kecil.
Walaupun pengelolaan ini masih terbilang sangat dasar, yang mana saya baru sanggup memisahkan dana milik si kecil dengan dana keluarga dan dana saya pribadi di tabungan digital yang saya kelola.
Namun nyatanya hal tersebut sudah cukup dapat menghasilkan pundi rupiah yang nilainya cukup baik jika digunakan untuk diinvestasikan. Oleh karena itu sangat penting bagi kita milenial parents untuk melek literasi finansial.
Sebagaimana yang saya baca dalam buku Make It Happen karya Prita Hapsari Ghozie seorang pakar perencana keuangan alumni University of Sydney School of Business Australia yang mendirikan kantor konsultan keuangan ZAP Finance. Ada beberapa aset yang bisa dipilih untuk menjadi produk rencana keuangan dalam mewujudkan mimpi si kecil dengan uang angpau lebarannya.
Tiga aset tersebut adalah aset fisik, aset kertas, dan bisnis waralaba. Yang saya lakukan saat ini ternyata masuk dalam kategori aset kertas yaitu tabungan, deposito, tabungan berjangka, surat utang, reksadana, dan juga saham. Biasanya setiap aset juga memiliki risiko mulai dari rendah, sedang, dan tinggi.
Contoh aset kertas berupa tabungan. Tabungan memiliki kelebihan fleksibelitas karena dapat ditarik kapan saja dan dimana saja dengan bantuan ATM. Namun memiliki kekurangan dapat menggerus nilai angpau si kecil karena potensi returnnya rendah.
Kemudian selain aset kertas, angpau lebaran si kecil juga dapat diinvestasikan menjadi aset fisik seperti emas, batu permata, tanah, apartemen, condotel, hingga pohon jati mas.
Contoh lainnya adalah aset fisik berupa emas. Dalam buku tersebut, selama 10 tahun terakhir yaitu 1995-2008, harga emas cenderung meningkat dengan rerata diangka 20%. Kelebihan menginvestasikan angpau si kecil menjadi aset fisik berupa emas adalah aset tersebut dapat dikelola secara individu. Artinya kapan pun si kecil memutuskan akan menggunakan angpau lebarannya, ia dapat menjualnya dengan pengelolaan orang tua tentunya.
Kekurangannya, terkait potensi return, investasi emas masuk dalam kategori sedang dan hasil investasinya akan lebih terlihat jika diinvestasikan dalam jangka waktu di atas 5 tahun.
Namun kembali lagi kepada kesanggupan dan mental orang tua sebagai pengelola dana si kecil apakah siap dengan risiko investasi yang tinggi atau sudah cukup dengan mengelola dana tersebut di aset kertas yang risiko investasinya masuk dalam kategori rendah.
Ya, semua ini kembali pada kesanggupan kita sebagai pengelola dan tujuan si kecil yang ingin dicapai. Karena jika hanya menabung, nilai angpau si kecil akan tergerus inflasi. Tetapi dengan berinvestasi yang dikelola dengan baik dan benar, nilainya akan meningkat dengan seiring berjalannya waktu yang telah ditentukan apakah 1 tahun, 5 tahun, atau untuk diambil lagi 10 tahun ke depan.
Dari sini kita dapat belajar bahwa penting sekali mempelajari literasi finansial untuk mengelola angpau lebaran si kecil dan menjadikannya sesuatu yang lebih bernilai 5 hingga 10 tahun kedepan. Jika hal ini diterapkan, tentu tidak ada lagi isu investasi bodong pertama yang dialami si kecil dari orang tuanya khususnya pelabelan pada Ibu yang biasa berperan dalam hal mengalokasikan dana keuangan keluarga.