Bulan Mei tanggal 25 tahun 1836. Abdul Latif, seorang kiai kampung sederhana, hari itu ia bahagia sekali. Bagaimana tidak, di hari itu ia menjadi seorang ayah bagi bayi kecil itu. Bayi itu ia beri nama Muhammad Kholil. Muhammad karena ia berharap bayi itu bisa meneladani nabinya. Kholil, barangkali, karena mengharap bayi itu juga bisa meniru Nabi Ibrahim, khalilullah, kekasih Allah Swt. Bocah itu tumbuh dalam lingkungan yang saleh dan penuh ketakwaan. Selain itu, bocah itu biasa menempa dirinya dengan berbagai macam tirakat.
Tempaan itu dimulai oleh ayahnya, Kiai Abdul Lathif. Ayah Syaikhona Kholil acapkali mengajak putranya itu untuk menghadiri acara-acara kemasyarakatan. Secara tidak langsung hal ini menumbuhkan semangat relijiusitas yang mendalam dalam diri beliau.
Tuan Guru Dhawuh, seorang buta yang alim adalah pelabuhan Kholil kecil selanjutnya dalam menuntut ilmu. Bak Sya’rani dan Ali Al-Khawash, Kholil kecil menyimak pengajaran Tuan Guru Dhawuh dengan seksama. Setelah itu beliau pergi ke Bungah, Gresik, dan Langitan, Tuban. Kemudian beliau ke Timur, menuju Canga’an Bangil. Dari catatan yang ditulis Kiai Kholil Yasin disebutkan bahwa Syaikhona Kholil mendapat derajat kewaliannya di pondok ini.
Dari catatan tangan Syekh Yasin al-Fadani dikemukakan bahwa Syaikhona Kholil pernah berguru kepada Syekh Abdul Ghani Bima, seorang ulama besar yang berkarir di Makkah, ketika berada di Surabaya.
Setelah itu beliau berguru ke Kebon Candi, Sidogiri, dan Winongan. Di Winongan beliau bertawasul di depan makam Kiai Abu Dzarrin. Konon, beliau mendapat ilmu laduni ketika di makam ini. Dalam salah satu manuskrip yang saya baca di Winongan, disebutkan bahwa Kiai Abu Dzarrin merupakan pengasuh Sidogiri di masa itu.
Setelah itu beliau lanjut ke Timur. Tepatnya di Jalen, Genteng, Banyuwangi. Beliau mengaji kepada Kiai Abdul Bashar di pondok pesantren Al-‘Ashriyah. Kiai Abdul Bashar adalah seorang kiai nyentrik yang berasal dari Banten. Dalam mendidik Syaikhona Kholil, Kiai Abdul Bashar lebih menekankan aspek haliyah. “Syaikhona Kholil datang ke sini ketika beliau sudah alim,” ujar Kiai Sa’ad Ali, pengasuh Pondok Jalen ketika saya temui pada akhir 2020. “Jadi yang diajarkan oleh Mbah Bashar adalah ilmu yang tidak ada di kitab,” kisah beliau.
Pasca menuntut ilmu di beberapa pesantren lokal, Syaikhona Kholil melanjutkan pengembaraannya ke Makkah. Syaikh Yasin mencatat bahwa beliau pergi ke Makkah tidak cuma sekali. Namun berkali-kali. Selama di Makkah beliau berguru kepada Sayyid Zaini Dahlan, Syaikh Usman b. Hasan Dimyathi, Syekh Nawawi Banten, dan terakhir beliau berguru kepada Syaikh Ali Rahbini. ‘Umar Abdul Jabbar mencatat bahwa Syaikh Ali Rahbini—beliau buta dan ahli ilmu qiraat—memiliki banyak santri dari Jawa (Nusantara masa itu).
Yusuf Sufyan dalam Fath Rabb al-Jalil, sebuah kitab yang mencatat tentang sanad Syaikhona Kholil, mencatat bahwa semasa mengaji kepada Syaikh Ali, Syaikhona Kholil dan dua orang kawannya diberi pesan oleh Syaikh Ali agar segera pulang ke Indonesia. Namun dua orang kawan beliau tidak pulang, melainkan melanjutkan ke Mesir. Sementara beliau taat dan pulang ke Indonesia. “Itulah sebabnya ilmu beliau bermanfaat, dan kedua kawannya itu tidak manfaat dan tidak masyhur.” tulis Yusuf Sufyan.
Sementara itu Gus Dur menulis dalam biografi Kiai Bisri bahwa Syaikhona Kholil adalah kiai yang hafal Alquran lengkap beserta qiraah sab’ah. Dan Syaikh Yasin menambahi bahwa Syaikhona Kholil selalu mengkhatamkan Alquran setiap hari. Barangkali keistiqamahan inilah yang menjadi keistimewaan beliau.
Melihat perjuangan yang demikian, tentu tak heran jika beliau menjadi kiai yang masyhur akan kealiman dan keramatnya.
Assalamualaikum,
mohon dipastikan apakah artikel di atas menyebutkan ‘Bulan Mei tanggal 25 tahun 1936’ untuk hari kelahiran Mbah Kholil?
terima kasih.
Wassalam,
Salam. Sudah kami ganti. Yang benar 1836.