Polemik tentang nasab Ba ‘Alawy yang dikemukakan ‘Imaduddin ‘Utsman, penulis muda produktif dari Banten, cukup mendapat atensi publik akhir-akhir ini. Makalah yang dia tulis setidaknya mendapatkan tiga bantahan yang masing-masing ditulis oleh Ja’far Assegaf, Hanif Alatas, dan ‘Isma’il Al-‘Aschaly.
Namun setelah menelaah tiga bantahan tersebut, kami menyimpulkan bahwa: tetap tidak ada referensi sezaman yang menyebutkan ‘Abd Allah/‘Ubayd Allah (ayah dari ‘Alawi — keturunan ‘Alawi disebut Ba ‘Alawi, puncak klan hampir seluruh habib di Indonesia).
‘Abd Allah b. Ahmad Al-Muhajir b. ‘Isa Al-Rumi. Ia wafat di penghujung abad empat, tepatnya 383 H. Ja’far Assegaf mengklaim bahwa namanya sempat ditulis oleh Ibn Thabathaba (w. 478 H) dalam Abna’ al-Imam fi Mishr wa al-Syam. Namun ternyata, kitab terakhir ini sudah mendapat banyak penambahan di badan teks oleh Ibn Shadaqah Al-Warraq (w. 1189 H). Otentikasinya diragukan! Apalagi kalau memang benar Ibn Thabathaba menulis nama ‘Abd Allah, pastilah akan dikutip oleh sejarawan setelahnya. (Ja’far memberi argumen ad hominem yang kurang kuat bahwa bisa jadi ada kedengkian, dan hal-hal lain yang membuat namanya tidak dicatat oleh sejarawan pasca Ibn Thabathaba).
Nama ‘Abd Allah juga tidak kami temui di Tarikh Musallam Al-Lahji (w. 545 H) yang banyak membahas Yaman dan banyak menukil Ibn Thabathaba. Selain itu, Ibn Samurah (w. circa 586 H) penulis Thabaqat Fuqaha’ al-Yaman sama sekali tidak menulis ahli fikih dari kalangan Ba ‘Alawi satu pun. Barangkali inilah yang membuat ‘Imaduddin bertanya-tanya: sejak kapan Ba ‘Alawi menjadi tokoh?
Mungkin beberapa orang akan menjawab dengan kutipan dari Al-Masyra’ Al-Rawi, kitab yang sedikit legendaris dan ditulis belakangan tentang biografi Ba ‘Alawi, bahwa ulama-ulama besar Yaman non Ba ‘Alawi seperti Salim Ba Fadlal, ‘Ali b. Ahmad Ba Marwan, dll, berguru kepada Muhammad b. ‘Ali pemilik Mirbath (w. 556 H). Namun nyatanya keterangan Al-Masyra’ ini sedikit ‘ngawur’ dan dibantah sendiri oleh ulama Ba ‘Alawi lain, yakni Ibn ‘Ubayd Allah Al-Saqqaf dalam Idam al-Quwt fi Tarikh Hadlramawt (hlm. 877). Bahkan Ibn ‘Ubayd Allah menganggap ‘keilmuan’ Ahmad Al-Muhajir dan keturunannya sebagai sesuatu yang sedikit mitologis. Wa li al-syakk fi mitsl dzalik manafidz katsirah, sangat-sangat meragukan, begitu kata Ibn ‘Ubayd Allah.
Selain oleh ulama tersebut di atas, nama ‘Ubayd Allah/‘Abd Allah juga diduga dikutip oleh Al-‘Ubaydali. Kutipan ini diambil oleh Hanif Alattas dari Al-Raudl Al-Jali karya Al-Murtadla Al-Zabidi. Di sini penulis katakan bahwa penulis tidak ragu dengan Al-Zabidi dengan segala kredibilitasnya. Namun yang menjadi pertanyaan penulis adalah: ke mana ulama lain selain Al-‘Ubaydali? Bukankah katanya genealogi ini mustafadh, masyhur, mujma’ ‘alayh? Kalau tidak dikutip jil ‘an jil, berarti genealogi Ba’alawi ini tidak maqthu’, namun mazhnun? Kemana kutipan Abu al-Ghana’im Al-Dimasyq yang mencatat seluruh genealogi Thalibiyyin dan sering dikutip Al-Syajarah Al-Mubarakah?
Walhasil: semua bantahan tetap tidak mampu menyanggah bahwa genealogi ‘Abd Allah/‘Ubayd Allah sejauh yang ditemukan masih tidak tercatat di kitab yang ditulis pada abad 4-7 H. Ini merupakan fakta yang masih belum terbantah. Adapun kesimpulan ‘Imaduddin bahwa hal ini menjadi penyebab genealogi tersebut tidak absah, maka menurut hemat kami itu kesimpulan yang terlalu dini. Namun fakta bahwa genealogi Ba ‘Alawi sempat tidak dicatat selama empat ratus tahun itu merupakan fakta yang sejauh ini belum terbantah. Wallahu a’lam.