Dalam khazanah Islam dikenal sebuah ilmu yang digunakan untuk berargumentasi. Ilmu ini dikenal dengan nama manthiq atau juga ilmul jadal wal munazharah yang secara harfiah berarti ilmu berdebat.
Di dalam tradisi teologi Islam ilmu ini menempati peran yang sangat penting. Aliran Islam paling mainstream, Asy’ariyyah, bahkan menggunakan teori kausalitas yang ada di ilmu ini sebagai pondasi argumen teologisnya.
Saking pentingnya ilmu ini, Imam Ghazali pernah berkata begini:
“Barangsiapa yang tidak menguasai ilmu logika, maka kerja pikirnya tidak bisa dipercaya.” Ilmu warisan Yunani ini sangat digemari oleh ilmuwan muslim di masa itu dan ilmu ini sampai-sampai dijadikan peribahasa untuk orang bodoh, “Kau pasti belum belajar manthiq.”
Namun demikian, selalu saja ada yang kontra. Beberapa ulama mengharamkan ilmu ini. Karena di dalamnya, ujar para ulama itu, tersisip kebenaran-kebenaran yang bersifat praduga. Kalau memang seseorang pandai, ujar ulama itu, tanpa belajar ilmu ini pun dia akan pandai.
Sebaliknya, kalau dia bodoh, maka mempelajari manthiq dua puluh empat jam pun dia akan tetap bodoh. Demikian kata para ulama yang kontra. Argumen ulama ini akhirnya teringkas ke dalam adagium: kebenaran itu ada di realitas, bukan di rasionalitas (al-haqq fil a’yan la fil adzhan).
Tulisan terkait:
- Pesantren dan Ilmu Mantiq (Bagian 1)
- Ketika Kiai Bisri Mustofa Menerjemah Mantiq
- Imam asy-Syafi’i: Tak Usah Berdebat yang Tak Penting
Namun ulama yang pro ilmu ini tidak tinggal diam. Mereka menyebut bahwa ilmu ini adalah fithrah, dalam kata lain: rasionalitas yang terealisasikan. Misal A ada di utaranya B, dan C ada di selatan A, maka hal ini meniscayakan A ada di tengah-tengah B dan C. Kebenaran premis ini adalah realitas yang, dalam bahasa Imam Ghazali di Mi’yarul Ilm, diletakkan Allah dalam alam kenyataan. Tapi sudahlah, jangan membahas ilmu ini terlalu jauh.
Intinya, mempelajari ilmu ini membuat argumentasi dalam debat akan semakin kokoh. Sebagai pendukung utama ilmu ini, Imam Ghazali seringkali mempraktikkan ilmu ini ke dalam bangunan argumennya. Hal ini sering penulis jumpai di Ihya’ Ulumiddin, misalnya.
Sebagai upaya mempopulerkan ilmu ini, Imam Ghazali mengatakan bahwa para tokoh-tokoh Islam terdahulu seperti Imam Syafi’i dan lain-lain meskipun tidak mempelajari ilmu ini beliau semua memiliki kamalul qarihah, atau kejeniusan tingkat tinggi. Makanya beliau-beliau tidak butuh manthiq.
Berbeda dengan ‘kita’, ujar Imam Ghazali. Kecerdasan yang pas-pasan menuntut kita untuk menguasai ilmu manthiq. “Kecuali kamu Imam Syafi’i, maka jangan belajar manthiq,” begitu kutipan yang dulu pernah saya baca entah di kitab apa.
Imam Syafi’i memang pengecualian. Dalam seni berdebat beliau memang nomor satu. Semuanya takut jika mendengar argumentasi beliau. Saat usia empat belas tahun, Imam Syafi’i pernah mengoreksi jawaban Imam Maliki soal pria yang mentalak istrinya. Imam Malik hanya bisa mengangguk mendengar argumen kokoh Imam Syafi’i.
Ilmu logika atau manthiq ini juga melatih obyektifitas (dalam bahasa Arab disebut inshaf) dalam berpendapat. Dengan manthiq kita tidak akan mengikuti emosi dalam berdebat, melainkan kita mengikuti kesimpulan (natijah) yang benar dalam sebuah argumen bahkan jika kebenaran itu pendapat lawan.
Sebagai contoh, lagi-lagi, Imam Syafi’i. Ketika itu beliau berdebat dengan orang jenius lain, Sufyan Tsauri, dalam urusan kulit bangkai; bisa disucikan atau tidak.
Imam Syafi’i saat itu berpendapat bahwa kulit bangkai tidak bisa suci walau disamak. Sebaliknya, Sufyan berpendapat kulit bangkai bisa suci dengan disamak.
Keduanya berdebat sengit dan disebut-sebut sebagai perdebatan yang cukup sengit di masa itu. Hingga tanpa terasa keduanya bertukar pendapat: Imam Syafi’i berpendapat kulit bangkai bisa suci dengan disamak dan Imam Sufyan Tsauri berpendapat kulit bangkai tidak bisa suci walau disamak.
Demikianlah. Perdebatan bukanlah soal menang atau kalah. Melainkan soal mencari kebenaran. Dengan perdebatan kita bisa menangkap apa yang tidak sempat kita pikirkan. Kata pepatah Arab: separuh akalmu ada di kawan diskusimu.