“Ketika kereta melintasi oasis sepanjang sepuluh mil dari kota modern terakhir,” tulis George Curzon ketika ia berangkat ke Merv dalam buku perjalanannya Russia in Central Asia pada penghujung abad 19, “kami berhenti di stasiun Bairam Ali dan disambut dengan keheningan runtuhan tembok bata berbahan tanah liat, menara-menara, tembok kosong, dan istana yang ditinggalkan. Kita sadar bahwa kita sedang di horizon hampa yang dulunya adalah keagungan.”
Di halaman berikutnya, Cuzon menulis tentang oasis khas Asia Tengah: “Tak ada gerak dan bunyi kehidupan yang menyambut mata; tak ada garis samar di ujung ufuk; tak ada bayangan yang mencolok di dataran.”
Di tengah musim dingin menusuk di oasis Asia Tengah, Curzon mendeskripsikan oasis antara Merv dan Sungai Amu Darya (Oxus) sebagai, “kekosongan yang paling menyedihkan yang pernah dilihat mata manusia.”
Itulah Merv, kota yang sekitar delapan abad lalu pernah menjadi rumah peradaban ketiga dalam dunia Islam setelah Damaskus dan Bagdad. Ia terletak di persimpangan jalur sutra kuno. Pasca invasi Mongolia, kota itu hancur dan tujuh ratus ribu penduduknya—ujar Ibnu Atsir dalam Kamil-nya—mati bergelimpangan di antara puing-puing kota metropolitan itu. Sejak itu, kota ini tak pernah mendapatkan lagi keagungannya. Hingga pada penghujung abad 19, sejak datangnya Pasukan Rusia di sana, Merv ditinggalkan seluruhnya, tepatnya pada 1888. Sejarah tiga ribu tahun kota itu pun lenyap bersama pasir stepa.
Apakah aku harus mengadu pada merpati yang telah melewati banyak kesusahan?
Kemarilah, sayang! Kuberi kau tangisan!
Di Marv-Syahijan, kita semua adalah petualang!
(Yaqut, Mu’jam al-Buldan vol. 5 hlm. 134)
***
Georgina Herrmann, seorang arkeolog lulusan London datang ke Merv pertama kali pada tahun 1990. Ia menaiki tembok besar kota itu dan mencoba membayangkan konstruksinya delapan abad lalu saat Dinasti Seljuk menguasai kota itu. Di masa itu, menjadi seorang marwazi alias orang Merv selalu membanggakan. Bagaimana tidak membanggakan, jika menjadi marwazi berarti menjadi seorang ahli hukum, filsuf, sufi, ahli sains, penghafal hadis, dan lain-lainnya? Bagaimana tidak membanggakan, jika menjadi marwazi berarti tinggal di tanah yang sama dengan Habasy Al-Hasib (si kalkulator)? Menghirup udara yang juga pernah dihirup Ahmad bin Hanbal? Menginjak pasir yang sama dengan Abdullah bin Mubarak si sufi itu? Sufyan Tsauri, ulama besar itu? Abu Bakar Al-Qaffal si pembuat gembok dan ahli fikih itu? Serta puluhan marwazi-marwazi yang tak mungkin saya sebut semua.
Pasca menengok tembok melingkarnya, Georgina Herrmann melangkah menuju reruntuhan bangunan misterius yang bernama Kaftar Khana. Herrmann percaya bahwa dulunya bangunan ini adalah perpustakaan besar yang menyimpan banyak buku penting yang akan mengubah sejarah. Bangunan ini barangkali salah satu dari sepuluh perpustakaan yang pernah disebut Yaqut Hamawi, geografer penting abad 13 yang pernah tinggal di Merv.
Yaqut menceritakan bahwa ada sepuluh perpustakaan yang sangat besar di sana. Perpustakaan itu adalah, ujar Yaqut, perpustakaan terbagus dan terlengkap yang pernah ia lihat. Semua perpustakaan itu merupakan wakaf para penderma di kota itu. Ada yang bernama Aziziyah, ada yang bernama Kamaliyah, dan ada pula perpustakaan milik Nizamul Mulk, seorang perdana menteri Seljuk yang terkenal itu. Namun sayang, semua buku-buku itu dibakar oleh Mongol ketika mereka datang.
Yaqut bahkan berkata, “Kota ini tidak memiliki satu kekurangan pun, kecuali penyakit ‘arq madini yang datang tiap tahun.” Ia melanjutkan, “Andai bukan karena invasi Tatar-Mongol, niscaya tak akan aku tinggalkan kota ini karena penduduknya ramah dan perpustakaannya lengkap.”
Di tengah terpaan udara dingin menusuk khas Asia Tengah, Herrmann meneropong jauh ke barat, jauh ke gurun Jazirah Arab. Di mana dakwah Islam muncul pertama kali. Dakwah itu bisa sampai ribuan kilo ke Merv, bahkan lebih jauh lagi. Betapa hebatnya.
Lebih dari itu, Yaqut menyebut ada makam sahabat Nabi yang bernama Buraidah di Merv. Diriwayatkan Nabi saw pernah bersabda kepada Buraidah. “Setelah aku meninggal, akan banyak kelompok. Ikutilah kelompok Timur, ikutilah kelompok Khorasan, ikutilah kelompok Merv.”
Tak lama pasca wafatnya Nabi, Buraidah berangkat ke Merv dan tinggal di sana. Di masa Yaqut, makamnya masih ada dan diberi bendera di atasnya. Orang Merv sangat bangga akan hadis Nabi ini.
Maka tak heran, Abu Muslim dari Khorasan simpatisan Abasiyah yang menghancurkan Dinasti Umayah, memulai pemberontakannya dari kota ini.
Kini Georgina Hermann hanya bisa mengira-ngira bentuk kota yang tak pernah bangkit lagi itu. Sejak ditinggal pada tahun 1888, kota itu tak lagi memiliki penduduk. Sesekali pengembala unta berbulu tebal khas Asia Tengah mengembalakan untanya di dekat reruntuhan istana itu. Kadangkala ada beberapa rombongan wisatawan yang mencoba mengagumi masa lalu kota lusuh itu.
Herrmann bersama beberapa kawan sesama arkeolog mendirikan Internasional Merv Project alias IMP sebagai usaha untuk mengenalkan kembali bekas kebudayaan Merv yang agung itu. Tentu usaha ini sangat berharga. Namun sayang, itu semua tak bisa menghidupkan kembali kota itu kembali menyala seperti delapan abad lalu..
kisah sufi unik min