Siapa yang tak pernah dengar Mesopotamia? Nama tempat kelahiran peradaban ini pasti pernah didengar siapa pun yang pernah bersekolah. Di tempat itu lahir banyak raja-raja besar, agama-agama agung, filsuf ternama, penemu hal-hal penting, dan banyak hal hebat lain di zamannya. Selain itu, Mesopotamia adalah tempat di mana “hal-hal pertama” lahir! Apa misalnya?
Sistem penulisan pertama. Sistem irigasi pertama. Sistem bangsa pertama. Sistem undang-undang pertama. Jadi, Mesopotamia itu seperti “rahim” peradaban yang ada di dunia ini.
Nah, kota yang akan kita bahas kali ini terletak di pinggirannya, tepatnya perbatasan antara Mesopotamia dan Anatolia. Kota beruntung ini bernama Mardin. Ia terletak di dekat Sungai Tigris, yang oleh sebuah hadis digelari sebagai sungai surga. Kota Mardin Tua terletak di sebuah perbukitan berbatu dan di depannya adalah padang rumput yang luas.
Seorang geografer ternama abad 12 Masehi bernama Qazwiani, menggelari benteng kota ini sebagai benteng terindah di dunia. Saking indahnya, orang berat hati meninggalkannya, meski sang kekasih tidak ada di sampingnya. Pendek kata, Kawasan benteng ini sanggup membuat pengunjungnya jatuh hati berkali-kali.
Namun sayang, dengan seluruh keindahannya, penduduk kota ini, di masa Qazwiani, dikenal tak ramah dan tak supel. Kata Qazwiani, watak mereka kasar dan keras. Qazwiani mengutip seorang penyair yang menggambarkan kota ini dengan baik:
فِي مَاردِينَ—حماها الله—لي سَكَنٌ * لولا الضرورةُ ماَ فَارَقْتُهَا نَفَسَا
لِأهلـــها أَلْســـنٌ لَانَ الحَــديد لهــــا * وقلبُهم جَبَليّ قد قسـا وعــسا
Terjemahnya kira-kira begini:
Di Mardin (Semoga Allah selalu menjaganya)
Aku punya rumah
Andai bukan karena terpaksa, takan rela jiwa ini meninggalkannya
Besi luluh
Sebab lidah warga Mardin
Namun hati mereka keras dan kasar bak bukit batu
Waqidi dalam Futuh Syam menyebut bahwa Kota Mardin dibebaskan orang Islam sejak masa Khalifah Umar di tangan seorang panglima masyhur bernama ‘Iyadh b. Ghanm Al-Fihri. Sejak saat itu kota ini menjadi semacam bemper bagi kaum muslim dalam bertetangga dengan Romawi.
Pada kisaran abad 12 Masehi muncul sebuah dinasti bersuku Turk mendirikan sebuah negara satelit di Mardin, dinasti itu bernama Dinasti Ortokid.
Tak lama setelah itu, Dunia Islam secara kesuluruhan mendapatkan badai hebat. Badai itu adalah serangan ganas pasukan Tatar Mongolia. Bagdad, Damaskus, serta kota besar lain tak luput dari sapuan kejam pasukan Tatar, tak terkecuali Mardin. Kota bersejarah ini menjadi semakin bersejarah ketika ia diduduki pasukan Tatar.
Ketika dalam pendudukan Tatar Mongolia, kota ini mengalami fase baru yang mungkin tak pernah dilaluinya. Bayangkan saja, kota yang mayoritas berpenduduk muslim harus diatur pemerintahannya oleh kelompok “penjajah” yang non-muslim.
Mongolia, yang memang tak terlalu peduli soal agama, harus pandai-pandai membuat siasat menghadapi penduduk yang mayoritas muslim itu. Singkat kisah, disusunlah sebuah undang-undang yang bernama Qanun Yasaq. Qalqasayndi dalam Shubhul A’sya menyebutkan bahwa undang-undang ini merupakan gabungan dari banyak ajaran agama.
Di sebuah referensi yang dulu pernah saya baca, Kota Mardin sendiri adalah kota yang disebut-sebut “abangan” (dengan berbagai tafsiran atas makna ini). Tentara Tatar menjadikan masjid kota ini sebagai kandang kuda dan memasuki tempat suci lain dengan sandalnya. Apa yang dilakukan penduduk saat masjidnya diperlakukan sedemikian tidak layak?
Mayoritas penduduk Mardin konon cuwek saja dengan keadaan ini. Orang yang lebih relijius terdorong untuk menanyakan status penduduk Mardin: Islamkah mereka? Jika Islam, termasuk munafikkah mereka?
Pertanyaan-pertanyaan ini diajukan kepada ulama besar di masa itu, Taqiyyuddin Ibnu Taymiyyah. Tak lama kemudian Ibnu Taymiyyah menjawab pertanyaan ini dengan sebuah fatwa legendaris yang bernama “Fatwa Mardin”. (Bisa dibaca selengkapnya di Majmu’ Fatawa li Ibn Taymiyah vol 28 hlm 24)
Fatwa ini legendaris karena fatwa ini adalah justifikasi bagi banyak kelompok teroris di masa kini untuk membenarkan aksi ekstrim kepada para pemimpin nasionalis di negara-negara Arab. Kutipan fatwa ini disadur oleh aktor-aktor intelektual dalam tindakan terorisme. Abd Salam Faraj pendiri Tanzhim al-Jihad salah satunya. Dalam buku Faridhah Ghaibah (Kewajiban yang Hilang) dia mengutip fatwa ini dan menyerukan untuk mengembalikan marwah Islam.
Kini, Mardin tidak lagi dikenal sebagai penghubung antara Anatolia dan Mesopotamia, melainkan kota yang, merujuk fatwa (sebetulnya teks fatwa ini masih diperdebatkan) Ibnu Taymiyah itu, harus dibersihkan imannya, ditegakkan marwah keislamannya.
Berbagai cara dilakukan tokoh penting untuk membersihkan Islam dan Mardin akibat fatwa itu. Salah satunya adalah menggelar Muktamar Mardin di kota itu untuk merekonstruksi kembali kesalahpahaman. Namun tetap saja, fatwa itu abadi bersama bukit berbatu itu.
Masyarakat Mardin sendiri tentu sudah banyak berubah. Mereka kini terkenal akan kerajinan peraknya yang dinamakan “telkari”. Selain itu banyak sekali tokoh yang lahir dari kota ini, Abd Salam Al-Mardini adalah ulama hadis abad 12 H yang lahir di kota ini. Selain itu di masa kontemporer ada nama yang cukup familiar, yakni Sultan Koesen yang menjadi manusia tertinggi di dunia.