Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama, menghasilkan keputusan yang mengejutkan: merekomendasikan bahwa istilah “kafir” di Indonesia tidak layak dipakai. NU menyodorokan kata penggantinya: non-muslim dan muwathin (citizen, warga negara). Bagaimana harusnya memandang hal ini?
Jika menengok literatur Islam klasik lebih dalam, istilah “kafir” sebenarnya hanya diperbincangkan dalam dua ranah: teologis (akidah) dan yuridis-politis (fiqh siyasi). Membedakan hal ini penting bukan saja agar kita bisa memahami persoalan, namun juga agar kita memahami apa yang dikehendaki oleh Pembuat Syariat (baca: Allah Swt) tentang konteks penggunaan kata “kafir”.
Teologis
Kata “kafir” murni (tanpa embel-embel) tidak pernah digunakan Islam sebagai konsep menyeluruh kecuali dalam konteks teologis. Selain konsep teologis, kata “kafir” murni tidak pernah digunakan. Pasti diberi embel-embel harbi, mu’ahad, musta’man, dzimmi, atau lainnya.
Nah, secara teologis, “kafir” dimaknai sebagai orang yang tidak beriman kepada Allah Swt dan Nabi Muhammad saw. Maka secara teologis, siapa pun yang tidak beragama Islam adalah “kafir”. Hal ini disepakati oleh para teolog (mutakallimun).
Namun khazanah Islam mencatat dua ulama klasik yang tidak setuju akan hal ini, yakni al-‘Anbari dan al-Jahizh. Kedua ulama ini beranggapan bahwa orang yang tidak beriman kepada Allah dan Nabi Muhammad belum tentu kafir. Menurut beliau, mereka baru bisa dikatakan kafir jika mereka tidak mau berpikir. Jika mereka mau berpikir (berijtihad), maka apapun agamanya dia tidak bisa disebut kafir. Namun pendapat beliau berdua tidak diterima oleh para ulama. Pembahasan ini bisa dilihat dalam kitab-kitab ushul fikih dalam “Bab Ijtihad”.
Kita kembali ke pendapat “mayoritas”. Konsekuensi teologis dari orang yang tidak beriman adalah ancaman neraka. Maka orang kafir akan masuk neraka. Hal ini juga menjadi ijmak para ulama.
Namun ada satu ulama yang kurang sependapat akan hal ini, yakni Abu Hamid al-Ghazali dalam Faishalut Tafriqah. Beliau beranggapan tidak semua orang kafir masuk neraka. Menurut beliau, orang kafir yang belum “mengenal Islam” secara utuh tidak masuk neraka: orang kafir yang hanya mendengar bentuk buruk dari Islam (shurah musyawwahah) dihukumi sama dengan ahlul fatrah.
Baca juga:
- Memahami Istilah Kafir dengan Sederhana
- Gus Baha dan Dialog Islam-Yahudi
- Menelisik Tradisi Intelektual Kitab Kuning
Yuridis-Politis
Secara yuridis (fikih klasik utamanya), istilah “kafir” terbagi menjadi empat: dzimmi, mu’ahad, musta’man, atau harbi. Pembagian-pembagian ini berasal dari kesepakatan dalil-dalil dan tindakan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw dalam langkah politik beliau. Istilah dzimmi misalnya, berasal dari kesepakatan antara Nabi saw dengan penduduk Najran yang Kristen.
Dalam langkah politik, Nabi Muhammad saw—sepengetahuan penulis atas telaah beberapa kitab hadis dan tarikh—tidak pernah menggunakan istilah kafir untuk menyebut nonmuslim. Seringkali Nabi saw menyebut suku mereka sebagaimana termaktub dalam teks-teks perjanjian. Maka secara yuridis-politis (fiqh siyasi), istilah kafir murni tidak dikenal. Karena memang hal ini menjadi domain teologi.
Jadi seakan-akan hal ini menjadi teladan bagi kita bahwa dalam urusan bernegara tidak ada istilah “kafir” murni sebagaimana dalam pembagian teologis. Yang ada adalah non-muslim ‘yang keselamatannya ditanggung oleh masyarakat muslim’ (dzimmi), non-muslim ‘yang memiliki perjanjian damai’ (mu’ahad), dan seterusnya.
Memahami Hasil Munas NU
Maka dengan telaah ringkas atas konsepsi tersebut, tentu kita bisa dengan mudah memahami bahwa yang dimaksud atas penggantian “kafir” dengan “muwathin”, dan non-muslim, adalah dalam konsep yuridis-politis. Bukan dalam konsep teologis. Mengapa?
Karena saya haqqul yaqin para peserta musyawarah tetap meyakini konsep kafir secara teologis adalah sebagaimana yang terlampir dalam turats aqidah.
Penggantian istilah ini bukan hal yang baru. Sepengetahuan penulis, hal ini diusulkan pertama kali oleh al-Qardhawi. Dalam Khithabuna al-Islami fi Ashril Aulamah, al-Qardhawi mengusulkan istilah kafir (ahludzimmah) diganti dengan muwathin. Hal ini, menurut beliau, bukan merupakan hal yang bermasalah. Karena menurut beliau, Khalifah Umar pernah mengganti istilah ‘jizyah’ menjadi ‘zakat’ atas permintaan Bani Taghlib.
Apalagi hasil Bahtsul Masail di Munas itu diperkuat dengan referensi dari kitab Hanafiyyah berjudul Durrul Mukhtar fi Syarhi Tanwiril Abshar karangan Alauddin al-Hafshaki. Tentu hal ini memiliki dukungan moral bagi kalangan tertentu. Berikut ini kutipan referensi tersebut:
لو قال ليهودي أو مجوسي يا كافر يأثم إن شق عليه ومقتضاه أنه يعزر لارتكابه الإثم
“Andai seseorang berkata kepada orang Yahudi atau Majusi, “Wahai orang Kafir!” maka ia akan terkena dosa apabila orang Yahudi/Majusi tadi keberatan. Bahkan harusnya ia disanksi karena ia telah melakukan dosa.”
Walhasil, tidak ada cacat logika dan metode perumusan hukum dalam hasil Munas NU tersebut. Yang ada hanyalah orang yang tidak suka NU. Betul tidak?
Wallahualam.
Mulai banyak orang liberal dan pluralis yg merusak aqidah di NU, Kok beraninya ngatakan non muslim bukan kafir, di TV tadi perwakilan NU ngatakan kafir itu orang yg tidak bertuhan, pemeluk agama lain bukan kafir, di metro tv orang liberal ngawur juga di biarkan, ashtagfirulloh
Gak wedi duso ta pean, ng tv2 wes akeh perwakilan NU sg ngawur lo
Bagaimana dgn ayat ini pa Ustadz
{لَّقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ ۚ قُلْ فَمَن يَمْلِكُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ أَن يُهْلِكَ الْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَأُمَّهُ وَمَن فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ۗ وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا ۚ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ} [المائدة : 17]
link: http://quran.ksu.edu.sa/index.php?aya=5_17
Nyata2 menyebutkan Kafir, ini konsep thoelogis atau juridis?
Itu jelas teologis