“Wahai, Amirul Mukminin,” sapa seorang Yahudi kepada Umar bin Khattab, “Ada sebuah ayat dalam Alquran. Andai ayat itu diturunkan kepada kami (kaum Yahudi), pasti akan kami jadikan hari itu sebagai hari raya.”
“Ayat apakah itu?” tanya Umar.
“Al yauma akmaltu lakum dinakum.. (Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian..)”
“Kau benar. Hari itu sangat bersejarah .. aku masih ingat betul ayat itu diturunkan pada sore hari Arafah,” ujar Umar menerawang ingatan.
Percakapan yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal di atas adalah dialog antara Umar dengan seorang Yahudi yang kagum akan sebuah ayat di dalam Alquran: al-Maidah ayat 3—yakni ayat yang turun saat wukuf di Arafah. Arafah merujuk kepada nama hari, yakni tanggal sembilan Dzulhijjah. Sedangkan kata Arafat, merujuk kepada nama tempat dilaksanakannya wukuf.
Baik Arafah maupun Arafat memang sangat fenomenal. Dua hal ini istimewa dalam Islam bukan hanya karena menjadi tempat dan waktu turunnya ‘ayat fikih’ terakhir di atas, namun juga karena tempat ini menjadi perhelatan sebuah ibadah “paling unik” dalam agama Islam: wukuf.
Bagaimana tidak unik, saat ibadah lain merepresentasikan kehambaan dengan cara bersujud, menahan lapar, atau menginfakkan harta, wukuf justru tidak diharuskan melakukan apapun kecuali berdiam diri di sekitar bukit granit yang berjarak dua puluh kilometer dari Mekkah. Berbeda dengan ritual lain, di sana seseorang tak diwajibkan melakukan apapun. Ia hanya harus duduk di situ. Makna wukuf, baik secara bahasa ataupun istilah, nyaris sama, berhenti atau diam.
Namun demikian, wukuf justru menjadi sentral ibadah haji. Sampai-sampai Nabi bersabda, “Wukuf adalah haji.” Hadis ini sama seperti hadis, “Taubat adalah penyesalan.” Artinya orang yang tidak menyesal tidak dikatakan bertaubat; orang yang tidak berwukuf maka hajinya tidak sah. Wukuf di Arafah adalah sesuatu yang penting.
Wukuf di Arafah ini juga adalah saat-saat keramat di mana Nabi saw menyampaikan orasi terkenalnya. Orasi itu dikenal dengan nama khuthbatul wada’: sebuah orasi perpisahan beliau. Orasi ini beliau sampaikan tepatnya dari atas Bukit Kasih Sayang (jabal rahmah).
Bukan hanya di masa Nabi Muhammad saja Arafat menjadi “keramat”. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa sejak masa bapak para nabi, yakni Ibrahim, Arafat sudah menjadi tempat istimewa. Di tempat ini Ibrahim diajari melaksanakan haji oleh Jibril. Saat diajari Jibril berhaji, Ibrahim berulang kali berkata: araftu .. araftu (aku paham .. aku paham). Jadilah tempat itu bernama Arafat.
Hari Arafah juga menjadi waktu di mana Ibrahim mengetahui kebenaran mimpinya. Di mimpi itu Ibrahim diperintahkan oleh Allah agar ia mengorbankan anaknya. Setelah ragu dan ‘mengangan-angan’, Ibrahim akhirnya yakin (arafa) bahwa perintah itu sungguh dari Tuhan.
Bahkan jika dirunut lebih jauh, tradisi oral dalam keilmuan Islam menyebut bahwa Arafat adalah tempat di mana Adam dan Hawa bertemu, tepatnya di Jabal Rahmah. Pertemuan ayah dan ibu umat manusia ini lantas diabadikan dalam nama arafat (perkenalan).
Sebenarnya jika dirunut secara bahasa, kata dasar ‘-r-f dalam buku-buku leksikografi (Lisanul Arab, misal) bermakna dasar sabar. Artinya tempat itu menjadi buah manis bagi kesabaran para nabi terdahulu (mulai dari pencarian Adam, pengorbanan Ibrahim, dan perjuangan Muhammad alaihimusholatu was salam).
Semua kisah para nabi di atas menunjukkan suatu pengorbanan yang menuntut mereka untuk sabar (arafa) dan Arafah selalu menjadi tempat balasan kesabaran mereka. Adam yang berpisah dengan Hawa—bertemu di Arafat. Ibrahim yang diuji mengorbankan anaknya—diganti kambing di Arafat. Perjuangan Nabi Muhammad saw yang melelahkan selama lebih dua puluh tahun—juga ditutup dengan ayat fikih terakhir di tempat itu.