Rupert C. Lodge, seorang filsuf pendidikan asal Inggris, pernah beradagium, “Life is education and education is life” (Kehidupan adalah pendidikan, dan pendidikan adalah kehidupan). Pernyataan ini menegaskan bahwa setiap aspek kehidupan merupakan bagian dari pendidikan. Dalam Islam, konsep pendidikan pun tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab utama, yaitu mendidik generasi. Hal ini tercermin dalam Al-Qur’an, khususnya pada Surat an-Nisa ayat 9, yang menegaskan tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya.
Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa pembelajaran berlangsung dari buaian hingga liang lahad. Dengan demikian, pendidikan menjadi pedoman sepanjang hayat. Namun, ironisnya, kurikulum pendidikan formal sering kali kurang memberikan perhatian pada aspek mendidik anak secara holistik, terutama tanggung jawab orang tua. Kebanyakan sistem pendidikan modern lebih terfokus pada penciptaan tenaga kerja dibanding membentuk keluarga yang baik.
Program Studi (Prodi/Jurusan) di Perguruan Tinggi diberikan ijin untuk beroperasi, jika memiliki proyeksi, lulusannya akan bekerja di mana atau sektor apa. Maka, kita jumpai ada prodi Kedokteran, Kedokteran Gigi, Kedokteran Hewan, Farmasi, Hukum, Sosiologi, Akuntansi, Teknik Informatika, Manajemen, dan sebagainya. Tetapi, tidak ditemukan adanya Prodi “Istri Shalihah”, Prodi “Suami Baik”, Prodi “Ayah Teladan”, dan sebagainya. Bahkan Prodi Ushuluddin, Tafsir-Hadits, Syariah, dan sejenisnya, pun dibentuk dan diarahkan dengan tujuan utama untuk mendapat pekerjaan
Tafsir Surat an-Nisa Ayat 9
Ayat ini berbunyi:
﴿وَلۡيَخۡشَ ٱلَّذِينَ لَوۡ تَرَكُواْ مِنۡ خَلۡفِهِمۡ ذُرِّيَّةٗ ضِعَٰفًا خَافُواْ عَلَيۡهِمۡ فَلۡيَتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡيَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدًا ٩﴾
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”(QS. An-Nisa: 9)
Syeikh Ahmad Musthofa Al-Maraghy, dalam tafsirnya, menjelaskan tiga poin utama dari ayat ini terkait tanggung jawab orang tua. Ketiga poin ini meliputi pendidikan jasmani dan akal, pendidikan akidah, dan pendidikan akhlak.
- Tanggung Jawab terhadap Fisik dan Akal Anak
Frasa “dzurriyatan dhiafan” (keturunan yang lemah) menegaskan pentingnya menciptakan generasi yang kuat secara fisik dan intelektual. Orang tua bertanggung jawab memberikan pendidikan jasmani dan akal anak-anak mereka untuk memastikan mereka tidak menjadi generasi yang lemah, baik dalam kesehatan maupun daya pikir.
Salah satu masalah yang relevan adalah stunting. Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, prevalensi stunting nasional berada di angka 21,5%, jauh dari target penurunan sebesar 14% pada 2024. Stunting bukan hanya masalah fisik tetapi juga berdampak pada kecerdasan dan daya saing anak. Islam sejak awal sudah menekankan pentingnya kesehatan jasmani dalam membangun generasi berkualitas.
Orang tua juga bertanggung jawab memberikan pendidikan yang dapat merangsang kecerdasan anak. Berbagai studi menunjukkan bahwa stimulasi pada masa kanak-kanak, seperti membacakan cerita atau memberikan mainan edukatif, dapat meningkatkan kemampuan kognitif mereka. Allah sudah memberikan arahan dalam Al-Qur’an untuk memulai pendidikan dengan memenuhi kebutuhan jasmani dan akal anak-anak.
- Tanggung Jawab terhadap Pendidikan Akidah
Poin kedua adalah mendidik anak dalam akidah, yang disinggung dalam ayat dengan perintah “falyattaqullah” (bertakwalah kepada Allah). Akidah menjadi fondasi utama bagi setiap Muslim. Ada dua aspek tauhid yang perlu diajarkan kepada anak sejak dini:
- Tauhid Rububiyah, yaitu mengenalkan anak bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu dan tempat bergantung untuk memohon pertolongan.
- Tauhid Uluhiyah, yaitu meyakini bahwa hanya Allah yang layak disembah.
Penanaman akidah sejak dini membantu anak memahami tanggung jawab sebagai hamba Allah. Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa tanggung jawab orang tua tidak hanya bersifat materi tetapi juga spiritual. Orang tua harus menjadi teladan dalam keimanan sehingga anak-anak belajar dari keteladanan tersebut.
- Tanggung Jawab terhadap Akhlak Anak
Frasa “wal yaqulu qowlan sadidan” (hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar) merujuk pada pentingnya pendidikan akhlak. Orang tua harus mendidik anak-anak untuk memiliki karakter yang jujur, berbicara benar, dan menjauhi kebohongan.
Akhlak anak terbentuk dari lingkungan keluarga, dan orang tua adalah pendidik pertama. Anak-anak cenderung meniru perkataan dan perbuatan orang tua. Oleh karena itu, orang tua harus menjaga ucapan dan tindakan mereka agar memberikan teladan yang baik. Dalam kehidupan keluarga, berkata jujur adalah salah satu bentuk pendidikan akhlak yang paling sederhana namun mendalam.
Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang mendukung nilai-nilai moral dan etika lebih mampu mengatasi tantangan sosial di kemudian hari. Oleh karena itu, pendidikan akhlak sangat penting untuk membentuk kepribadian anak yang mulia.
Surat an-Nisa ayat 9 memberikan gambaran komprehensif tentang tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak, mulai dari fisik, akidah, hingga akhlak. Pendidikan yang baik tidak hanya berfokus pada aspek formal tetapi juga mencakup semua aspek kehidupan.
Orang tua adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Dengan memegang prinsip-prinsip yang digariskan dalam Al-Qur’an, mereka dapat menciptakan generasi yang tidak hanya sukses di dunia tetapi juga memiliki bekal akhirat. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, mari kita jadikan pendidikan anak sebagai investasi jangka panjang untuk kebaikan keluarga, masyarakat, dan agama.
Mngkin jurusan suami idaman atau istri shalihah mesti sudah selesai dari pendidikan aliyah nya. Jika dirasa sulit maka menjadi tugas pesantren secara khusus. Anggap aja pesantren adalah lembaga resmi pendidikan dengan jurusan suami idaman dan istri sholihah hhhha. Jadi yg ingin dapet gelar tersebut yaa mesantren. Dan idealnya ma’had ali perlu mempertimbangkan itu. Disisi gelar berawal S sesuai gelar akademik, juga ditambahkan gelar CIS (calon istri
Shalihah), atau SI (Suami Idaman). Sehingga yg basis pesantren salaf ya gelarnya hanya SI nya atau ID nya saja. Maka konsep kurikukum ma’had ali mungkin ideal. Adapun univ lain dengan jurusannya masing” ya silahkan sajaa, mngkin anaknya gak mau dapet gelar istri sholihah atau suami idaman, atau bisa jadi univnya yang gak memfasilitasi itu, ya lagi” wajib mesantren kalau gitu.🤭
________
Pengajaran karakter tauhid yg ditinjau dari dua aspek justru malah membuat anak bingung dengan akibat dari problematika tinjauan tersebut yang akan melahirkan pembagian akidah. Alih” memahamkan malah kedepannya akan mnganggap orang trjebak antara iman dan kafir baina manjilatain jika berakidah salah satunya saja. Paling parah ya mengkafirkan atau mensyirikan. Keabu-abuan tersebut akan hilang kalaukan kita meninjau tauhid dari sudut iman kita kepada allah dan iman kepada sifat”nya. Jika ingin menekankan uluhiyahnya maka pelajari sifat wujud dan sifat wahdaniahnya. Dan jika ingin menekankan rububiahnya maka pelajari sifat iradah dan qudrahnya. Meyakini iman kepada allah dan sifatnya menjadi solusi bagi saya untuk mnguatkan pendidikan akidah anak bahkan itu menjadi wajib. Lagi” matan akidatul awam menjadi wajib diajarkan bagi anak oleh setiap orang tua.