Sedang Membaca
Politik Kaum Muda dan Drama Pemilu 2024
Khairul Anwar
Penulis Kolom

Dosen STAIKAP & UIN Gus Dur, Sekretaris LTNNU Kab. Pekalongan, serta penulis buku.

Politik Kaum Muda dan Drama Pemilu 2024

Deklarasi Kampanye Pemilu Damai Tahun 2024. Foto: kpu.go.id

Pemilihan Umum atau pemilu 2024 sudah di depan mata. Tahapannya kini sudah memasuki masa kampanye. Capres-cawapres, calon legislatif (caleg) dan partai politik (parpol) tengah mempersiapkan diri mereka masing-masing menyambut hajat lima tahunan tersebut. 

Meski ada banyak “drama” jelang pemilu 2024, tapi biarlah sejarah yang akan mencatatnya. Anggap saja itu sebagai warna tersendiri di pemilu kali ini. “Lelucon-lelucon” yang terjadi belakangan ini, mari kesampingkan dulu, karena tulisan ini bukan hendak membahas soal itu.

Yang jelas, pemilu 2024 bukan hanya soal perebutan kekuasaan antar elit politik. Melainkan juga anak-anak muda yang nanti akan menentukan pilihannya, pilihan untuk menjadikan Indonesia lebih baik lagi.

Kaum muda secara matematis akan mendominasi di Tempat-tempat Pemungutan Suara (TPS) pada hari pelaksanaan pemilu nanti. Persentase pemilih muda tercatat sebagai yang terbanyak daripada rentang usia lain.

Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia atau KPU RI menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Nasional untuk Pemilu 2024 sebesar 204.807.222 jiwa. Dari jumlah itu, 52 persen, atau sekitar 106.358.447 jiwa, merupakan pemilih muda. Dalam pandangan KPU, pemilih muda yakni yang berusia di bawah 40 tahun.

Artinya, para pemuda akan menentukan nasib Indonesia, setidaknya selama lima tahun ke depan. Apakah Indonesia akan menjadi negara maju atau tidak, para muda-mudi akan turut terlibat dalam menentukannya.

Maka, golput (golongan putih) alias memilih untuk tidak memilih, bukan lah pilihan. Sifat apatis terhadap politik, yang berujung pada keengganan untuk hadir di TPS, ini harus dihindari, terlebih oleh pemilih muda. Dengan jumlah terbanyak dalam DPT, kaum yang dikategorikan sebagai gen Milenial dan gen Z ini sangat diharapkan oleh penyelenggara pemilu untuk berduyun-duyun datang ke TPS.

Baca juga:  Bisakah NU Keluar dari Bayang-Bayang Presiden Jokowi?

Bila mereka tak ‘berlabuh’ di TPS, suaranya tidak dihitung. Jadi, kalau sebuah pemilu yang datang hanya 30 persen, misalnya, sisa 70 persennya tidak memilih, maka bukan berarti pemilunya batal. Keputusannya ditentukan oleh (pemilih) yang hadir, yakni yang 30 persen itu. Maka, sikap terbaik sebagai warga negara, adalah dengan mau hadir dan mencoblos pilihannya di TPS.

Soal pemilih muda kenal atau tidak tentang sosok capres-cawapres, caleg, atau parpol, yang akan dipilihnya, nah ini yang perlu disiapkan sejak jauh-jauh hari sebelum pemilu. Dalam berpartisipasi dalam pemilu, pemilih muda jangan hanya memilih karena tren atau ikut-ikutan, tetapi kaum muda harus cermat dan kritis dalam memberikan hak pilihnya.

Pemilih muda harus rajin menelusuri informasi rekam jejak calon pemimpin yang dipilih, mulai dari latar belakang, pendidikan, keluarga, aktivitas sosial di lingkungannya, karya yang telah dibuat, hingga kontribusi yang telah dilakukan untuk orang banyak. Nah, soal rekam jejak capres-cawapres, dan hal penting lainnya, itu bisa kita dapatkan di internet, tinggal kita mau menelusurinya atau tidak, akan tetapi bagaimana dengan rekam jejak para caleg? Data para caleg ini juga sangat penting diketahui oleh publik.

Para parpol peserta pemilu harus secara gamblang membuka data, dan rekam jejak para calegnya masing-masing. Jangan sampai ada yang ditutup-tutupi. Ini penting mengingat publik masih sangat awam terhadap para caleg. Terlebih para pemilih muda, yang secara luas dianggap sebagai kaum yang alergi terhadap politik. Meskipun ada yang menilai bahwa ketidaktertarikan anak muda terhadap politik bukan karena mereka apatis, tetapi cenderung frustrasi karena suara dan aspirasinya tidak didengar.

Hal tersebut juga yang harus menjadi tantangan bagi kontestan pemilu agar bagaimana menyakinkan pemilih muda, yang secara kuantitas sangat fantastis di dalam DPT, untuk hadir ke TPS.

Baca juga:  Cengkraman Feodalisme: Demokrasi Indonesia, Demokrasi Cacat

Peserta pemilu perlu memperjuangkan nilai-nilai anak muda di era digital ini jika mereka memang mengincar suara dari pemilih muda. Dikhawatirkan, pemilih muda ogah datang ke TPS ketika mereka sama sekali tak mengenali caleg-caleg yang ada di kertas suara. Atau para capres-cawapres tidak memasukan isu-isu anak muda sebagai prioritas dalam gagasannya.

Pemilih Muda dan Media Sosial  

Pemilih muda (gen millennial dan z) merupakan kelompok yang saat ini menguasai media sosial. Kubu mereka begitu aktif menggunakan media sosial. Dan di media sosial, isu paling sering dibahas, setidaknya dalam tiga bulan terakhir ini, dalam pengamatan saya, adalah isu-isu politik, selain isu kemanusiaan yang ada di Palestina. Ini bisa kita lihat dari trending yang ada di X (dulu twitter) setiap harinya, dimana mayoritas yang trending adalah isu-isu politik.

Isu politik paling mutakhir menjadi isu yang dominan dibahas di dunia maya. Dengan demikian, anak-anak muda, yang secara absolut adalah “pemegang kendali” di media sosial, secara langsung terpapar dengan banyaknya berita atau informasi seputar pemilu 2024.

Membaca dan memahami situasi politik tentu menjadi sesuatu yang penting. Meskipun kalangan muda secara luas dipandang apatis terhadap politik, tetapi saat ini sudah banyak anak muda yang mulai tertarik dengan isu politik. Apalagi jika tokoh idola mereka maju berkontestasi dalam pemilu 2024.

Silvanus Alvin, pengamat komunikasi politik dari Universitas Multimedia Nusantara, mengatakan Gen Z sebenarnya tidak apatis terhadap permasalahan politik. Menurutnya, mereka cukup melek politik karena terpapar banyak informasi lewat media sosial.

Selain itu, terdapat 70,7 persen anak muda menyatakan akan berpartisipasi dalam Pemilu 2024. Hanya saja, 86,1 persen responden dengan usia 17-39 tahun itu tidak berhasrat untuk menjadi anggota parpol. Itu menurut laporan AKSARA Research and Consulting.

Baca juga:  Tahun Politik: Menguji Netralitas PBNU

Animo muda-mudi terhadap politik mesti dibarengi dengan transparansi dari parpol untuk membuka data dan rekam jejak para caleg sejelas-jelasnya. Para aktor pemilu 2024 perlu ingat dan sadar bahwa daftar pemilih terbanyak di pemilu 2024 nanti dari kalangan pemuda. Maka, pastikan program-program yang akan dibuat, gagasan-gagasan yang akan dituangkan, bisa menjangkau dan mengakomodir kebutuhan para anak muda.

Kaum muda tidak butuh banyak sandiwara politik dari elit politik. Yang mereka butuhkan adalah langkah konkrit para calon pemimpin agar bagaimana bisa mensejahterakan kaum muda. Jangan sampai di media sosial, narasi-narasi yang berkembang hanya seputar drama-drama politik yang bisa mengancam ketidaktertarikan anak muda untuk datang ke TPS.

Dengan kondisi media sosial saat ini yang “dikuasai” kaum muda, para elit politik jangan cuma menyuguhkan “sinetron politik” tetapi juga harus memberikan pendidikan politik kepada publik, khususnya golongan muda. Pendidikan politik bagi masyarakat tidak hanya menjadi tanggung jawab KPU tapi menjadi tanggungjawab bersama, termasuk partai politik. Dan melalui dunia maya, para elit politik harus memberikan itu.

Para elit politik perlu memberikan pemahaman politik secara masif melalui media sosial mengenai, misalnya, pentingnya partisipasi politik dalam pemilihan presiden dan wakil presiden; memahamkan publik bahwa pemilu hanya sementara tapi persahabatan antar elit politik selamanya; memahamkan publik tentang bahaya hoaks (berita bohong) sebelum dan pasca pemilu, dll. Singkatnya, pendidikan politik memiliki tujuan untuk membantu individu menjadi warga negara yang aktif, cerdas, dan responsif dalam masyarakat demokratis.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top