“Mengubah sampah plastik menjadi barang yang berharga itu hanya menunda masalah saja, mas. Tidak menyelesaikan masalah.”
Pernyataan itu meluncur dari mulut seorang teman, Mas Slamet namanya, ketika kami sedang membincang masalah lingkungan beberapa hari lalu di sebuah resto. Saya diam sejenak. Mencoba memahami maksud ucapan kawan saya itu. Tapi, beberapa detik kemudian kawan saya kembali menyambar, “Jadi ketika misalnya sampah plastik itu dibikin kerajinan tas, itu sebenarnya hanya menunda masalah saja karena kelak tas itu juga akan rusak dan kembali menjadi sampah,”.
Singkat cerita, obrolan saya dan Mas Slamet tentang masalah lingkungan kala itu adalah membahas tentang ecobrick dan penanganan sampah plastik. Teman saya itu mengatakan kalau ia dan teman-temannya di kampung halamannya berhasil membuat ecobrick dan menyulapnya menjadi sebuah kursi. Tapi tentu saja bukan kursi seperti yang ada di gedung DPR.
Apa itu Ecobrick?
Dilansir dari situs Kementerian Kelautan dan Perikanan, ecobrick adalah botol plastik yang diisi dengan limbah anorganik sampai penuh, padat, dan keras. Secara umum, ecobrick dibuat dari botol plastik yang diisi sampah plastik yang telah dipotong kecil-kecil, kemudian ditekan hingga padat menggunakan tongkat.
Plastik yang menjadi syarat ecobrick pun bisa bermacam-macam, mulai dari kemasan deterjen, kemasan minuman, kantong plastik sekali pakai (kresek), sampai dengan bungkus makanan. Ecobrick dapat dimanfaatkan untuk membuat blok bangunan, kursi atau meja dan masih banyak kerajinan yang lain.
***
Bicara ecobrick, saya jadi teringat kalau beberapa tahun silam saya pernah mempraktikkan bikin benda ini. Di tahun 2020, tepatnya. Di tahun yang bertepatan dengan musibah Corona, saya rajin membikin ecobrick kala itu. Hanya bermodalkan botol aqua bekas ukuran 1,5 liter. Meskipun di atas kertas terlihat sepele, faktanya tak mudah bikin ecobrick. Saya merasakan sendiri.
Di tahun itu, saya sudah bikin lima ecobrick, alias lima botol. Butuh waktu berbulan-bulan untuk jadi lima ecobrick, dan setelah itu, saya tidak membuatnya lagi. Kenapa? Ada beberapa faktor kenapa saya berhenti membuat ecobrick, dan penyebabnya karena, ya, salah satunya rasa berat tangan dan tentu saja minimnya dukungan orang-orang sekitar untuk membantu mengumpulkan plastik-plastik bekas.
Untuk menjadi satu botol ecobrick ukuran 1,5 liter, memang butuh waktu lama, apalagi jika di rumah kita tak banyak sampah plastik. Selain itu, dukungan dari beberapa pihak juga sangat penting. Dalam membikin ecobrick di rumah, saya tak dibantu oleh siapa pun. Saya sendirian. Mulai dari mengumpulkan sampah plastik-plastik bekas hingga memasukkan plastik-plastik yang sudah dipotong kecil-kecil itu ke dalam botol. Entah plastik sarimi, rinso, bungkus chiki, dan plastik apa saja yang kering. Kalau plastiknya basah, saya keringkan dulu. Saya jemur. Lalu saya potong kecil-kecil dan dimasukin ke botol aqua ukuran 1,5 liter.
Jika ingatan tak khilaf, nyaris butuh waktu hampir satu tahun untuk membuat lima botol ecobrick. Ini lebih karena saya tidak terlalu fokus pada pembuatan tersebut. Pendek kata, bikin ecobrick hanya iseng-iseng. Saya jalani sebisanya, semampu saya. Ini hanya soal kesadaran saya yang bercita-cita menjadikan lingkungan menjadi lebih baik. Dengan memasukan sampah plastik ke dalam botol plastik, dapat menjaga plastik agar tidak terdegradasi menjadi racun dan mikroplastik.
***
Ok. Kembali ke pernyataan teman saya tadi. Jadi, apa yang dilontarkan Mas Slamet membuat saya teringat tulisan Iqbal Aji Daryono berjudul ‘Keterampilan Memindah Masalah’ yang pernah dimuat di detik.com di tahun 2021 lalu. Iqbal menyebutkan bahwa melempar sampah ke sungai dan membuang sampah pada tempatnya hanyalah seni memindah masalah. Masalah di rumah si pembuang sampah teratasi (rumahnya bersih, asri, nyaman), tapi masalah itu berpindah ke tempat-tempat lain.
Benar, sampah akan menjadi perkara di tempat baru. Ketika kita membuang sampah di keranjang sampah, lalu datang truk sampah mengangkutnya, misalnya. Rumah kita memang menjadi bersih, terlihat nyaman, tapi problem sampah itu belum sepenuhnya hilang. Ia hanya berpindah tempat. Sampah itu bermigrasi ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Di sana, sampah-sampah berubah menjadi gunung.
Persoalan sampah, khususnya di negara kita ini memang tak pernah ada habisnya. Sampah plastik yang disulap kerajinan tas pun masih dianggap hanya sebatas menunda masalah. Pandangan seperti ini mengacu kepada logika bahwa barang yang terbuat dari plastik pasti akan rusak di kemudian hari. Entah kapannya, tergantung pemakaian. Tergantung pula takdir tuhan. Kalau begitu, ecobrick pun sebenarnya hanya menunda masalah saja. Ecobrick, dan tas yang terbuat dari plastik, sama-sama barang yang diciptakan dari plastik bekas. Ia bisa rusak kapan saja, lalu berubah lagi menjadi sampah.
Jika memang demikian, apakah ecobrick dan tas yang terbuat dari plastik bekas menjadi sebuah solusi atas permasalahan lingkungan, khususnya sampah?
Kita sepakat, ecobrick merupakan salah satu upaya penanganan sampah plastik yang kreatif. Begitupun dengan tas, sepatu, atau apa pun barang yang terbuat dari plastik bekas, dan itu mempunyai nilai jual secara ekonomis, kita sepakat itu adalah proses kreatif. Sebagai produk kreatif, karya kreasi sampah plastik memang memiliki nilai komersial yang menjanjikan. Jika ditekuni secara serius, produk seperti ini memiliki daya jual yang dapat menghasilkan keuntungan.
Boleh lah orang berpandangan kerajinan dari sampah plastik hanya sebatas menunda masalah. Tapi, setidaknya ini jauh lebih baik daripada sampah plastik tersebut langsung dibuang ke sungai, dibakar, atau ditimbun di dalam tanah. Sampah plastik yang tidak dikelola dengan baik, sisi mafsadatnya (keburukannya) jauh lebih besar ketimbang maslahatnya (kebaikannya).
Perlu kita ketahui, plastik merupakan sampah yang paling lama terurai. Barang-barang plastik dapat terurai di tanah 1000 tahun lamanya, sedangkan kantong plastik 10 hingga 1000 tahun. Botol plastik dapat terurai di alam sekitar 450 tahun. Bagi lingkungan, sampah dari plastik sangat sulit diolah dan terurai oleh tanah. Pada akhirnya dapat merusak tanah, mencemari tanah dan sumber air tanah.
Bukan itu saja, data Konferensi Kelautan PBB di New York, AS pada tahun 2017 menunjukkan bahwa sampah plastik di lautan telah membunuh sekitar 1 juta burung laut, 100.000 mamalia laut, serta sejumlah ikan dan penyu. Sementara itu, penelitian World Wildlife Fund Indonesia (WWF) menunjukkan hingga 25% spesies ikan laut mengandung mikroplastik. Bahan mikroplastik ini diperoleh dari sampah laut berukuran <5 mm dan dikonsumsi oleh plankton yang merupakan sumber makanan utama ikan di lautan.
Oleh sebab itu, dengan melihat fakta di atas, pembuatan ecobrick, dan kerajinan dari plastik bekas jangan pernah dianggap remeh temeh. Hal ini memang hanya menunda masalah. Tapi hal ini menghadirkan masa depan yang cerah bagi sistem ekologi yang jangka waktunya lebih lama.
Ecobrick berfungsi bukan untuk menghancurkan sampah plastik, melainkan memperpanjang usianya dan mengolahnya menjadi sesuatu yang berguna. Logikanya, semakin panjang usia plastik (Dimana plastik yang didaur ulang tersebut digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat) maka semakin baik pula bagi keberlangsungan sistem ekologi dalam jangka waktu yang lama.
Saya mengharapkan, semoga semakin banyak orang yang sadar akan lingkungan, salah satunya menerapkan pembuatan ecobrick. Jika gerakan ini terorganisir di setiap desa-desa, dan banyak warga yang mau melakukannya, niscaya jumlah plastik anorganik yang berpotensi merusak lingkungan dapat ditekan. Dan, para makhluk hidup yang ada di bumi akan merasa senang, karena jumlah sampah plastik berkurang. Ah, semoga saja.