Qashash al-Anbiya` merupakan salah satu di antara karya-karya Ismail bin ‘Umar al-Qurasyi bin Katsir bin Dhau` bin Katsir bin Zar’ al-Bahsriy al-Damasyqiy, atau yang kita kenal dengan Imam Ibnu Katsir (w. 774 H).
Karya lainnya adalah al-Fushul fi Sirah al-Rasul, al-Ijtihad fi Thalab al-Jihad, Ahkam al-Tanbih, Tafsir al-Quran, al-Bidayah al-Nihayah fi al-Tarikh (karya beliau terpopuler selain tafsirnya), al-Kawakib al-Darariy (ringkasan tarikhnya) dan masih banyak lagi.
Ramadan kali ini, saya menyimak pengajian kitab Qashash al-Anbiya` ini bersama KH. M Habib Abd Syakur, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Imdad melalui siaran langsung di akun Facebook beliau (M Habib A Syakur) tiap pagi bakda Subuh.
Ihwal pengarangan, Imam Ibn Katsir bukanlah ulama yang pertama kali mengarang kumpulan kisah para nabi, terutama 25 nabi. Dalam pengantarnya, disebutkan ada seorang tabiin yang telah menulisnya pada seratus tahun pertama hijriah, ialah Wahb bin Munabbih (w. 114 H). Namun sepenelusuran saya di mesin pencari, Google, saya tidak menemukannya.
Lalu berdasarkan urutan, kitab ini dimulai dari kisah Nabi Adam alaihissalam dan ditutup kisah Nabi Isa alaihissalam. Absennya kisah Nabi Muhammad bukan lain karena beliau—Imam Ibn Katsir—menuliskannya dalam satu kitab tersendiri yang beliau beri tajuk al-Fushul fi Sirah al-Rasul.
Beliau juga membagi setiap kisah menjadi ke dalam beberapa pasal. Kita bisa temukan, misalnya, pada kisah pertama; Qishatu Adam alaihissalam, dibagi menjadi ke dalam 5 pasal, meliputi penciptaan Adam berdasar al-Quran, protes Musa kepada Adam, hadis-hadis mengenai penciptaan Adam, Qabil-Habil, dan wafatnya Adam beserta wasiatnya kepada Syits, putranya.
Barangkali, cerita yang memiliki porsi banyak di dalam al-Quran, selain kisah Nabi Musa, adalah kisah Nabi Adam alaihissalam. Itu pun belum semua ayat dicantumkan dalam Qashash al-Anbiya`, Imam Ibn Katsir mengetengahkan bahwa beliau melengkapi ayat-ayat kisah Nabi Adam ini di dalam tafsirnya.
Kisah Nabi Adam dimulai dari surah al-Baqarah: 30, ketika Allah berdialog dengan malaikat; sesungguhnya aku menjadikan di bumi seorang khalifah. Artinya Allah memberitahu kepada para malaikat akan menciptakan Adam dan keturunannya, yang sebagian mereka menggantikan–sebagai khalifah yang mengurusi bumi—sebagian yang lain.
Dalam menyinggung khalifah, Allah selalu menggunakan redaksi ja’ala (menjadikan) seperti dalam al-Baqarah: 30, al-An’am: 165, dan al-Naml: 62. Sedangkan ketika menyinggung Adam, Allah menggunakan redaksi khalaqa (menciptakan). Keduanya berbeda, untuk yang khalaqa, artinya tidak ada campur tangan selain Allah dalam penciptaan Adam. Lahirnya manusia melalui proses yang panjang (dari setetes mani hingga menjadi bayi di dalam rahim) adalah murni ciptaan Allah.
Sedangkan ketika menyinggung khalifah (yang menguasai, yang bertanggung jawab memakmurkan), Allah menggunakan redaksi ja’ala, artinya ada campur tangan selain Allah. Dengan kata lain, tak semua manusia menjadi khalifah, ada manusia yang tidak menjadi khalifah, ialah manusia yang merusak, yang gila.
Pemberitahuan Allah kepada malaikat tersebut bukanlah pemberitahuan biasa, melainkan semacam peringatan akan diciptakannya Adam beserta anakturunnya. Seolah, Allah memberitahu peristwa besar sebelum terjadinya peristiwa itu. Dan itu membuat kaget para malaikat.
Walhasil para malaikat bertanya; apakah Engkau akan menjadikan di bumi, makhluk yang merusak (bumi) dan menumpahkan darah? Kami selalu menyembahmu dan menyucikanMu (al-Baqarah: 30).
Dalam fragmen kisah ini, Ibn Katsir mengritik para mufasir yang mengatakan bahwa pertanyaan malaikat kepada Allah itu berdasarkan motif dengki dan rasa superior, kepada dan atas manusia. Itu merupakan tafsiran yang keliru. Beliau menjelaskan bahwa pertanyaan malaikat kepada Allah adalah ingin menanyakan apa hikmah di balik penciptaan manusia, bukan menentang Allah maupun memprotes Allah. Bukan.
Para malaikat bertanya begitu sebab mereka tahu bahwa ribuan tahun yang lalu (dua ribu tahun sebelum diciptakannya Adam), ada makhluk yang diciptakan Allah di bumi, mereka adakah al-Hann dan al-Bann, yang merusak bumi dan menumpahkan darah. Lalu Allah mengutus pasukan malaikat untuk mengusir mereka dari bumi.
Seolah malaikat berkata; jika yang Engkau ciptakan adalah makhluk yang menyembahMu, maka kami selalu menyembahMu siang dan malam.
Namun Allah menjawab; sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.
Sekali lagi, pernyataan ini sepertinya menentang Allah tentang penciptaan manusia. Namun ayat ini memiliki makna yang sangat luas. Seperti jawaban Allah; hanya Dia yang mengetahui.
Lantas Allah menjelaskan kemuliaan Adam kepada para malaikat dalam segi keilmuan sebagaimana dalam al-Baqarah: 31. Allah mengajari Adam nama-nama segala apa yang tercipta, bahkan nama barang kasat mata yang memiliki bau yang tidak sedap. Ayat tersebut menyiratkan bahwa pengetahuan manusia lebih tinggi daripada malaikat.
Tentu kisah di atas masih panjang, dan tak mungkin saya tuliskan di sini.
Tak hanya kisah Nabi Adam dan 23 nabi yang wajib diketahui seorang muslim (ingat, kisah Nabi Muhammad dituliskan dalam kitab berbeda), kitab ini juga mengisahkan nabi-nabi yang barangkali kita kurang familiar dengan namanya, seperti Hazqiyal, Ilyasa’, Yusya’ bin Nun, Samuel, Sya’ya bin Amshiya, Armiya bin Halqiya, Daniyal, Uzair.
Nabi yang bukan termasuk 25 nabi, tapi namanya sangat lekat di telinga kita, ialah Nabi Khidhr, juga disertakan dalam kitab ini bersama kisah Nabi Musa.
Akhiran, kitab ini merupakan salah satu kitab yang kaya akan hikmah. Sebab kisah-kisah yang disajikan diambil dari al-Quran, hadits dan riwayat-riwayat lainnya. Pun al-Quran juga mengisyaratkan pentingnya kita membaca kisah-kisah dan mengambil ibrahnya dengan satu surah yang dinamakan al-Qashash, artinya kisah-kisah. Wallahu a’lam.