Sedang Membaca
Potensi Pariwisata Islam di Indonesia: Tantangan dan Kritik
Joko Yuliyanto
Penulis Kolom

Penggagas Komunitas Seniman NU. Penulis Buku dan Naskah Drama. Aktif Menulis Opini di Media Daring dan Luring.

Potensi Pariwisata Islam di Indonesia: Tantangan dan Kritik

Wisata Halal Islam

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) merancang pariwisata halal sebagai program prioritas untuk menjadikan Indonesia destinasi wisata halal kelas dunia. Data Global Muslim Travel Index (2019) menunjukkan wisatawan Muslim hingga tahun 2030 diproyeksikan akan menembus 230 juta di dunia.

Untuk mengimplementasikan program tersebut, pemerintah menyusun strategi seperti fasilitas dan pelayanan yang memadai, konektivitas destinasi wisata halal, mengembangkan promosi dan marketing komunikasi, mengembangkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, dan meningkatkan kompetensi industri yang ramah wisatawan.

Potensi pariwisata halal cukup menjanjikan bagi Indonesia sebagai basis negara muslim terbesar di dunia. Gairah praktek beragama juga berkembang pesat melalui simbol dan pemanfaatan media sosial. Berbagai kajian keislaman menjadi objek menciptakan identitas yang beberapa di antaranya di bungkus nuansa politis.

Mengingat sebaran destinasi wisata di Indonesia, tentu mudah mengaplikasikan program wisata halal. Tantangannya, capaian wisata nonmuslim yang punya proyeksi ekonomi saat ini. Simbol Islam masih punya paradigma negatif terkait perilaku terorisme, perang saudara di Timur Tengah, dan intoleransi. Indonesia punya tugas membersihkan nama Islam yang banyak dicederai oleh umatnya sendiri.

Islam dan Halal

Penggunaan diksi halal yang punya asumsi produk makanan/ minuman kurang relevan digunakan sebagai istilah pelengkap pariwisata. Meski Majelis Ulama Indonesia mulai mengabaikan esensi kehalalan produk menjadi simbol Islam dalam berbagai bentuk barang atau benda. Sebab wisata tidak hanya berfokus pada penyajian makanan dan minuman halal, melainkan pada nilai yang diterapkan.

Baca juga:  Mengantisipasi Kesenjangan Bahasa pada Anak

Pariwisata Islam tampaknya lebih lugas mencitrakan nilai-nilai keagamaan melalui sarana pariwisata. Meskipun berbicara nilai Islam banyak yang sejalan dengan budaya di Indonesia. Islam mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan yang menyangkut kebersihan, keramahan, kedisiplinan, dan gotong royong. Maksudnya, tanpa identitas Islam pun, manusia bisa mengamalkan nilai-nilai Islam sebagai hakekat budaya dan kemanusiaan.

Pemerintah harus bisa mengembangkan esensi daripada hanya berkutat pada eksistensi Islam. Penggunaan simbol dan istilah-istilah Islam kurang begitu punya pengaruh menciptakan nuansa islami jika perilaku wisatawan dan pelaku di dalamnya jauh dari cerminan nilai-nilai Islam. Fokus nilai Islam tidak tercermin dari penamaan wisata halal dan lebih layak menggunakan nama Pariwisata Islam.

Wisatawan tidak dibatasi oleh muslim, semua pemeluk agama bisa berkunjung ke Indonesia dan melihat praktek nilai-nilai Islam yang indah dan menarik. Misalnya tingkat kebersihan dilihat dari penyediaan fasilitas MCK, tidak adanya sampah, perawatan lingkungan hidup, dan kerapian penataan lokasi wisata. Dalam sisi keramahan bisa diwujudkan dengan intensitas interaksi dengan wajah murah senyum seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad.

Halal hanya identik dengan Islam namun tidak mewakili nilai secara keseluruhan. Namun butuh kesiapan yang matang menyiapkan pelaku industri pariwisata dalam mengamalkan nilai Islam. Memberikan teladan kepada wisatawan bahwa Islam adalah agama yang damai, menyenangkan, dan selalu memanusiakan manusia. Islam tidak boleh dimonopoli oleh salah satu paham atau ideologi yang tercermin dari sikap menerima kehadiran wisatawan nonmuslim.

Baca juga:  Pemetik Puisi (2): Kertas dan Keras

Pluralistik

Perlu diakui bahwa Indonesia merupakan negara plural dengan beragam suku, budaya, dan agama. Sejarah bangsa juga diilhami oleh para pemuka agama nonmuslim dan sudah hidup rukun puluhan tahun di Indonesia. Kesadaran negara multidimensi menghendaki kebijakan pemerintah yang adil pada semua aspek agama.

Penyediaan produk (barang) halal sebagai penguatan unsur religius terlihat tidak begitu berpengaruh pada motif pembentukan wisata islami. Kita kerap dininabobokan simbol-simbol agama namun tidak pernah menganalisis esensi dan manfaat dari keberadaannya. Agama hanya dijadikan transaksi dagang secara politik dan ekonomi.

Kegigihan pemerintah merencanakan program wisata halal banyak berorientasi pada data State of the Global Islamic Economy yang di tahun 2020 mencatat total perjalanan wisatawan muslim dunia senilai 194 Miliar US Dolar. Diprediksi pada tahun 2023 mengalami peningkatan sekira 274 Miliar US Dolar. Kondisi tersebut yang mengaburkan aspek religius dan mementingkan aspek ekonomi dengan menjual nama Islam.

Konsep pariwisata Islam harus digagas tidak hanya mengenalkan keindahan alam Indonesia. Melainkan juga sebagai komitmen mengembalikan citra Islam yang bisa diterima oleh berbagai agama di dunia. Menunjukan bahwa Indonesia bisa berdiri dan tumbuh dari kondisi yang plural dan majemuk. Islam sebagai negara mayoritas punya tanggung jawab melindungi kehadiran agama minoritas dari segala bentuk ancaman.

Baca juga:  Sastra dan (Sopir) Truk

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top