Sedang Membaca
Mereka yang Berlomba Mengais Berkah Ramadan
Junaidi Abdul Munif
Penulis Kolom

Pengurus Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Semarang

Mereka yang Berlomba Mengais Berkah Ramadan

Sepanjang ramadan pada sore hari, tepi jalan raya disesaki penjual minuman dan makanan. Bulan puasa adalah bulan perut. Banyak orang memanjakan lidah dengan makanan yang segar manakala waktu buka tiba. Aneka es adalah menu wajib yang dijajakan selama Ramadan. Hari-hari biasa memang sudah banyak penjual, namun di bulan Ramadan, semua seperti tiba-tiba menjual beragam es.

Di sisi lain, pengajian dan kajian juga marak di bulan Ramadan. Acara bukber (buka bersama) turut diisi dengan mauidhah hasanah. Televisi menyajikan ceramah agama, dengan iklan-iklan minuman dan suplemen yang menggugah selera. Banyak orang tiba-tiba menjadi lebih islami. Semua karena memburu berkah Ramadan.

Sesuatu dianggap baik jika memberi berkah. Berkah, yang dicomot dari bahasa Arab barakah, dalam tradisi pesantren mengandung makna ziyadatulkhair wassa’adah (bertambahnya kebaikan dan keberuntungan). Definisi yang bias, antara profetis dan profan. Transendensi berkah dipahami sebagai rida Tuhan pada manusia. Harta yang berkah memberi manfaat pada pemiliknya.

Puasa adalah ibadah bagi semua umat muslim, tak peduli latar belakang ekonomi. Jika kita sepakat dengan Karl Marx tentang kelas borjuis dan proletar, atau dalam Islam ada aghniya (orang kaya) dan fuqara’ wa masaakin (fakir dan miskin), maka dua kelompok inilah yang turut berebut berkah.

Baca juga:  Lailatul Qadar dalam Al-Quran (2/3)

Bagi kelompok menengah-atas, berkah puasa adalah empati terhadap keseharian kaum papa, yang tak bisa menikmati makanan mewah setiap hari. Hasrat material dan konsumtif diistirahatkan dengan laku puasa. Spiritnya adalah asketisme (zuhud), yang membuat sang zahid (pelaku zuhud) dicintai Allah dan manusia, sebagaimana maklumat Nabi Muhammad.

Sementara bagi fakir miskin atau masyarakat dengan ekonomi semenjana, puasa mengandung berkah dengan menikmati makanan enak. Saat berbuka, mereka minum kolak, es cincau, teh manis, kurma, es sirup dan aneka makanan yang lebih lengkap daripada hari-hari biasa. Sebotol sirup bagi keluarga miskin adalah sedikit kemewahan, yang sulit ditemukan pada bulan selain Ramadan.

Mereka mengurangi waktu kerja, semata untuk mempertahankan puasa biar tidak batal. Kelompok lain, yang bekerja berat di sektor bangunan atau panen padi, ada yang memilih tidak puasa. Itu dijalani demi mendapatkan bekal menghadapi Lebaran. Karena tidak ada yang memberikan THR atau parsel Lebaran untuk petani. Penutupnya adalah membeli baju baru untuk berlebaran.

Ramadan dan puasa telah menjadi kultur, di mana semua orang ingin mendapatkan berkah darinya. Baik itu berkah rohani atau materi. Semua orang berhak merayakan Lebaran. Di situlah, konsorsium besar seperti supermarket menangguk untung. Atau pedagang kecil mereguk tambahan rizki lewat kolang-kaling, cincau, pisang, dan busana muslim kualitas KW.

Baca juga:  Esai Gus Dur untuk Pengantar Buku Humor "Mati Ketawa Cara Rusia"

Betul bahwa spirit Idul Fitri bukanlah ketupat opor dan baju baru, melainkan hati yang baru. Rohani menjadi suci setelah ditempa puasa selama sebulan penuh. Dalam bahasa Alquran, orang yang berpuasa diharapkan menjadi orang yang bertambah ketakwaannya.

Konsumerisme puasa dan Lebaran rupanya tidak pandang bulu orang kaya atau miskin. Televisi menghadirkan acara kuliner untuk berbuka dan sahur. Lengkap dengan dapur mewah dan bumbu yang terdengar asing di telinga orang miskin. Kelompok menengah terbantu dengan buka bersama institusi (tempat kerja), THR, gaji ke-13, dan parsel.

Bagi orang miskin, puasa dan Lebaran adalah ruang perlawanan kelas. Mereka berdikari memenuhi konsumerisme Idul Fitri, dan menjadikan mereka tampak gagah dengan kemandirian itu. Toh, hanya sebulan mereka menikmati habitus orang kaya. Masih tak sebanding dengan orang kaya yang hanya merasakan habitus orang miskin selama sebulan. Itu pun kalau orang kaya mau mengerem habitus makan enak, membeli baju Lebaran.

Di bulan Ramadan, rohani kita mencari berkah lewat ngaji, siraman rohani, tarawih. Jasad kita mencari berkah lewat makanan dan minuman berbuka. Asal jangan sampai kenikmatan santap buka menjebak kita menjadi ahlul buthun, orang-orang yang mengutamakan kesenangan lewat makanan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top