Muslim Indonesia sebagai pasar
Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbanyak tentu menjadi target pasar Arab Saudi. Menurut Hasanuddin Ali (https://tirto.id/pasar-kelas-menengah-muslim-yang-menggiurkan-cmw6) dengan asumsi 56.7% penduduk Indonesia berada di kota, pada 2020 jumlah umat Islam yang tinggal di kota hampir 137 juta jiwa, sementara yang tinggal di desa 104 juta jiwa. Tren ini akan terus berlanjut, penduduk yang tinggal di kota—termasuk umat Islam— akan semakin membesar.
Daftar antrian berangkat haji yang semakin lama memicu umat muslim menjatuhkan pilihan untuk umrah. “Kelebihan” umrah yang tidak dibatasi berapa kali menjadi peluang tersendiri bagi pengusaha travel umrah. Penipuan First Travel dan Abou Tours, misalnya, menunjukkan bahwa masyarakat kita ingin merasakan ibadah di tanah suci dengan harga murah. Geliat maraknya umrah ditangkap dengan baik oleh maskapai Lion Air yang melayani rute penerbangan Solo-Jeddah dan Solo-Madinah karena permintaan umrah yang sangat tinggi (http://id.beritasatu.com/home/lion-air-terbangi-rute-solo-madinah/166734).
Penyediaan tempat hiburan yang modern dan profan mungkin akan memancing wisatawan berkunjung ke Arab Saudi. Tidak hanya “turisme religius” (orang haji dan umrah), tetapi juga “tuirsme profan” yang mencari kesenangan dan hiburan tanpa dibarengi kegiatan keagamaan.
Tren kelas menengah di Indonesia menjadi contoh bagaimana mereka tidak segan menghabiskan uang untuk menyecap kenikmatan liburan. Berbelanja di Orchad Road Singapura, jalan-jalan Malaysia, Thailand, menjadi peristiwa biasa. Kelas menengah muslim pun tidak ragu menukar rupiah dengan riyal untuk melepaskan dahaga spiritualitas.
Seusai khusyuk beribadah di Mekkah dan Madinah, waktu yang tersisa dapat dihabiskan untuk menikmati hiburan di Arab Saudi. Kita telah memiliki modal cukup karena sebelumnya akrab dengan model beribadah yang menggabungkan dimensi profetik dan profan.
“Berhala” baru
Dalam satu kesempatan berbincang dengan KH. Ubaidillah Ahmad, -seorang dosen yang juga kiai-, dia mengisahkan bahwa di masa jahiliyah, berhala-berhala di sekitar Kakbah adalah perjanjian dagang antara masyarakat Arab dengan negara lain, termasuk dengan Nusantara.
Nabi Muhammad mengajak orang-orang untuk tidak menyembah berhala bukan semata alasan teologis. Ada nuansa perlawanan terhadap kapitalisme di situ. Sebagaimana Ibrahim yang dulu menghancurkan berhala-berhala raja Namrud, semangat yang dibawa adalah menghancurkan kapitalisme. Nabi Muhammad Saw yang lahir di Mekkah membawa spirit perubahan masyarakat yang religius. Bisnis dibangun dengan mengindahkan kemanusiaan dan tradisi/budaya.
Sebagai negara, Arab Saudi tentu sah-sah saja mengolah potensi negara untuk mendapatkan pundi-pundi riyal demi pembangunan. Sektor pariwisata sangat realistis dikreasi-eksplorasi karena kunjungan haji dan umrah akan semakin tinggi. Penyediaan tempat hiburan yang bebas nilai (tidak terikat dengan agama dan budaya Islam); peragaan busana, gedung opera, bioskop, kompetisi video game dapat menjaring pasar lintas agama.
Kini mungkin sedang dibangun “berhala-berhala” baru di Arab Saudi atas nama kepentingan ekonomi. Kapitalisme terlalu adaptif memasuki lorong-lorong profetik manusia. Lalu sebagaimana Aldous Huxley mendefinisikan bahwa di zaman kemajuan teknologi, kehancuran spiritual lebih mungkin didatangkan oleh musuh berwajah ramah daripada mereka yang penampilannya membangkitkan curiga dan benci (Ignatius Haryanto, 2003).
Namun, manusia sebagai makhluk yang penuh antagonistik selalu memiliki hilah (trik), penyiasatan suatu hukum tanpa keluar dari substansi hukum itu sendiri. Dalam tradisi pesantren hilah dikenal sebagai strategi untuk mengantarkan kepada tujuan dengan cara tersembunyi.