Kepulauan Indonesia memiliki posisi strategis antara Asia dan Australia dan perlintasan Samudra Hinda dan Pasifik secara geo-politik dan ekonomi. Kajian historis dan arkeologis membuktikan bahwa kepulauan Nusantara telah menjadi bagian dari dinamika sejarah global migrasi manusia Austronesia sejak pra-sejarah dan perdagangan maritim serta pertukaran budaya dan agama sejak periode modern awal.
Sebab itulah, Kepulauan Nusantara tidak saja mempunyai kekuatan budaya dan peradaban maritim, hal ini ditandai dengan kemunculan berbagai macam kedaulatan politik dan ekonomi masing-masing wilayah.
Kebutuhan perdagangan pasar dunia di Nusantara pada abad klasik adalah rempah-rempah. Indonesia berkontribusi besar dalam memenuhi kebutuhan pasar dunia niaga tersebut. Lewat pasar-pasar ini pula, Islam mampu masuk dan berkembang ke Nusantara. Kekuatan penyebaran Islam didapati dari penguasaan pasar, mesjid dan sistem pendidikan, penguasaan politik maritim dengan perniagaan laut dan kesadaran hukum Islam. (Suryanegara, 2015, p. 13)
Kepulauan Indonesia berperan aktif terhadap jaringan perdagangan lokal dan global semenjak awal abad pertama masehi. Pada tahun 1700 SM, cengkeh dari lima pulau kecil di Maluku sudah dimanfaatkan dahulunya oleh orang-orang Suriah dan Dinasti Han di Tiongkok. Sekitar abad pertama masehi, beberapa hasil produksi masyarakat dari Asia Tenggara telah diperdagangkan kepada beberapa wilayah di kepulauan Nusantara seperti kerang, tembikar, marmer, dan batu mulia lainnya.
Selain itu, perdagangan selingkup Nusantara juga melakukan perdagangan timah, tembaga, dan emas. Sistem hubungan perdagangan dari sisi laut ini diperluas ke arah utara sampai ke daratan Tiongkok serta ke arah barat, khususnya India dan sampai ke pantai timur Afrika dari jalur Selat Malaka sebagai jalur pusat perdagangan itu.
Hasil perdagangan laut lokal serta perunggu dari beberapa daerah Jawa dan Bali, sudah dilakukan perdagangan kepada beberapa daerah di bagian Sumatera, Madura, dan Maluku semenjak dua ribu tahun yang silam. Masyarakat Nusantara kala itu tidak hanya sebagai produsen dan konsumen dalam perdagangan maritim tersebut, akan tetapi mereka juga berkontribusi menjadi pembuat sekaligus pemilik kapal, navigator menjadi awak kapal juga.(Wardhana, 2016, p. 370)
Kegiatan kemaritiman dari sisi pelayaran dan perdagangan di Nusantara, tidak terkait dengan komoditas saja, tetapi terdapat pula peninggalan warisan budaya hasil dari kemahiran teknologi tradisional produksi perahu, adat istiadat dan ritual-ritual dalam prosesi pembuatan hingga peluncuran perahu-perahu tersebut ke lautan, dan pengetahuan navigasi alamiah (tanda-tanda di alam). (Mulyadi, 2016, pp. 2–3)
Kegiatan pelayaran perahu-perahu buatan masyarakat saat itu dipandang sebagai media komunikasi antara masyarakat suatu daerah dengan daerah lain. Sebelum dikenalkan alat navigasi modern kepada mereka, para pelaut tradisional hanya mengandalkan kemampuan dan pengalamannya untuk menyebrangi lautan, dengan menyaksikan tanda-tanda alam di laut dan bintang-bintang. (Hamid, 2013, p. 13)
Seperti halnya di wilayah Sumatra, melalui jalur laut di sana kerajaan-kerajaan Melayu di pulau Sumatra melakukan hubungan dagang melalui pelayaran. Perairan Selat Malaka dan pantai Barat Sumatra menjadi acara pertemuan antara sesama mereka atau dengan pedagang asing. Selat Malaka menjadi jalur lalu lintas yang sangat ramai dan tempat berjumpanya pedagang dari berbagai zona komersil, yakni dari Teluk Benggala, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, Laut Sulu dan Pantai Timur Semenanjung Malaya. (Nur, 2016, p. 37)
Pasca era emas kemaritiman wilayah Nusantara masa klasik, kehadiran koloni-koloni dari Eropa di Asia Tenggara membuat peluang ekonomi dan tantangan baru. Bangsa Eropa mendirikan kota pelabuhan sendiri seperti Portugis di Malaka, Spanyol di Manila, dan Belanda di Batavia pada abad ke-17. Kota-kota pelabuhan tersebut berfungsi sebagai pusat perdagangan dan ekspansi koloni-koloni Eropa di Asia Tenggara serta untuk mengendalikan sistem perdagangan versi mereka di wilayah Asia Tenggara dan Asia Timur.(Wardhana, 2016, p. 374)
Seyogyanya dengan kehadiran para koloni dari Eropa tersebut, yang awalnya hanya Portugis dan Spanyol kemudian Belanda dan Inggris, perlahan-lahan melumpuhkan hingga menghancurkan kekuatan sektor politik-ekonomi utama di Nusantara dan mereka juga mengambil alih kedaulatan maritim Nusantara. Mereka juga menghubungkan gugusan pulau-pulau Nusantara dan berlabuh di pelabuhan-pelabuhan skala kecil (tradisional) maupun pelabuhan skala besar (modern) yang dikelola secara modern oleh pemerintah Hindia Belanda. (Wahid, 2018, p. 20)
Dengan demikian, tidak lah hal yang salah, seandainya mengatakan bahwa sektor maritim Nusantara di masa klasik memiliki kemajuan peradaban yang luar biasa saat itu. Penggambaran beberapa aktifitas kemaritiman hampir terjadi di seluruh wilayah Nusantara, dengan perdagangan dan jasa mampu menaikkan derajat perekonomian masyarakat dan pihak kerajaan maupun kesultanan. Ditambah lagi dengan kedatangan para kolonial dari Eropa memberikan sumbangsih kuat dalam peningkatan hubungan maritim yang tidak terbatas hanya di benua Asia saja, akan tetapi mampu ke wilayah Afrika dan Eropa.