Era kontemporer terkini, ada istilah baru dalam anak muda yang konteksnya sama dengan yang ada di masa lampau yakni “Bucin”. Istilah “Bucin” sendiri merupakan akronim dari “Budak Cinta” yang artinya seorang lelaki atau perempuan yang sudah tergila-gila dan cinta mati kepada kekasih hatinya; dia hanya bisa menjadi “kacung” bagi sang kekasih dan siap selalu mengabdi pada kekasih hatinya saat kapan pun dan dimanapun serta dalam situasi-kondisi apapun, atau istilah sederhananya dia rela berkoban untuk melakukan apapun kepada orang yang dicintainya tanpa memikirkan secara rasional terhadap apa yang dilakukannya walaupun ada resiko di luar nalar manusia
Perihal “Bucin” ini sudah pernah terjadi di abad-abad Islam klasik, yang mana seorang manusia yang tergila-gila terhadap seorang wanita yang dipuja-pujanya dan dia hanya fokus terhadap satu wanita tersebut tanpa memikirkan dirinya sendiri, ini dikisahkan dalam bukunya Jalaluddin Rumi, ia berkata: “Jika hati bisa khusyuk secara total, maka semua anggota badan yang lain akan gugur di dalamnya dan lisan tidak lagi dibutuhkan.
Contohnya adalah Laila. Laila bukanlah sebuah sosok spiritual, ia adalah seorang perempuan yang punya raga dan bernafas, ia berasal dari air dan tanah. Tapi kecintaan Majnun pada Laila telah membuatnya begitu terampas dan terkuasai sehingga ia tidak lagi membutuhkan mata untuk melihat Laila, tidak pula membutuhkan telinga untuk mendengar suaranya. Hal ini dikarenakan Majnun tidak merasa Laila adalah raga yang terpisah dari dirinya, dan itulah yang membuatnya terus berteriak: Bayanganmu dalam pandanganku, namamu mengikat lidahku, kenanganmu dalam hatiku, ke mana harus ku kirim kata-kata yang kurangkai ini.? (Rumi, 2016, hal. 112)
“Kebucinan” tersebut terjadi pada diri Majnun karena ia sudah tiada lagi kekasih selain Laila yang selalu mengisi hatinya dalam setiap keadaan apapun. Sehingga apapun yang terjadi terhadap dirinya adalah perwujudan rasa cintanya kepada sang kekasih tanpa perlu harus memikirkan yang lain karena di hatinya sudah ada satu nama yang akan selalu mengobati sakitnya menahan rindu dan pilunya berpisah raga dengan orang yang dicintainya; satu nama yang akan menjadi tumpuan hatinya dalam setiap kondisi tatkala bahagia ataupun sedih.
Akan tetapi sebenarnya Jalaluddin Rumi menjadikan kisah Laila-Majnun hanya sebagai perumpamaan yang nyata akan sebuah bukti cinta sejati kepada sang kekasih. Kisah keduanya selaras dengan wujud jasmaniah memiliki satu kekuatan luar biasa yang mampu membuat asmara dalam dirinya memasuki sebuah keadaan di mana ia tidak melihat dirinya berada dalam raga yang terpisah dari sang kekasih. (Rumi, 2016, hal. 112) Tenggelamnya rasa cinta mendalam terhadap yang dicintainya menjadikan dirinya sudah menyatu pada sang kekasih walaupun dia secara zahir pergi jauh akan tetapi selalu sebenarnya dia selalu menetap dalam kalbu dan akan selalu dalam pikiran sang pecinta tersebut.
Jalaluddin Rumi menggambarkan hakikat menjadi seorang “Bucin” itu selayaknya mengikuti jejak para wali yang senantiasa berada dalam lautan taqwa kepada Sang Kekasih mereka yakni Allah Jalla Jalaluh . Sebagaimana Rumi mengatakan bahwa penenggelaman sejati adalah ketika Allah memberikan rasa takut kepada para wali-Nya. Perasaan takut disni tidak seperti rasa takut manusia kepada singa, macan, dan pada kezaliman, melainkan rasa takut akan perpisahan dengan-Nya. Dia menunjukkan pada bahwa rasa takut itu berasal dari Allah, sebagaimana rasa aman, kehidupan yang damai dan kebahagiaan, makan, minum, dan tidur yang semuanya berasal dari Allah. (Rumi, 2016, hal. 114)
Para waliyullah menganggap Tuhan mereka adalah Sang Kekasih yang jangan sampai hilang dari hadapan mereka, seolah-olah mereka selalu bersama-sama dalam suka dan duka di dunia. Mereka menyadari perpisahan akan memberikan dampak buruk bagi mereka apabila menjauh dari Sang Kekasih, seperti halnya tersesat dalam lumbung dosa berupa maksiat dan perbuatan-perbuatan munkar lainnya. Oleh karena itu, mereka selalu merindukan Sang Kekasih dalam setiap waktu dan tempat mereka berada dalam situasi dan kondisi apapun. Bahkan kerinduan mereka tidak dapat terbendung apabila sering-sering mengingat Sang Kekasih walaupun secara kasat mata belum pernah melihat langsung Allah yang merupakan Sang Kekasih hati mereka.
Seperti halnya seorang wali ketika mendengar ucapan berupa sifat-sifat Allah, yang berarti kita sedang menyebut-menyebut-Nya, maka ia bisa merasa sedih dan mencucurkan air mata, karena dari perkataan seperti ini tercium aroma Sang Kekasih, yang merupakan tujuannya.(Rumi, 2016, hal. 288) Menjadi hal menarik jika kita membahas perkataan Maulana Rumi yang berbunyi, “alangkah indahnya hubungan antara pecinta dan yang dicintainya, tidak ada paksaan di antara mereka berdua. Kalaupun ada paksaan, maka hal itu dilakukan demi yang lain. Semua hal selain cinta adalah haram baginya”.(Rumi, 2016, hal. 212) Akibat sudah mencintai secara mendalam, keinginan kuat untuk menemui Sang Kekasih menjadi keharusan yang tidak bisa ditunda-tunda bagi para waliyullah.
Sebagaimana momentum setiap musim pelaksanaan haji, semua umat Islam pasti selalu merindukan untuk mengunjungi pusat kiblat agama Islam yakni Ka’bah yang berada di Mesjid al-Haram , Makkah al-Mukarramah. Akan tetapi, bagi mereka yang sudah melebur dalam cinta yang sangat mendalam kepada Sang Pemiliki Cinta itu sendiri, pasti menganggap Ka’bah adalah rumah pertemuan istimewanya dengan dan atas kehendak dari Sang Kekasih Yang Maha Agung. Seperti halnya, Semua orang berkata: “kita akan memasuki Ka’bah” yang lainnya, berkata, “Insya Allah” adalah para pecinta Allah, sebab seorang pecinta tidak memandang bahwa dirinyalah yang mampu dan terpilih, melainkan kehendak kekasihnya. Oleh karena itu mereka berkata: “Jika Sang Kasih menghendaki (Insya Allah), aku akan memasukinya.” (Rumi, 2016, hal. 233)
Perlu diingat, “Bucin” yang diajarkan Rumi itu lebih kepada ajaran untuk mencintai secara hakiki Sang Pemiliki Cinta yakni Allah dengan mengorbankan apapun yang dimiliki dari hambanya sebagai bukti cintanya kepada Sang Kekasih (Allah Jalla Jalaluh). Karena pengorbanan jiwa, raga dan harta karena-Nya adalah menjadi landasan pembuktian konkrit dalam “membucinkan” dirinya terhadap Tuhannya dalam setiap keadaan.