World Economic Forum (WEF) tahun 2020 merilis lima belas keterampilan yang dibutuhkan pada 2025 dan dua puluh jenis pekerjaan baru di tahun tersebut. Beberapa keterampilan yang disebutkan adalah: berpikir kritis dan analitis, aktif belajar dan memiliki strategi pembelajaran, menyelesaikan permasalahan kompleks, berpikir analitis dan inovasi, serta kreativitas, originalitas, dan inisiatif. Saya mengambil lima keterampilan untuk digunakan sebagai kerangka dalam pembacaan di sektor pendidikan.
Kita ketahui bersama, kurang lebih mulai tahun 2017 gaung Revolusi Industri Keempat menjadi konsumsi publik di Indonesia, tak terkecuali dalam bidang pendidikan. Era di mana kita semua menghadapi gejolak atas transformasi perubahan yang ligat melesat. Setidak-tidaknya, kita mengerti akan kehadiran disrupsi dalam berbagai hal. Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia melalui buku Era Disrupsi: Peluang dan Tantangan Pendidikan Tinggi Indonesia (2017) memberikan pengertian disrupsi dalam pernyataan berikut:
“Diperkirakan, sistem pendidikan tinggi Indonesia pun akan menghadapi perubahan disruptif—menjungkirbalikkan sistem yang berlaku hingga akhirnya terjadi perubahan mendasar dalam keseluruhan sistem pendidikan kita. Oleh karena itu, Indonesia harus menyempurnakan sistem pendidikan tingginya untuk menjawab tantangan zaman.” (halaman 13).
Penjelasan itu menyiratkan bahwa peran penting pendidikan menjadi kunci bagi transformasi perubahan zaman. Dalam Majalah Basis edisi No. 11-12 Tahun 2017, melalui esai berjudul “Kecerdasan Buatan dan Keributan Beneran”, B. Hari Juliawan meletakkan tiga kunci penting negara dalam menghadapi revolusi industri keempat. Masing-masing berupa: data, algoritma, dan kekuatan pemrograman komputer. Kombinasi ketiganya itulah yang memungkinkan inovasi teknologi, salah satunya berupa kecerdasan buatan.
Selain kecerdasan buatan, periodesasi Revolusi Industri Keempat menyebutkan beberapa istilah lain: Internet of Things (IoT), proses robot otomatis, hingga teknologi nano. Haryatmoko melalui bukunya Jalan Baru Kepemimpinan & Pendidikan: Jawaban atas Tantangan Disruptif-Inovatif (2020) memberi penekanan berupa: Revolusi Industri Keempat mengajak para pemimpin untuk melihat ke depan, tidak lagi didikte oleh mentalitas Revolusi Industri 3.0, yakni merespons dan menyesuaikan dengan tuntutan-tuntutan baru era teknologi digital.
Kecakapan Bermatematika
Yang terkadang luput, jauh dari perhatian ingar-bingar imajinasi perubahan, tak banyak yang mau meneroka bagian kecil dalam pertumbuhan manusia. Salah satunya adalah kecakapan akan matematika. Ini tak terlepas dari friksi yang muncul, alih-alih dalam wacana dimunculkan peluang dalam kemajuan, namun tak menyandarkan pada keperluan mendasar dalam membangun kecakapan. Fakta lain adalah dalam narasi publik matematika belum menjadi hal yang menjadi arus utama di keluarga Indonesia.
Lingkungan keluarga belum sepenuhnya menjadi wahana untuk mengembangkan minat dan bakat anak dalam Ilmu Pengetahuan Dasar. Orangtua masih sangat kurang memberi dorongan agar anak dapat memulai mengaktualisasikan rasa ingin tahu terhadap gejala alam yang ada di sekitar rumah (Bambang Hidayat: 2022, 166). Padahal mengacu pada perubahan global, matematika bersama sains, teknologi, teknik, dan seni menjadi cakupan penting dalam konsep STEAM.
Fakta lain menunjukkan keberadaan matematika perlu bertransformasi sering keberadaan kecerdasan buatan. Matematikawan Inggris, Junaid Mubeen dalam bukunya, Kecerdasan Matematis terjemahan Dedeh Sry Handayani yang diterbitkan Alvabet pada tahun 2022 menyampaikan banyak kebaruan. Di Inggris, kemampuan matematika dasar sudah bukan lagi didasarkan pada kalkulasi, namun meliputi aljabar, mekanika, dan pecahan. Itu memiliki makna bahwa diperlukan tingkatan kemampuan lebih di tengah kemajuan internet dan perkembangan teknologi.
Mubeen menekankan dengan kecerdasan matematis dapat membiasakan pada kemauan berpikir kritis dan memecahkan masalah lebih baik. Senada dengan itu, Iwan Pranoto dalam esai “Setelah Berdansa Bersama Robot” (Kompas, 31/01/2023) menulis: “Oleh karena itu, kemahiran membaca dan bermatematika tetap merupakan prasyarat utama kemajuan karier pekerja. Masalahnya, modal kecakapan dasar ini umumnya diasah sejak usia belia, bahkan banyak yang dipelajari di rumah atau lingkungannya.”
Pernyataan dari Iwan berhubungan dengan kebiasaan warga Indonesia dalam mengasah kemampuan bermatematika, yang mana hanya disandarkan pada aspek pendidikan. Beda kasus ketika dalam pendidikan keluarga sejak kecil telah menjadikan kemampuan matematika dan membaca sebagi sebuah budaya. Artinya, peranan keluarga sangatlah penting dalam memberikan bekal dan dorongan dalam upaya refleksi terhadap perubahan dan perkembangan zaman.
Pendidikan dan Kebijakan Tambahan
Mengacu pada kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat, pendidikan mungkin tidak bisa hanya dijadikan pioner utama dalam sistem masyarakat. Namun, melainkan dari itu butuh sarana lain berupa kebijakan yang mendukung proses bertumbuhnya masyarakat. Bahwa pendidikan tetap penting memberikan pengabdian sebagai tanggung jawab akan keilmuannya. Di sisi lain, dalam transformasi yang ada di dalam masyarakat dibutuhkan sistem yang berhubungan erat dengan kebijakan.
Mulai tahun 2021, Kementerian Komunikasi dan Informatika mencanangkan program literasi digital sebagai upaya pemerintah dalam menyiapkan sumber daya manusia terhadap transformasi digital. Konsep pendampingan dan pelatihan berjenjang dengan memetakan sasaran yang jelas sejatinya bisa diadopsi dan dikembangkan pada aspek pendidikan, utamanya berhubungan dengan kecakapan maupun keterampilan yang mesti dikuasai saat ini dengan mendasarkan pada aspek STEAM.
Kementerian pendidikan dapat bersinergi misalkan dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi yang memiliki alokasi dana desa, serta pihak lain bisa menyusun dalam keterlibatan itu. Sebuah pogram ada keterserapan anggaran yang jelas dan membangun perencanaan yang matang. Sebagai bagian usaha, tentu ini menarik diwacanakan, apalagi mengingat nasib di kalangan desa ataupun wilayah pinggiran terkadang rentan mendapati kesenjangan atas perkembangan ilmu dan pengetahuan yang berkembang.
Imajinasi perkembangan zaman seperti halnya kecerdasan buatan tidak bisa hanya menjadi wacana di kalangan akademik semata maupun menjadi bahasa politik penuh jargon oleh para pejabat. Walakin, diperlukan sikap politik dalam bentuk kebijakan untuk mengurai masalah maupun tantangan yang ada di akar rumput. Dengan didasari pada kolaborasi maupun kerja sama antara satu pihak dengan lainnya, barangkali klaim bonus demografi 2025 dapat kita sambut dengan riang gembira.[]