Pada saat kekhawatiran muncul akan menguatnya pengaruh gawai di berbagai kalangan, buku perlu diposisikan ulang dalam zaman banyak keajaiban. Tak terkecuali bagi anak-anak. Buku senyatanya dapat menjadi berperan besar dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak.
Berbagai analisis menunjukkan, teknologi digital mungkin semakin menghambat daya tarik terhadap minat membaca buku yang cetak. Hal itu ditengarai dengan sarana yang dimunculkan dari teknologi digital pada aras audiovisual. Produksi konten-konten dalam wahana dunia digital memang semakin menarik dalam banyak segi, gambar maupun komposisi warnanya.
Namun, kalau kita pahami secara mendalam, ada semacam tantangan bagi generasi digital saat ini. Salah satunya kebudayaan muncul berupa gairah membaca audiovisual. Berangkat dari kasus itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indnesia 1985-1993, Fuad Hasan, pernah menulis esai berjudul Catatan Umum Perihal Buku Anak. Tulisan termaktub dalam buku Wacana Pencerahan Bangsa (1999).
Agaknya ia tak mau menanggung beban lebih berat dari zaman, dengan memberikan sedikit tinggalan. Ia menaruh sedikit curiga terhadap kebaruan-kebaruan dalam lanskap dunia digital. Pernyatannya: “Selain tidak banyak menuntut kegiatan fungsi imajinasi, menonton bisa dilakukan secara santai dan dengan kenyamanan rekreatif, bahkan sambil bermalas-malasan sekalipun.”
Kebudayaan
Ungkapan itu membawa kita pada aras situasi sekarang. Mula-mula, tidak perlu langsung mengutuk mana yang benar dan salah. Toh, perjalanan dalam kehidupan membawa konsekuensi-konsekuensi. Tentu saja, secara mendasar perlu mengetengahkan faktor kebudayaan. Gairah dan kasmaran terhadap membaca tak bisa dibentuk secara instan, tetapi berdasarkan proses. Proses itu didasarkan kebiasaan, ada intervensi dalam membangun pola kehidupan.
Latihan-latihan terjalankan tersebut menjadi akumulasi relasi dari penulis, penerbitan buku, distributor, dan tangan pembaca. Mengacu pendapat salah seorang pengamat pendidikan, Anggi Afriansyah (2022), perlunya mengatasi kesenjangan yang muncul terhadap konsumsi buku. Sebab, buku belum tentu menjadi kebutuhan pokok dan bisa saja menunda pembelian karena desakan kebutuhan lain. Di sanalah, ia menekankan perlunya dorongan negara dalam membantu distribusi buku berkualitas ke arena pendidikan.
Dalam mengurai itu, kiranya koneksi terhadirkan dalam teknologi secara keseluruhan telah mendukung kehadiran buku dalam bentuk digital. Namun, masalahnya adalah kekhawatiran atas dampak panjang teknologi digital. Pembahasan itu dikemukakan Nicholas Carr (2010) dalam bukunya The Shallows: Internet Mendangkalkan Cara Berpikir Kita?.
Carr menyampaikan pikirannya perihal buku dalam konteks revolusi teknologi internet. Perubahan dalam cara pandang membaca dan menulis perlahan dan pasti. Praktik membaca secara mendalam mudah terdistrak dengan godaan lain, berlari ke laman untuk menemui konten-konten yang lebih menyenangkan. Ia menekankan membaca yang membutuhkan kesunyian sebagai bagian makna dan pikiran secara perlahan akan hilang.
Pola Pikir
Pendapat itu sejalan dengan Screen Time 2020 susunan Eyesafe dan Healthcare, yang menunjukkan buku bentuk kertas masih lebih efektif ketimbang dalam layar. Buku cetak memuat lema yang menghadirkan percakapan maupun dialog dengan semesta. Kalangan orang tua menceritakan kepada anak dan kemudian muncul timbal balik. Tiap denyut percakapan tersebut setidaknya terus tergaung akan mengapa dan bagaimana. Kesemuanya masuk dalam jalan pencarian akan tabir demi tabir kehidupan.
Buku menjadi sarana dialog dalam mengeja, memahami, dan mendalami segala hal. Kesangsian itu berwujud rasa takjub saat menemui gambar maupun penjelasan yang menjadi pengalaman tak terkira. Pengalaman itulah yang membawa tiap individu melalang buana dalam samudra ilmu pengetahuan. Buku membawa imajinasi dan terus mengolah nalar.
Para pakar terkemuka dalam setiap masanya menjadi sosok penting dalam memancing gairah berpengetahuan. Andi Hakim Nasoetion (1992) menerbitkan sebuah buku berjudul Panduan Berpikir dan Meneliti Secara Ilmiah bagi Remaja. Buku tak lain adalah sarana untuk memancing ketertarikan anak-anak remaja dalam membuka diri, yang mengasah minat dan bakat akan proses penemuan dengan segala tahapannya.
Berangkat dari kondisi itu, tentu akan menjadi pekerjaan berat dalam mengurai dan mencari solusi dalam produksi pengetahuan berbentuk buku. Kalau kita amati, buku cetak masih bisa menjadi harapan bagi anak-anak. Artinya, di dalamnya didukung dengan gambar dan penjelasan yang terus mengajak mereka untuk menimbulkan ketertarikan. Perihal muatan disesuaikan dengan perkembangan dan perubahan zaman. Lebih dari itu, buku menjadi teman dalam petualangan imajinasi.
Di luar itu, tentu saja kita sepakat, pola pengasuhan menjadi hal penting. Kebiasaan akan membentuk sebuah kebudayaan yang berkelanjutan. Perhatian orang tua terhadap perkembangan minat baca anak menjadi pertaruhan. Sebab, bisa saja rasa menyerah diri pengasuhan anak kepada teknologi digital dikarenakan berangkat karena kelumrahan dan menganggap internet sudah menyediakan semuanya. Padahal tidak demikian. Ada tugas terus menerus dalam melakukan kemampuan memilah dan memilih.[]