Perihal kemampuan membaca, matematika, dan sains di akhir tahun ini menjadi satu sorotan penting di tengah rangkaian kampanye menuju pemilihan umum 2024. Apa pasal? Tidak lain adalah dengan diumumkannya hasil Programme for International Student Assesment (PISA) pada 5 Desember 2023. Program itu diselenggarakan oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), satu lembaga di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sejak tahun 2000.
Bagi Indonesia, meski secara peringkat mendapati kenaikan, namun bila dibandingkan dengan hasil tahun 2018 tiap bidang mengalami penurunan. Membaca (359) mengalami penurunan 12 poin, matematika (366) dengan penurunan sebesar 13 poin, serta sains (383) dengan penurunan 13 poin. Tentunya, data tersebut, di hadapan para pakar pendidikan langsung menjadi kerangka refleksi untuk sistem pendidikan nasional secara umum.
Namun, kita ingin mendudukkan perkara ini agar jelas maksudnya. Berangkat dari pandemi Covid-19, ada dua fakta yang mestinya kita sadari. Pertama adalah terjadinya kehilangan pembelajaran (learning loss). Situasi wabah yang merebak menjadikan patahnya beberapa sendi-sendi dalam pendidikan. Anak-anak terdampak sedemikian rupa. Pada situasi itu, pemerintah putar otak dalam mengupayakan sistem pembelajaran untuk keadaan darurat.
Hal tersebut, yang bagi saya adalah menyebabkan faktor kedua, yakni mencuatnya keterhubungan manusia dengan dunia digital. Ketika wabah menjadikan tempat paling aman adalah rumah, banyak kegiatan yang harus dilakukan secara jarak jauh. Pendidikan, ekonomi, sosialisasi, hingga pertemuan. Tanpa disadari, di sana bila merujuk pada perubahan yang terjadi ada sebuah kebiasaan baru, yang sangat berbeda dari sebelumnya.
Bila kemudian kita dasarkan pada aspek pendidikan, di sanalah terjadi proses perubahan kebudayaan. Proses keterkaitan dengan media digital itu yang sedemikian rupa membentuk sikap, ketubuhan, dan mentalitas baik para murid maupun guru. Akhirnya, kita tahu bahwa relasi mendasar dari perubahan yang terjadi adalah terhadap gawai. Bagaimana efektivitas gawai, katakanlah bagi kalangan pendidikan—baik pada murid maupun guru?
Ini menarik. Hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan pengguna internet Indonesia dalam periode 2022 – 2023 sebesar 215,63 juta. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 menjelaskan pengguna internet berdasarkan usia. Paling banyak di rentang usia produktif, 25 – 49 tahun sebesar 47,64%. Untuk rentang usia 13 – 15 tahun sebesar 6,77%. Kita ketahui, PISA didasarkan pada tes untuk anak kelompok usia 15 tahun.
Hal yang perlu diantisipasi adalah bagaimana pengasuhan digital yang dialami anak-anak. Itu berhubungan dengan waktu layar (screen time). Bisa dibayangkan, bila rata-rata sehari berjumlah 8 jam. Sedangkan akumulasi dalam setahun, waktu berhubungan dengan internet sebesar 121 hari. Situasi itu lazim menggambarkan di kalangan Gen Z maupun Post Gen Z. Ada kekhawatiran bagaimana keterhubungan digital justru rentan mengalami masalah dalam keterhubungan terhadap teks.
Tidak mengherankan saat cendekiawan Indonesia yang saat ini menjadi pengajar di Universitas Jyväskylä, Finlandia, Ratih D Adiputri kerap bercerita pengalamannya. Ya, kita tahu, Finlandia adalah negara nomor wahid di dunia mengenai sektor pendidikannya. Salah satu buku penting garapannya berjudul Sistem Pendidikan Finlandia: Catatan dan pengalaman Seorang Ibu (2019).
Ratih menguraikan rahasia Finlandia dalam meraih kesuksesan tes PISA. Di bidang matematika, yang dijadikan mendasar adalah kemampuan berpikir logis dalam memecahkan masalah. Itu berhubungan dengan aspek sains, yang didasari pada praktik maupun penerapan dalam sehari-hari. Dari pernyataan itu jelas bahwa tes bukan didasarkan hafalan yang memaksa belajar sebelumnya, namun terletak pada proses. Sains yang dialami dalam kesehariannya.
Sementara pada aspek bahasa, yang ditekankan berupa pemahaman teks, baik berupa kesenangan membaca, strategi meringkas isi cerita, memahami dan mengingat isi, variasi materi bacaan, strategi pengawasan, latar belakang sosial, strategi elaborasi cerita, dan tingkat aktivitas membaca internet.
Kalakian kita tahu bahwa dalam derap perkembangan teknologi yang menyajikan berbagai terobosan baru, seperti halnya: kecerdasan buatan, teknologi nano, internet of things, blockchain, dan sebagainya—dalam kerangka keilmuan sebagaimana yang menjadi acuan PISA terus relevan. Artinya keilmuan tersebut dalam perkembangan zaman senantiasa dituntut untuk dikembangkan atau dalam bahasa lain menuju lebih kompleks.
Di aspek matematika, gagasan itu salah satunya diajukan oleh matematikawan Inggris, Junaid Mubeen. Karyanya dalam bahasa Indoonesia hasil terjemahan Dedeh Sry Handayani dengan judul Kecerdasan Matematis (2022). Kecakapan matematika semakin kompleks seiring perkembangan teknologi. Dengan artian, itu juga berdampak pada tataran pengembangan konsep matematika dalam lanskap pendidikan.
Terhadap sains pun tentu sama. Pola pembelajaran sains di sekolah katakanlah—jika masih terjebak dalam konsep hafalan saja akan bermasalah. Sains tentu memerlukan integrasi pada proses yang bersandar pada metode ilmiah. Ini sebenarnya menjadi poin mendasar, bahwa sains dan matematika membutuhkan paradigma yang menghubungkan pada lingkungan sekitar.
Artinya, pada abad XXI ini yang dibutuhkan adalah kolaborasi. Jika PISA dengan skor tertinggi pun, tapi masih dipahami sebagai persaingan, tentu itu adalah sebuah masalah tragis. Kemampuan membaca, matematika, dan sains memang membutuhkan sebuah sistem yang terperinci, namun lebih dari itu adalah diperlukan kemauan bersama sebagai manifestasi atas apa yang pernah diungkap oleh Ki Hadjar Dewantara, “Pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup. Pendidikan itu sendiri adalah kehidupan.”[]