Lanskap perkembangan media terus menyajikan peran dan fungsi dalam tataran ikatan sosial. Ia menjadi ruang kolektif sebagai saluran dalam membangun komunikasi, keperluan demokrasi, eksplorasi pengetahuan, hingga citra keberagaman yang menyatukan segala perbedaan tiap manusia. Dapat dikatakan, setidaknya sejak dekade abad ke-XX, media dengan pergerakannya baik itu berwujud cetak maupun digital hilir-mudik terus menjadi bagian penting dalam kehidupan.
Ia menjadi napas akan kebebasan berekspresi, terbukanya kritik, dan bagian dalam mewujudkan martabat manusia. Hanya saja, tersibak di baliknya ada sederet permasalahan yang menjadi tanggung jawab bersama. Satu hal itu berupa perwujudan kehadiran media yang sensitif terhadap isu jender. Masalah itu panjang, pelik, dan kompleks yang membuat media tak dapat netral dari kepentingan kuasa.
Harian Kompas (07/02/2022) menampilkan sebuah liputan berjudul Media Berbasis Klik Tak Sensitif Jender. Terbaca dengan seksama, kita menemukan beberapa informasi. Kecenderungan media pada situasi “clickbait” meminggirkan keberadaan perempuan dalam dunia digital. Para awak redaksi media melakukan kerja jurnalisme pada beberapa kasus menyangkut perempuan cenderung eksploitatif dengan kepentingan sensasi. Itu tak terlepas bagaimana media di situasi saat ini lebih mementingkan jumlah klik.
Kita mengenal Sindhunata dalam beberapa ruang. Selain masih rutin dalam menyajikan cerita bersambung Anak Bajang Mengayuh Bulan di Harian Kompas, kita dapat menemukan berbagai wujud tulisan. Terhadap isu perempuan dalam media, kita diingatkan terhadap sebuah bukunya berjudul Belajar Jurnalistik dari Humanisme Kompas. Buku diterbitkan Gramedia pada 2019 itu sedikit banyak merekam perjalanan kariernya sebagai seorang jurnalis.
Pengarusutamaan jender dalam media baginya adalah bagian dari kritik kekuasaan. Agaknya ia tekankan lewat pernyataaannya dalam buku itu: “Dan media berperspektif gender ini harus selalu peka, jangan menjadikan perempuan sebagai obyek dan korban pemberitaannya, tapi sebagai agen, yang bersama media sendiri dapat bersama-sama menciptakan sistem yang berkeadilan terhadap siapa saja, terhadap laki-laki maupun perempuan.”
Feminisme dan Media
Keterpasungan kebebasan dan peran perempuan itu membutuhkan sebuah upaya bersama agar tidak ada ketimpangan dan lahir kondisi adil gender. Parwati Soepangat (1988) menandaskan perlunya skema pendidikan secara menyeluruh yang merujuk pada gerakan feminis di berbagai bidang. Tujuan gerakan yang dimaksudkan untuk menyadari secara mendalam arti wanita. Dari sana, feminisme masuk dalam berbagai bidang, baik itu keagamaan, ilmu pengetahuan, politik, sosial, hingga budaya.
Kaitan antara perempuan dan teknologi, ada hal menarik dalam uraian Widjajanti M. Santoso (2016) berhubungan program yang sensitif jender. Dimana dengan melibatkan keberadaan anggaran yang responsif gender (ARG) sebagai kegiatan luas dalam penyediaan progam baik itu kepada laki-laki maupun perempuan tanpa terkecuali. Mekanisme tersebut kemudian menjadi landasan penting akan jender menjadi bagian perencanaan terhadap implikasi dari anggaran.
Menilik sitasi itu, media perlu memperhatikan dan mempertimbangkan utamanya dengan keberadaan tiap-tiap perusahaan media dalam membuka ruang bagi pengarusutamaan jender. Selain bagaimana lebih menghormati perempuan dalam narasi media dan tidak bias, media bisa memulai dengan langkah akomodasi keterlibatan partisipasi maupun peran perempuan dengan menyediakan ruang bagi mereka. Ini sebuah konsep yang dapat direalisasikan.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada tahun 2015 merilis sebuah buku berjudul Indikator Sensitif Gender untuk Media. Kiranya dengan skema penelitian dan uraian dalam buku itu sebagai modal penting dalam melakukan pendekatan dalam memahami dan merincikan berbagai masalah berhubungan ketimpangan dalam media. Kita menyimak, langkah itu dalam skala luas memanglah sebagai sumbangan dalam upaya mendorong kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan dalam berbagai jenis media.
Jender dan Konsensus
Sensitivitas jender mutlak membutuhkan berbagai perangkat. Itu terwakili atas apa yang disebut dengan metodologi. Metodologi tersebut sebagai landasan konsep untuk merumuskan bagaimana dan mengapa tataran struktur sosial masyarakat perlu diubah maupun dikonstruksi atas paradigma dominan mendasar. Oleh sebab itu, upaya menuju ke sana sangatlah mungkin berbenturan dengan kondisi politik dengan kebijakan yang ada. Kesadaran awal perlu dimunculkan tak sebatas pada analogi lawan dan kawan.
Melainkan dari itu, kondisi nyata terjadi. Konsensus tersebut salah satunya saat dimana dorongan untuk dibahas dan disahkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjadi perhatian di tengah deretan kasus yang menyangkut martabat perempuan. Berbagai kasus tersibak seakan menjadi puncak gunung es dalam penggambaran mendasar bagaimana arus utama jender dalam kehidupan bernegara maupun berbangsa ini belumlah selelesai. Akhirnya, satu hal menjadi pelajaran berupa kesetaraan menjadi jalan panjang nan berliku.
Mengingat situasi saat ini, Indonesia memikul beban dalam realisasi kesepakatan akan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) untuk 2015-2030. Kesetaraan Gender menjadi satu tujuan dari SDGs. Kaitannya dengan media, dimaksudkan dengan peningkatan kemampuan teknologi informasi dsn komunikasi sebagai upaya dalam meningkatkan peran perempuan. Dengan itu, tak lain adalah mencegah menhuatnya diskriminasi dan pelemahan kelompok perempuan.
Di sini tentu saja, peran jurnalisme menjadi salah satu garda terdepan dalam membangun budaya kehidupan dengan pengarusutamaan jender tersebut. Humanisme itu lah menjadi prinsip mendasar sebagaimana digambarkan oleh Sindhunata. Bagaimana memanusiakan manusia di atas segalanya. Dimana itu kemudian menjadikan kerja jurnalisme dengan komitmen dan kestiaan pada prinsip kebenaran, adil, pengarusutamaan asas kesetaraan, tidak mengutamakan rating semata, serta seimbang (moderat). Demikian.[]