Polda Metro Jaya telah telah mengadakan Silaturahmi Nasional Lintas Agama pada (27/12) di Jakarta dengan tema “Memperkokoh Kesatuan dan Persatuan Bangsa dalam Kebhinekaan”. Silaturahmi ini dihadiri oleh tokoh Muhammadiyah, NU dan Habib Luthfi Bin Yahya yang merupakan Rais Am (pemimpin tertinggi) sebuah organisasi tarekat-tarekat mu’tabarah di Indonesia (tarekat yang genealoginya berambung hingga Nabi Muhammad saw).
Organisasi kumpulan para mursyid tarekat ini dikenal sebagai JATMAN bahkan pada tahun 2019 lalu, Habib Luthfi terpilih sebagai Ketua Forum Sufi Sedunia pada Konferensi Forum Sufi Sedunia di Pekalongan. Selain sebagai pemimpin organisasi tarekat-tarekat di Indonesia, Habib adalah anggota Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden) yang dipilih oleh Jokowi untuk bidang Ketahanan Nasional. Baru-baru ini juga, Kemenag RI meminta Habib untuk menjadi penasihatnya. Habib juga tercatat pernah menjadi penasihat Brimob.
Habib memang terkenal dengan spirit nasionalismenya. Oleh karena itu dalam berbagai forum Habib selalu mengkampanyekan pentingnya bela negara di mana spirit cinta tanah air atau ‘hubbul wathon’ tidak bertentangan dengan agama bahkan gerakan tarekat. Bahkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Jumrotul Inayah (2016: 71) berjudul “Nasionalisme Mahabbah Arrasul: Studi Pemikiran Nasionalisme Habib Muhammad Luthfi Bin Yahya 1960 M – 2016 M”, nasioinalisme adalah bahasan utama sekaligus pembuka dalam berbagai ceramah Habib Luthfi, baik ceramah dalam rangka Maulid Nabi atau pengajian thariqah.
Penulis melihat bahwa upaya-upaya Habib Luthfi dalam menintegrasikan antara negara dan agama (tarekat) adalah upaya yang didasari oleh sebuah kesadaran bahwa tarekat mapu berkontribusi dalam konteks sosialnya. Peran sosial gerakan tarekat ini sesuai dengan hasil penelitian tentang perkembangan gerakan tarekat yang mengungkapkan bahwa tarekat memegang peranan penting dalam memperkuat posisi Islam di negara dan masyarakat, serta perkembangan lingkungan masyarakat yang lebih luas.
Beberapa peran tersebut antara lain pertama, peran tarekat sebagai faktor pembentuk dan modus fungsi negara. Hal ini dibuktikan dengan pentingnya peran ulama sufi sebagai penasehat para penguasa dan dewan penasihat pemerintah yang menduduki posisi penting di pusat pemerintahan yang semakin memperkuat peran para sufi dalam membentuk corak negara karena peran mereka sebagai legitimator negara pada kekuasaan politik para sultan seperti di Kesultanan Aceh dan Kesultanan Buton. Kedua, peran tarekat dalam mengembangkan kehidupan sosial dan ekonomi masayarakat dan ketiga, sebagai benteng pertahanan penjajahan Eropa (Meuleman, 1994: 31-35; Trimingham, 1971).
Tarekat Naqsyabandiyah adalah contoh bagaimana kaum tarekat menjalin hubungannya dengan penguasa atau raja. DI Indonesia misalnya, Syekh Ismail Minangkabawi yang merupakan khalifah Naqsyabandiyyah di Makkah Ketika Kembali ke Nusantara pada tahun 1850, menjadi penasehat raja Riau, Raja Ali. Kemudian setelah Syekh Ismail pulang ke Makkah, Raja Abdullah yang merupakan adik Raja Ali, menjadi khalifahnya. Dan Raja Abdullah kemudian menggantikan kakakya, Raja Ali menjadi raj Riau. Fenomena para raja dan penguasa yang menjadi murid para syaikh tarekat juga terjadi di Pontianak. Syekh Muhammad Shalih dan putranya, Abdullah Al-Zawawi pernah menginap di istana Pontianak dan Kutai. Di sana mereka mengajar para keluarga raja dan para pamong-pamongnya. Di Jawa, para guru tarekat Naqsyabandiyyah terlihat gagal merangkul raja-raja. Meskipun begitu, beberapa bupati menjadi pengikut setianya.
Upaya para guru tarekat dalam mendekati para raja bukan tanpa alasan. Dalam studi gerakan sosial, Bahan material dan non-material adalah dua hal yang menentukan kesuksesan mobilisasi sumber daya. Bahan material meliputi uang, organisasi, tenaga kerja, alat komunikasi, dan media massa. Bahan non-material dalam mobilisasi sumber daya meliputi hubungan sosial, jaringan, hubungan pribadi, perhatian public, otoritas, komitmen moral, dan solidaritas. Sementara faktor terpenting lainnya adalah peran pemimpin dan proses perekrutan (Fuchs, 2006).
Menarik untuk dicatat, bahwa salah seorang ulama yang kontra dengan tarekat memberikan komentar sinis terhadap Syekh Ismail Mingangkabawi terkait keberhasilannya mengajak para penguasa di Riau untuk bertarekat, “Dan itu Haji Ismail sudah balik kembali ke negeri Makkah dengan bawa uang terlalu banyak adanya”. (Utsman bin ‘Aqil bin Yahya Al-‘Alawi, 1889: 9). Komentar serupa sering saya dengar terkait kedekatan ulama dengan para penguasa. Dan memang, dari pengamatan yang saya lakukan, jarang saya bertemu kiai atau guru tarekat yang miskin.
Di sisi lain, upaya para guru atau mursyid tarekat mendekati para penguasa adalah untuk mempengaruhi sikap keberagamaan mereka. Catatan Belanda menyebutkan bahwa Riau, Pontianak, Deli dan Langkat adalah wilayah yang sangat menaati dan menerapkan syariat. Bahkan di Cianjur, pada tahun 1885-an, masjid tiba-tiba ramai dikunjungi masyarakatnya setelah bupatinya masuk tarekat Naqsyabandiyah. Di Kutai, di mana budaya masyarakatnya masih tercampur dengan budaya non-islam, Syaikh Abdullah Al-Zawawi menganjurkan kalangan istana untuk berhenti minum minuman keras (Bruinessen, 2012: 463-464).
Dalam studi gerakan sosial, upaya para mursyid tarekat ini merupakan upaya pemimpin gerakan sosial untuk mengembangkan dan mempertahankan eksistensi gerakan sosialnya. Dalam studi gerakan sosial, pemimpin dipahami sebagai fasilitator gerakan sosial dengan mengidentifikasi dan mendefinisikan tujuan, menerapkan strategi dengan mengurangi biaya kelompok dan memanfaatkan peluang untuk menciptakan tindakan kolektif pemimpin dalam menumbuhkan ide-de dasar gerakan. Kemudian, pemimpin merancang metode yang tepat untuk mengkampanyekan dan menyemaikan ide-ide sehingga sesorang atau orang banyak dapat menerimanya dan terpengaruh untuk bertindak untuk mereka. Dengan demikian, pemimpin dapat dipahami dalam konteks gerakan sosial sebagai teori dan propaganda (Tridirco, 2012: 50).