Saat menulis biografi KH A Suyuthi Abdul Qadir Guyangan, Saya mendapatkan banyak informasi. Salah satu yang Berharga adalah guyupnya para Ulama dalam berkhidmah di NU, Organisasi yang didirikan Kiai Hasyim Asy’ari.
Saat menghadiri Muktamar NU di Semarang tahun 1979, dalam satu Mobil ada KH A Suyuthi Abdul Qadir, KH Muhammadun Abdul Hadi APIK Kajen, KH Abdullah Zain Salam, KH MA Sahal Mahfudh, KH Ahmad Nafi’ Abdillah, KH Abdul Hadi Kurdi, KH Salim Suyuthi, Dan KH. Sukahar Sirahan.
Tempat Musyawarah berganti-ganti. Mulai dari Guyangan di ndalem KH A Suyuthi Abdul Qadir, ndalem KH Abdullah Zain Salam, ndalem KH MA Sahal Mahfudh, ndalem KH Muhammadun Abdul Hadi, Dan lain-lain.
Ulama-ulama sepuh tersebut rutin menghadiri Bahtsul Masail Bulanan yang diadakan MWCNU Margoyoso yang tempatnya sering di Masjid Kajen. Saat itu belum Ada Bahtsul Masail masing-masing MWC, sehingga Bahtsul Masail Margoyoso menjadi Bahtsul Masail yang dihadiri ulama-ulama Pati. KH Muhammadun Abdul Hadi yang menjadi moderator Bahtsul Masail. Mbah Madun, panggilan akrabnya, menjadi sosok yang luar biasa ketika memimpin Bahtsul Masail.
Beliau dikenal sebagai Pakar fiqh, ahli muthalaah, Dan ketika Ada masalah langsung menunjuk kepada nama kitab Dan nomor halamannya. Beliau hafal sehingga bisa menunjukkan sampai halaman kitab.
KH A Suyuthi Abdul Qadir Dan KH Abdullah Zain Salam lebih banyak menunggu sampai akhir. Beliau berdua lebih banyak sukut (diam). Saat saat mendesak saja beliau berdua menyampaikan pemikiran (dawuh). KH Muhammadun Pondowan biasanya hadir dalam Bahtsul Masail saat haul Syaikh Ahmad Mutamakkin pada bulan Muharram di Masjid Kajen.
Namun, kehadiran beliau berdua menjadikan forum Bahtsul Masail menjadi berkah, berbobot, Dan lebih legitimate di tengah masyarakat. Peserta aktif dalam forum Bahtsul Masail saat itu antara lain: KH MA Sahal Mahfudh, KH Sholeh Al Hafidh (menantu Kiai Suyuthi), KH Duri Nawawi, KH Ahmad Fayumi Munji, KH Muzammil Thohir, KH Ma’mun Muzayyin, KH Abdullah Rifai, KH Samiun Jazuli, KH Abdul Hadi Kurdi, KH Abdul Hamid Sambilawang, KH Zuhdi Abdul Manan Kayen (santri Kiai Muhammadun Pondowan), Dan lain-lain.
Ulama-ulama se Kabupaten Pati, termasuk murid-murid Kiai Suyuthi, aktif. Ulama-ulama sepuh hadir dan memberikan ruang aktualisasi potensi kepada kader-kader Muda untuk mengembangkan ilmu dalam rangka menjawab persoalan-persoalan yang terjadi di tengah masyarakat.
Saat Kiai Suyuthi sakit, maka para Ulama tersebut bergegas membesuknya. Mereka guyup. Ada ikatan Batin antar mereka. Komunikasi Tidak hanya secara fisik, tapi juga non fisik. Tidak Ada persaingan, merasa superior, saling menjegal, Dan hal-hal negatif lainnya. Ketika Kiai Sahal membesuk Kiai Suyuthi di ndalem Kiai Suyuthi saat sakit, Kiai Sahal Tidak Kuasa menahan air Mata. Beliau menangis.
Semua menampilkan akhlak agung yang layak diteladani. Tawadlu’ (rendah hati) sangat menonjol dalam perilaku mereka. Ketika ada rapat di Guyangan, Kiai Suyuthi memohon KH Abdullah Zain Salam untuk memimpin doa, tapi Mbah Dullah Tidak kerso. Akhirnya Kiai Suyuthi yang memimpin doa. Ketika Mbah Dullah diminta menjadi imam shalat di Masjid Guyangan, beliau Tidak kerso, karena menunggu Kiai Suyuthi sebagai imam.
Saat dikabari wafatnya Kiai Suyuthi, Kiai Sahal meskipun dalam keadaan sakit langsung bangun. Pada Malam Hari Kiai Sahal Dan KH Abdullah Zain Salam langsung berangkat ta’ziyah ke Guyangan. Pagi harinya beliau berdua kembali ke Guyangan untuk menghadiri pemakaman Kiai Suyuthi.
Tebuireng Pusat Kaderisasi
Salah satu titik temu Ulama Pati adalah sanad ilmu. Sanad ilmu ulama-ulama Pati banyak dari Tebuireng di bawah bimbingan Hadlratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari. KH Hasyim ini Salah satu gurunya adalah Syaikh Chalil Bangkalan Madura. Menurut sumber seperti yang disampaikan KH Ahmad Zakki Fuad Abdillah, Kiai Hasyim ketika di Syaikh Chalil ini bareng dengan Kiai Abdussalam Kajen (Pendiri PIM).
Hal ini diperkuat dengan kisah yang disampaikan Kiai Muadz Thohir bahwa ketika Kiai Hasyim di antar Kiai Thohir Nawawi ke rumah Kiai Abdussalam, Kiai Hasyim menangis melihat Kiai Abdussalam masih bisa mengajar anak-anak, meskipun ilmunya tinggi. Kiai Abdussalam pernah mengajar Syarah Ibnu Aqil ala Alfiyyah Ibnu Malik dari Awal sampai akhir Tidak melihat isinya. Artinya beliau hafal.
KH Mahfudh Salam, KH A Suyuthi Abdul Qadir, KH Muhammadun Abdul Hadi, KH Abdullah Zain Salam, KH Thohir Nawawi, KH Duri Nawawi, KH Tamyiz, Dan lain-lain adalah alumni Tebuireng.
KH A Suyuthi sangat kagum kepada KH Mahfudh Salam. Beliau diberi hadiah kitab Ta’liqat Ala Mandhumati Syaikh Abdullah bin Yasin Pasuruan karya Kiai Hasyim Asy’ari oleh KH Mahfudh Salam ketika mondok di Tebuireng. KH Mahfudh Salam ketika di Tebuireng sudah menjadi guru karena Kiai Hasyim tahu Kiai Mahfudh baru pulang dari Makkah dengan membawa ilmu yang matang.
Menurut KH Samiun Jazuli, Kiai Suyuthi pernah menjadi lurah (Ketua Pondok) ketika belajar di Tebuireng. Kiai Suyuthi belajar di Tebuireng Dua Kali. Tahun 1924-1926 sebelum ke Mekah Dan 1933-1937 setelah dari Mekah. Di Tebuireng ini Kiai Suyuthi bertemu dengan Kiai Muhammadun Abdul Hadi.
Kiai Suyuthi pasca dari Mekah sebagaimana KH Mahfudh Salam juga menjadi guru ketika di Tebuireng. Kiai Hasyim dikenal sebagai sosok pencari bakat ulung santri-santrinya. Beliau Punya halaqah yang hanya diisi santri-santri senior. KH Abdul Wahab Hazbullah, KH Bisyri Syansuri, KH Mahfudh Salam, KH Arwani Amin Kudus, Dan KH Abdul Karim Lirboyo adalah sebagian santri senior tersebut.
Kiai Suyuthi menjadi Salah satu Kader Kiai Hasyim Asy’ari. Bahkan, Kiai Hasyim Punya pesan khusus kepada Kiai Suyuthi “Thi, nek Dadi Kiai, siap mlarat” Thi, jika jadi Kiai, siap miskin. Artinya, jadi Kiai harus siap miskin dalam pengertian siap berkorban jiwa, raga, Dan harta Demi perjuangan Islam Dan Tidak tamak harta orang lain.
Alaqah Bathiniyah
Nilai-nilai sufistik selalu menghiasi perilaku para Ulama Pati. Mereka sosok yang mendalam ilmu agamanya (Tafaqquh Fiddin), namun perilakunya mencerminkan nilai-nilai Sufi. Intensitas bermunajat kepada Allah membuat hati mereka bersatu.
Satu dengan yang lain saling menghormati, memuliakan, Dan menempatkan diri sesuai tempatnya masing-masing. Ikatan Batin yang kuat membuat mereka saling memahami Dan merasakan satu dengan yang lain.
Mereka justru saling istifadah (mengambil faedah) ketika ketemu karena mereka sosok yang tawadlu’ sehingga ilmu bisa masuk kapanpun Dan dimanapun. Mereka merasa bodoh sehingga terus belajar kapanpun.
Dalam Hal jabatan, mereka Tidak rebutan maju, tapi rebutan mundur. Jabatan adalah amanah yang tidak boleh dicari. Amanah diberikan kepada mereka yang lebih berhak menerima karena ilmu Dan akhlaknya. Ketika diberi amanah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dengan Menjaga kekompakan.
Sungguh mulia akhlak para Ulama. Kedalaman ilmunya bersanding dengan kemulian budinya sehingga ucapan Dan perilakunya menjadi cermin para santri, masyarakat Dan bangsa ini di tengah Mahalnya Keteladanan. Semoga Kita mampu meneladaninya, Amin. (RM)