Pada April 1947, delegasi Republik Indonesia yang dipimpin H Agus Salim tiba di Kairo guna meyakinkan pemerintah Mesir untuk mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Selang dua bulan, mereka berhasil mengantongi pengakuan legal pertama atas Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat.
Kesuksesan misi diplomatik ini tidak dapat dipisahkan dari kesadaran, simpati, dan dukungan masyarakat Mesir dan negara Arab lainnya terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Di balik semua ini ada sosok Muhammad Asad Shahab (1910-2001) dengan perannya dalam mengabarkan perjuangan kemerdekaan Indonesia di Timur Tengah. Di tangan Asad, bahasa Arab menjadi bahasa perjuangan dekolonisasi dan penegasan kebangsaan Indonesia.
Nama Asad mungkin asing di telinga banyak orang. Perannya dalam sejarah nasional belum banyak diperbincangkan jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh nasional keturunan Arab lainnya, seperti AR Baswedan, Hamid Algadrie, dan H Mutahar.
Dalam upaya memperkenalkan sejarah perjuangan Asad, Menara Study & Research Center bersama Pusat Kajian Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia menggelar seminar bertajuk Diplomasi Pers Asad Shahab dalam Kemerdekaan Indonesia, Rabu, 28 November 2018.
Seminar tersebut mengangkat peran Asad sebagai pejuang kemerdekaan dan salah seorang tokoh pelopor pers nasional.
Muhammad Asad Shahab lahir di Jakarta pada 23 September 1910. Ayahnya, Ali Ahmad Shahab, ialah salah seorang pendiri Jamiat Kheir, organisasi pendidikan (1901) yang menginspirasi pendirian Boedi Oetomo dan perkumpulan-perkumpulan modern lainnya.
Ketika usianya mencapai 14 tahun, Asad dikirim sang ayah untuk menimba ilmu di Madrasah Syamail Huda Pekalongan, yang diempu oleh Sayyid Muhammad Hasyim, seorang ulama dan sastrawan asal Hadramaut dan pendiri al-Basyir (1914), surat kabar bilingual (Arab dan Melayu) pertama di Hindia Timur.
Dari sang guru, Asad mewarisi kecintaan kepada jurnalisme dan sastra Arab sampai akhirnya memilih jurusan publisistik ketika berkuliah di Geneeskundige Hogeschool. Antara 1938 dan 1942, Asad tercatat aktif sebagai kontributor di surat kabar Mesir al-Mughattan.
Sembilan belas hari selepas proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Asad bersama dengan beberapa rekan wartawan menggulirkan ide pendirian kantor berita berbahasa Arab. Gagasan tersebut adalah sebuah upaya menjawab maklumat Presiden Soekarno yang menekankan pentingnya menjalin hubungan internasional guna membangkitkan kesadaran dan menggulirkan simpati dunia, khususnya negara-negara Asia Afrika, pada perjuangan bangsa Indonesia.
Asad dan rekan-rekannya sepakat untuk menamakan kantor berita tersebut Arabian Press Board (APB). Penggunaan kata ‘Arabian’ sebetulnya bertujuan agar Pemerintah Sipil Hindia Belanda (NICA) menganggap APB memiliki hubungan resmi dengan dunia Arab sehingga tidak dapat serta-merta dibubarkan. Berdiri pada 2 September 1945, APB bermarkas di Jalan Gang Tengah Nomor 19 Salemba yang juga merupakan gudang senjata para pejuang republik.
Setelah resmi berdiri, APB mulai mengabarkan proklamasi dan perjuangan kemerdekaan Indonesia dalam bahasa Arab. Pemberitaan APB yang masif dan berkesinambungan memudahkan masyarakat Timur Tengah untuk terus mengikuti perjuangan bangsa Indonesia.
Kegigihan APB dalam mewartakan upaya Indonesia mempertahankan kemerdekaan menjadi fondasi penting yang turut menyukseskan misi diplomatik Agus Salim. Tak mengherankan jika lima negara pertama yang mengakui kedaulatan Republik Indonesia ialah anggota Liga Arab: Mesir, Suriah, Libanon, Yaman, dan Arab Saudi.
Keberhasilan diplomasi pers Asad Shahab dan rekan-rekannya di APB menunjukkan betapa di tangan mereka, bahasa Arab justru menjadi bahasa perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Penguasaan bahasa Arab dan kemahiran jurnalistik menjadi dua modal utama dalam perjuangan meraih simpati dan dukungan masyarakat Timur Tengah.
Selain sebagai bahasa diplomasi pers dalam perjuangan dekolonisasi, Asad juga menggunakan bahasa Arab untuk menghadirkan Indonesia sebagai sebuah bangsa dengan sejarah panjang kepada masyarakat Timur Tengah.
Di antara buku yang ditulisnya dalam bahasa Arab dan diterbitkan di Timur Tengah ialah Shafahat min Tarikh Indunisia (Lembar-Lembar Sejarah Indonesia), dan Muhammad Hasyim Asy’ari: Awwalu Wadhi’ Libinat Istiqlal Indunisiyya (Muhammad Hasyim Asy’ari: Peletak Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia).
Sebagai seorang Indonesia keturunan Arab, Asad menggunakan bahasa Arab sebagai wahana representasi diri sebagai orang Indonesia. Dia seakan mengingatkan bahwa darah, kemahiran berbahasa, dan keakraban dengan kultur Arab tidak harus menegasikan keindonesiaan.
Pada sosok Asad ketiganya justru menjadi modal utama penegasan identitas kebangsaan.
Di tengah kontestasi wacana ‘Arabisasi,’ ‘pribumisasi,’ dan ‘Islam Nusantara’ yang kerap bergulir di tengah publik dewasa ini, sosok Asad Shahab menunjukkan bahwa Arab dan Indonesia tidak selamanya berada dalam oposisi biner.
Kebinekaan Indonesia justru memungkinkan yang Arab menjadi bagian integral Indonesia selama tidak menegasikan prinsip-prinsip multikulturalitas itu sendiri. (atk)
*Artikel ini pernah dimuat Media Indonesia.