Pada tanggal 9 Februari lalu, Indonesia memperingati Hari Pers Nasional (HPN) yang diselenggarakan di ibu kota provinsi seluruh Indonesia. Hal tersebut merupakan refleksi terhadap perjalanan panjang pers di Indonesia, bahkan sebelum bangsa ini merdeka tahun 1945.
Sebelum Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya, kegiatan pers yang dilakukan wartawan saat itu menggugah kesadaran masyarakat pribumi. Bahkan, pers juga berperan aktif sebagai pemompa semangat perjuangan dalam melepaskan diri dari penjajahan kolonial.
Seiring berjalannya waktu, tepatnya pada tahun 1946, para wartawan dan anggota pers lainnya membentuk suatu organisasi yang menjadi wadah persatuan dari wartawan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, organisasi itu diberi nama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Kemudian, pada tahun 1978, dalam acara Kongres PWI ke-16, beberapa wartawan mengusulkan untuk diadakannya suatu peringatan mengenai peranan pers Indonesia dalam skala nasional. Usulan tersebut ditindaklanjuti dalam sidang Dewan Pers ke-21 yang digelar di Bandung pada 9 Februari 1981. Hingga akhirnya muncul Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1985 yang menetapkan bahwa setiap tanggal 9 Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional.
Interaksi Pers dan Masyarakat
Dalam sistem kemasyarakatan, pers merupakan institusi sosial yang berfungsi sebagai media kontrol, pembentukan opini, dan media edukasi yang keberadaannya dijamin oleh konstitusi. Gesekan antara pers dan masyarakat dapat muncul apabila terdapat sajian atau unggahan yang dianggap merugikan beberapa pihak, baik perorangan atau golongan tertentu.
Interaksi antara pers dan masyarakat dapat berwujud dalam suatu hubungan hukum. Bagi pers, hal tersebut merupakan refleksi nyata dari penyampaian pendapat melalui tulisan yang sekaligus realisasi hak menyampaikan opini dan informasi serta sebagai bentuk kontribusi dalam hal ikut ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’. Sedangkan bagi masyarakat, hal tersebut merupakan realisasi dari hak mendapatkan informasi atau ‘hak untuk tahu’ yang merupakan salah satu bagian penting dari kehidupan.
Menurut Samsul Wahidin (2000), terdapat beberapa pertanggungjawaban moral yang tertuang dalam kode etik pers yang menjadi etika dalam setiap kegiatan atau agenda pers. Kode etik tersebut di antaranya: the reasonable, reader standard, under tanding, objectivity, dan accuracy. Dalam hal menjalin interaksi yang baik antara pers dan masyarakat, maka pers harus mampu mencerminkan lima kode etik tersebut dalam setiap pemberitaan atau penyebarluasan informasi kepada masyarakat.
Selain itu, supaya interaksi tersebut dapat terjalin, masyarakat dituntut mengedepankan pemahaman akan tugas, fungsi dan kinerja pers. Sementara para pekerja pers, secara tersirat ada kewajiban dalam hal meningkatkan profesionalisme dan kompleksitas permasalahannya. Hal itu menjadi penting mengingat semakin terbukanya penyebaran berita palsu (hoax) di tengah masyarakat.
Hak dan Kebebasan Mengemukakan Pendapat
Secara garis besar, fungsi pers indonesia sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 11 Tahun 1966 dan Pasal 3 ayat (2) UU No. 21 Tahun 1982 yang materinya dipindahkan dari GBHN Tahun 1978 dan 1983 bidang Penerangan dan Pers poin (d) adalah sebagai berikut: menyebarluaskan informasi, melakukan kontrol sosial, mewadahi dan menyalurkan aspirasi rakyat, memperluas komunikasi sosial, dan informasi. Sedangkan menurut UU No. 40 Tahun 1999, fungsi pers adalah sebagai media informasi, hiburan, pendidikan dan kontrol sosial.
Dalam hal hak atas informasi, terdapat dua kepentingan yang selalu berinteraksi. Dari pihak pers, informasi didasarkan atas hak untuk menyampaikan informasi. Sementara dari pihak masyarakat, didasarkan terhadap hak untuk memperoleh informasi. Lebih lanjut, hak atas informasi mengandung tiga elemen pokok, yaitu: hak untuk mengumpulkan informasi, hak untuk menyebarkan informasi, dan hak untuk mengkomunikasikan informasi.
Hal tersebut menandakan bahwa pada dasarnya, siapapun tidak boleh dihalang-halangi atau dibatasi untuk mengumpulkan, menyebarkan, serta mengkomunikasikan informasi. Pembatasan hanya boleh dilakukan apabila aktivitas tersebut merusak tatanan kehidupan bermasyarakat. Terlebih di Indonesia dengan berbagai macam agama dan kepercayaan yang dianut penduduknya, yang mana permasalahan agama/kepercayaan sangat rentan akan gesekan. Sehingga, dalam hal ini, pers harus mampu menjadi media kontrol sosial dalam menjaga keberagaman agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia.
Pers dan Kerukunan Agama di Indonesia
Seperti sudah dijelaskan di atas, pers memiliki peran penting dalam kehidupan bermasyarakat. Hal itu menjadikan pers harus mampu memposisikan diri sebagai media penyampai informasi yang ‘sehat’. Sehingga, mampu menjadi benteng bangsa dari kehancuran yang disebabkan tidak adanya kerukunan beragama di tengah masyarakat Indonesia.
Dalam hal penyampaian informasi, pers tentu tidak dapat mengabaikan berbagai macam peristiwa, bahkan konflik-konflik yang terjadi di masyarakat, tidak terkecuali konflik yang mengarah akan goyahnya kerukunan beragama di Indonesia. Di masa sekarang, dengan segala keterbukaan dan kemudahan mendapatkan informasi, sering kali muncul informasi publik tentang konflik agama atau kepercayaan yang (memang) mau tidak mau, suka tidak suka, akan dimuat oleh media untuk diberitakan kepada masyarakat. Pertanyaannya kemudian, bagaimana cara pers menyampaikan informasi seperti itu kepada masyarakat?
Sri Mustika (2004), menjelaskan bahwa fungsi pers dalam konteks kemajemukan masyarakat seperti di Indonesia memang tidaklah mudah. Satu sisi, pers dituntut harus bisa bersikap arif dalam setiap pemberitaan supaya hasilnya mampu mendudukan perkara secara jelas. Di lain sisi, pers acap kali dihadapkan pada pilihan yang pelik yang apabila memiliki ikatan dengan salah satu pihak yang berkonflik.
Menurut Jacob Utama (2002), pers seyogyanya harus mampu memahami setiap persoalan pokok yang terjadi di setiap peristiwa. Terlebih di Indonesia, dengan kemajemukan masyarakatnya mulai dari latar belakang, suku, ras, keturunan, kebudayaan, lingkungan, hingga agamanya. Selain itu, dalam hal penyampaian berita, pers harus selalu memperhatikan persoalan komunikasi antar budaya agar tidak tergelincir menjadi alat pemecah belah kerukunan agama. Dengan begitu, pers dituntut untuk memiliki pengetahuan luas tentang multikulturalisme.
Dalam hal ini, penulis sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh Indi Kurnaini dalam karya ilmiahnya yang berjudul: “Peranan Pers Islam dalam Era Industrialisasi Pers di Indonesia”, bahwa Islam sebagai agama rahmatan lil alamin telah mengatur atau melarang setiap manusia untuk saling mengolok-olok yang nantinya dapat menimbulkan perpecahan antar kelompok. Hal itu tertuang dalam QS Al-Hujurat ayat 11 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, jangan suatu kaum mengolok-ngolok kaum yang lain karena bisa jadi yang diolok-olokan itu lebih baik dari mereka yang mengolok-ngolok….”
Ayat tersebut merupakan himbauan bagi kita supaya tidak saling menjatuhkan, saling menghina, mencaci, melakukan pembenaran terhadap diri sendiri dengan memvonis orang atau kelompok lain ‘salah’, atau tindakan-tindakan lain yang dapat menimbulkan perpecahan. Dalam konteks kemajemukan masyarakat Indonesia, haruslah menumbuhkan rasa toleransi yang tinggi terhadap orang atau kelompok lain yang berbeda. Karena sejatinya, semua manusia itu sama, yang berbeda hanyalah nafsu keserakahan kita sendiri.