Sedang Membaca
Inilah Nama Tuhan yang Keseratus
Irfan L Sarhindi
Penulis Kolom

Penulis lepas dan Guru di Pesantren Cianjur, Jawa Barat.

Inilah Nama Tuhan yang Keseratus

Bertemunya Agama dengan Adat

Setidaknya ada dua pengalaman yang bisa saya tarik dari koleksi ingatan yang membuat saya sering merasa bahwa Tuhan sebetulnya suka “main-main”. Tentu penyifatan tersebut tidak dalam rangka mempersamakan-Nya dengan manusia yang serba butuh sifat-karakter, melainkan untuk mempermudah akal pikiran lemah saya dalam memahami kemaha-segalaan-Nya.

Apa saja dua pengalaman itu? Yang pertama melibatkan seorang pramugari dalam perjalanan saya dari Jakarta ke Singapura. Yang kedua melibatkan seorang pedagang kebab asal Bangladesh di pasar mingguan Barking, London Timur.

Mari kita mulai dari yang pertama. Maret 2017 itu saya harus pergi ke Belanda untuk ikut konferensi internasional pertama saya dan oleh sebab tidak mendapatkan sponsor, berbekal tabungan sisa beasiswa dengan status masih nganggur pasca lulus, saya harus berhemat sebisa mungkin.

Setelah riset sedemikian rupa akhrnya saya menemukan jalur yang relatif murah tetapi PR banget menuju Amsterdam: Jakarta-Singapura naik Lion Air, Singapura-Amsterdam via Istanbul naik Turkish Airlines.

Tidak ada concern apapun terkait Turkish Airlines—saya suka iklan keselamatannya!—tetapi Lion Air? Hmmm, tunggu dulu! Kejadian ini terjadi sebelum tragedi jatuhnya Lion Air di Perairan Karawang tetapi citra Lion Air tidak bisa dibilang ‘sangat baik’ pada waktu itu.

Dengan catatan beberapa kecelakaan ditambah delay penerbangan, Lion Air cenderung ‘hanya’ unggul terutama dalam hal harga. Seperti kata CEO Lion Air, “orang Indonesia tidak punya pilihan….” Ya, betul, orang Indonesia macam saya ini. Alhasil, dengan berbekal paranoia tersebut, perjalanan Jakarta-Singapura terasa lebih horor ketimbang Singapura-Istanbul dan Istanbul-Amsterdam kendati secara jarak dan durasi waktu lebih sedikit.

Baca juga:  "Qutbiisme" dan Kepongahan Saintifik: Mengapa al-Ghazali Masih Relevan Sekarang

Sejak tiba di bandara hingga masuk ke pesawat saya terus berdoa, sambil meyakinkan diri bahwa ketakutan saya berlebihan, bahwa pesawat dan penerbangan ini akan baik-baik saja, bahwa umur saya masih akan panjang—apalagi belum menikah.

Tak berapa lama setelah duduk, pramugari meminta saya pindah tempat duduk ke saf depan, dan tebak di mana? Persis di samping pintu darurat evakuasi! Kepada saya, pramugrari tersebut menjelaskan cara membuka pintu evakuasi jika pesawat mengalami kecelakaan—dan dengan panik, tetapi stay cool, saya mendengarkan dan mencermati.

Setelah pramugari tersebut pergi saya mengingat dan mengingat kembali urutan tata cara membuka pintu evakuasi, berpikir bahwa keselamatan penumpang—jika kecelakaan terjadi—nyaris sepenuhnya ada di bahu saya.

Untunglah, sebagaimana bisa ditebak, pesawat mendarat selamat dan jika mengingat kembali pengalaman itu, saya semakin merasa bagaimana Tuhan Maha Jenaka. Tuhan mahatahu saya parno berlebihan, sehingga Beliau mencandai saya dengan ‘tugas’ yang justru merupakan inti dari keparnoan saya tersebut. Seperti prank!

Pengalaman kedua terjadi saat suatu Sabtu, bersama seorang flatmate pergi ke Pasar Mingguan di sekitar supermarket ASDA, di bilangan Barking—distrik paling kumuh dan ‘tidak membahagiakan’ di London. Setelah berjalan lebih kurang lima belas menit dari rumah melewati stasiun kereta, setelah separuh berkeliling untuk window shopping, kami ngaso sebentar di dekat penjual kebab.

Baca juga:  Humor Gus Dur: Gitu Aja, Kok...

Seorang Bangladesh, dia itu. Berjualan bersama istrinya. Ketika saya mendekat, dia mengerutkan kening seperti seorang yang berusaha mengingat temannya.

Dia bertanya: Anda seorang muslim? Ya, jawab saya. Terkagum-kagum dia melanjutkan, “Anda ahli surga.”

Kemarilah dan doakan kami—kita semua, katanya mengedip ke filatmate saya—agar kita masuk surga.

Saya terbahak, berlagak mendoakan sekenanya, dan pergi setelah mendapatkan kebab yang kami pesan dan bayar—tidak, kebabnya tidak serta-merta jadi gratis. Kami makan dengan lahap sambil lanjut berkeliling dan saya kembali merasa bahwa ini adalah bentuk ‘selera humor’-Nya.

Bagaimana tidak, pertama, saya merasa tuduhan penjual kebab tersebut bersumber dari adanya dua tanda hitam di jidat saya. Tanda yang sebenarnya sudah ada jauh sebelum tanda itu menjadi problematis dan bahan olok-olok.

Kenapa tanda tersebut menjadi olok-olok? Mula-mula tanda hitam tersebut dianggap sebagai bukti harfiah atsar sujud, sedangkan atsar sujud adalah tanda ketakwaan seseorang. Ketika tren Islam bercorak tekstualis-skriptualis menyebar, stigma atsar sujud sebagai dua tanda hitam di jidat tidak hanya menguat, tetapi bahkan didiseminasi.

Orang jadi, seolah-olah, frankly speaking, bercita-cita hitam jidatnya—biar absah dianggap ustaz atau ulama atau orang saleh. Sayangnya kemudian, muncul fenomena di mana sebagain dari mereka, dalam upaya mengklaim kesalehannya, menganggap yang lain salah sehingga orang kemudian mulai mempertanyakan—secara serius—tanda hitam di jidat itu.

Baca juga:  Humor Gus Dur: Kiai yang Tak Mampu Bayar Eternit

Muncullah counter-narative yang menegaskan bahwa dua tanda hitam di jidat bukan tanda kesalehan tetapi tanda kesalahan saat sujud. Atau jangan-jangan akibat digosok-gosok oleh batu, kata sebagian secara sarkas.

Sebagai orang yang jidatnya sudah hitam sebelum hal ini jadi perdebatan dan olok-olok, saya memilih untuk menganggap bahwa bisa jadi memang selama ini saya salah dalam sujud, tetapi jikapun demikian, tanda hitam di jidat ini muncul bukan sebagai sesuatu yang secara terstruktur saya bikin dan upayakan. Apalagi harus digosok-gosok pakai batu seperti orang kurang kerjaan.

Tetapi saya menerima tanda itu, pada akhirnya, sebagai cara Tuhan ‘menertawakan’ saya. Tuhan Mahatahu betapa banyak kelemahpapaan saya, dosa-dosa tersembunyi dan aib-aib yang Tuhan masih rahasiakan dari orang lain, sehingga dengan bantuan privilege sebagai anak kiai, berbekal portofolio lumayan bagus sebagai anak ‘baik-baik’, ditambah stempel hitam di jidat, orang jadi merasa saya ini adalah contoh suri tauladan zaman now.

Dengan munculnya kesan itu, amat dengan mudah orang menganggap saya baik sekaligus mudah bagi saya untuk bersikap manipulatif berkedok jidat hitam. Dan di situlah sebetulnya cara Tuhan menertawakan saya, membuat saya tetap eling untuk tahu diri, karena terlepas dari apapun citra yang orang lain tangkap tentang saya. Inilah saya kira, nama Tuhan yang keseratus: Mahalucu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
2
Senang
2
Terhibur
4
Terinspirasi
2
Terkejut
3
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top