Kalau Pramoedya Ananta Toer mencipta novel berjenis otobiografi dalam “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”, yang berakar dari pergelutan batin bangsanya, bukan berarti ia dapat dikategorikan sebagai sastrawan penganut paham eksistensialisme Barat. Lain halnya dengan Iwan Simatupang yang terlampau masuk ke dalam spiritual black hole, seakan-akan hidup ini cuma persinggahan sebentar untuk minum, tak dimintai pertanggungjawaban apapun atas amal perbuatan manusia di kemudian hari.
Hal ini kita rasakan pula apabila mau serius meluangkan waktu untuk fokus membaca novel “Perasaan Orang Banten” (POB) dari satu bab ke bab lainnya. Nampak adanya keterkaitan dan harmoni yang tak bisa dilepaskan dari karakter penulisnya, Hafis Azhari, sebagai putera kelahiran Cilegon, wilayah paling utara Banten yang sangat kental dengan perkawinan mistik Hindu, Jawa-Mataram, Cirebon, hingga monotheisme Islam. Apalagi sang penulis pernah pula mendalami studi filsafat Barat di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sehingga pergelutan pemikiran antara tradisi Hinduisme, Islam dan filsafat Barat sangat kental dalam goresan-goresan pena yang dituangkannya.
Di sinilah Hafis Azhari memanfaatkan teknik eksistensialisme Barat, tetapi jiwa dari monotheisme Islam yang pernah didakwahkan Walisongo terus menyala dan berkobar dalam batin dan imajinasinya. Misalnya, pada tokoh Kiyai Muhaimin yang mencerminkan corak dari originalitas Islam yang terus dilestarikan. Petuah-petuah religius yang sederhana disampaikannya dengan membawa kehangatan akan perubahan Indonesia, dari gempuran dan serangan neo-liberalisme dan imperialisme. Misalnya dalam menangani problem kemasyarakatan, ketika para artis terjerat narkoba, kaum muda yang menuntut spiritualitas baru, politisi kita yang gemar suap sana suap sini, hingga urusan rumah-tangga yang membelit keluarga Haji Mahmud, Bang Jali, Nyi Hindun, Bi Marfuah dan seterusnya.
Tidak ketinggalan pula ditampilkan karakter politisi karbitan dengan kebiasaan mondar-mandir ke makam Kiyai Wasid dan makam Sultan Hasanuddin di masjid agung Banten, tetapi motif apakah di balik maksud-maksud dari ziarah kubur tersebut? Apakah bermaksud mendoakan sang penghuni kubur yang seiman dan seagama (tangan di atas) ataukah cuma minta-minta dengan khusuk agar diposisikan dalam kursi jabatan dan kedudukan, maupun kekayaan duniawi (tangan di bawah)?
Novel POB yang bersetting di sekitar Kampung Jombang, Kota Cilegon, cukup mencerminkan watak dan karakter penulisnya, sekaligus karakter keindonesiaan kita (baca: cerpen “Kampung Abal-abal”). Karenanya, sangat layak disebut sebagai corak dan miniatur Indonesia.
Secara eksplisit terkandung gugatan yang bersifat universal, jangan-jangan cita-rasa keislaman mayoritas rakyat Indonesia memang sejenis dengan cita-rasa kekristenan yang ortodoks di Rusia (Dostoyevski) maupun di Amerika Latin (Steinbeck), dengan tanpa ragu menampilkan tokoh yang minta duduk paling muka di ruang majlis ta’lim, tanpa ambil pusing dirinya telah menjadi bagian dari komprador lintah darat, penjilat atasan dan penindas kaum bawahan.
Ataukah kita ini sejenis kaum Indo dalam pemikiran dan cita-rasa, hingga proses hilir mudik antara Timur dan Barat, Tuhan dan Dewa-dewi terus melekat dalam sanubari masyarakat Indonesia. Coba perhatikan kalimat di bawah ini:
“Terus saja pikirannya dibayangi oleh perkiraan negatif yang akan menerpa dirinya. Dalam situasi yang sangat mencemaskan itu Nyi Hindun menyempatkan diri membaca Surat Al-Falaq. Namun demikian ia masih kurang puas dengan bacaan Quran, hingga keesokannya berangkat ke rumah Mbah Sumadi di sekitar Gunung Karang, Pandeglang, agar sudi kiranya Mbah Dukun itu memberi azimat dan mantra-mantra guna menangkal segala kemungkinan marabahaya yang bisa menimpa dirinya.” (Perasaan Orang Banten, hlm. 66).
Tapi rupanya, Hafis Azhari yang memang pernah mengadakan studi sastra secara intensif di kediaman Pramoedya Ananta Toer saat berstatus “tahanan kota”. Juga pernah bekerjasama untuk penulisan buku Liber Amicorum Bung Karno (Hasta Mitra, 2001) telah sanggup menampilkan jenis sastra yang berbeda dengan keseriusan Pram selaku gurunya. Penuh dengan kejutan dan luapan emosi, fantasi dan imajinasi yang barock tetapi betul-betul mengajak pembaca untuk merenung dan menertawakan diri sendiri. Coba perhatian kata-kata berikut ini:
“Para ibu majlis ta’lim nampak pula mengenakan kerudung kuning-kuning, bahkan sempat-sempatnya membawa bendera bergambar Tubagus Kusen. Mereka saling bercakap dan gembira ria, serta berebut mengambil posisi di depan panggung dengan harapan bisa menyaksikan musik dangdut yang dimeriahkan Poppy Ratnasasari, juga Dewi Perez, seorang artis ibukota yang khusus didatangkan dari Jakarta. Acara pun dimulai dengan pembacaan ayat-ayat Quran, menyusul seorang dirijen memimpin lagu Indonesia Raya. Tepuk tangan riuh membahana ketika muncul sang calon gubernur memukul gong sebagai tanda dibukanya acara kampanye. Seusai pembacaan sajak berjudul ‘Solatnya Para Politisi’, Ketua Dewan Pimpinan Pusat, Hardono, maju ke depan mimbar untuk membacakan pidato politiknya. Kali ini dinyatakan bahwa organisasi Bongkar mempunyai program-program yang disesuaikan dengan perkembangan reformasi. Ia nampak bergairah ketika membeberkan program di bidang pembangunan, namun ketika masuk ke persoalan pendidikan dan kebudayaan, tiba-tiba tenggorokannya tersedak seperti tersangkut tulang ikan. Tepuk tangan semakin menjadi-jadi ketika kedua artis itu berduet dan bergoyang menyanyikan lagu berjudul, “Kang Mas dan Janji Manismu”. (Perasaan Orang Banten, hlm. 114-115).