Sedang Membaca
Mengenang Goethe di Weimar
Irawati Prillia
Penulis Kolom

Seorang sarjana Teknik Lingkungan. Sekarang bekerja di sebuah laboratorium reserach & development sebuah perusahaan skincare di Jerman. Tinggal di desa kecil bernama Stockheim antara kota Cologne dan Aachen. Akun facebook atas nama Irawati Prillia.

Mengenang Goethe di Weimar

Monumen Goethe Schiller

Dengan penduduk sejumlah kira-kira 65 ribu jiwa, Weimar bukan termasuk kota besar. Pun bukan kota yang luas. Kedua alasan tersebut tak menghalangi Weimar untuk menjadi kota budaya mencengangkan. Ia ditahbiskan sebagai Ibukota Budaya Eropa tahun 1999. Tak kalah dengan kota-kota besar Eropa seperti Paris, Amsterdam, Athena, Stockholm, yang juga pernah ketiban sampur Ibukota Budaya Eropa.

Saya dan keluarga mengunjungi Weimar di negara bagian Thuringia, Jerman, pada musim panas tahun pandemi. Lockdown di Jerman mulai longgar. Jumlah kasus di pertengahan tahun sangat berkurang. Protokol kesehatan tetap diberlakukan. Terutama jika kita memasuki ruangan tertutup.

Kota Weimar, yang di abad 18-19 berpenduduk hanya 6 ribu-an jiwa, adalah kota para intelektual Jerman. Memikat orang-orang seperti Christoph Martin Wieland (1733-1813), Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832), Johann Cristoph Friedrich Schiller (1759-1805), Johann Gottfried Herder (1744-1803). Zaman kehidupan para penyair dan pemikir itu di Weimar dikenal sebagai Weimarer Klasik. Masa dimana karya-karya literatur hebat dan mendunia penulis Jerman dihasilkan. Atas andil merekalah Weimar diganjar sebagai kota warisan budaya Unesco tahun 1998.

Goethe yang menghabiskan lebih dari separuh usianya di Weimar, datang kemari tahun 1775 memenuhi undangan pangeran Carl August von Sachsen-Weimar-Eisenach. Seorang bangsawan yang tak terlalu luas daerah kekuasaannya. Di Weimar, selain aktif menulis, Goethe memiliki berbagai karir politik: menteri keuangan, kepala perpustakaan, pemimpin teater, hingga peneliti.

Setengah harian kami berjalan kaki mengunjungi beberapa tempat yang akrab dengan Goethe. Weimar kota ramah pejalan kaki. Objek-objek wisata utamanya lumayan berdekatan. Pagi-pagi kami sudah memarkir kendaraan di spot parkir bawah tanah di samping Taman Park an der Ilm. Destinasi pertama kami adalah Perpustakaan Anna Amalia, di ujung taman.

Di masa pandemi, saya sebenarnya menghindari masuk ke dalam ruangan tertutup.  Tetapi saya kecualikan perpustakaan ini. Tempat ini sudah lama sekali ingin saya datangi. Sebuah perpustakaan yang digadang-gadang sebagai salah satu perpustakaan terindah di Jerman. Siapa tak penasaran dibuatnya? Antrian sudah panjang ketika kami sampai di depan gedung perpustakaan. Antrian rapi dan jaga jarak.

Baca juga:  Menyuarakan Kemanusiaan Bersepeda dari Klaten sampai Makkah

Sekira sejam menunggu, petugas mempersilakan kami berempat masuk. Ibu petugas mengarahkan kami ke tempat disinfeksi tangan, meminta kami mengisi formulir sebelum menunjukkan konter pembelian tiket. Ruangan perpustakaan utama berada di lantai 2. Ibu petugas berikutnya menunjukkan alas kaki tebal yang harus kami pakai. Lantai  kayu perpustakaan sudah ratusan tahun umurnya. Harus dijaga dengan baik. Ruangan utama perpustakaan sungguh istimewa. Terdiri dari 3 lantai. Namun kami hanya boleh berdiam di aula utama.

Kabar kecantikan interior perpustakaan dibangun tahun 1691 memang bukan isapan jempol belaka. Mulai dari dindingnya yang didominasi warna putih berhias warna emas, lantai kayu kunonya yang licin, penataan ruangan yang didominasi lengkungan dan dihubungkan pintu terbuka berbentuk busur, dekorasi berupa patung-patung dan lukisan, hingga koleksi buku-buku kunonya yang tak boleh disentuh pengunjung biasa. Semua istimewa. Untuk bisa membaca naskah kuno berjumlah sekitar 40 puluh ribu judul, perlu izin khusus. Biasanya diperuntukkan bagi para peneliti. Goethe mengepalai perpustakaan ini dari tahun 1797-1832. Beliau memastikan perpustakaan Anna Amalia memperoleh buku-buku bermutu, memperbaiki birokrasi dan melakukan renovasi.

Dari perpustakaan, kami menyeberang ke ruangan terbuka Platz der Demokratie. Di tengahnya berdiri monumen patung berkuda Carl-August. Bangsawan Jerman masa silam sering digambarkan sedang menunggang kuda. Kami menuruni jalan di tepi Park an der Ilm untuk berfoto di depan Stadtschloss (Istana) Weimar. Sebuah kompleks bangunan yang rasanya terdiri dari tiga bagian berbeda. Terdepan berfasad abu-abu. Sebuah menara batu, setengah ke atas berwarna hitam di bagian tengah, dan sebuah bangunan lebih luas di bagian kanan. Setelah terbakar tahun 1744, Goethe membantu perencanaan renovasi di tahun 1789. Di tempat inilah para bangsawan Weimar berkumpul. Sejak tahun 1923 kompleks bangunan ini berfungsi sebagai museum.

Baca juga:  Cerita Santri Muda Indonesia di Amerika

Cuaca hari yang cerah dan hangat hari itu menjadikan pusat Weimar ramai. Saya jatuh cinta pada kota ini. Tidak terlalu besar, nyaman,  pohon-pohon rindang tumbuh di tepian jalan, dan berasa sekali hasrat mereka terhadap dunia literasi dan budaya. Banyak saya jumpai toko-toko buku ramai didatangi orang. Beberapa bagian kota sedang direnovasi. Melewati bekas rumah dan museum Friedrich Schiller, kami sampai di tempat terbuka berisi Monumen Goethe-Schiller.

Persahabatan dua penyair besar Jerman bermula tahun 1794. Goethe tidak menyembunyikan kekagumannya pada Schiller. Yang disebutnya sebagai jenius literatur terhebat di zamannya. Goethe merasa, hanya Schiller yang mampu memahami cita rasa karya seni dan sastra miliknya. Goethe dan Schiller saling berkirim surat, bekerja sama menerbitkan majalah literatur: Die Horen, bahkan menciptakan gubahan berdua. Ketika Schiller meninggal dunia di usia 45 tahun akibat radang paru-paru, Goethe merasa separuh dirinya ikut pergi.

Dua patung Goethe dan Schiller berdiri tegak di depan gedung teater Weimar. Adalah pematung Ernst Rietschel pembuatnya. Tangan kiri Goethe menyentuh pundah Schiller, tangan kanan memegang mahkota daun. Kedua patung memandang ke arah berbeda. Para turis, termasuk saya bergantian berfoto dengan latar belakang monumen.

Rumah Goethe, beralamat di Frauenplan, berjarak kira-kira 400 meter dari monumen. Setengah abad lamanya Goethe mukim di sana. Di dalam bangunan tiga lantai berdinding warna kuning. Mulanya sebagai penyewa, hingga Carl August menghadiahkan bangunan tersebut pada Goethe. Di sanalah ia tinggal bersama keluarga dan para asisten. Mebel, memorabilia, alat-alat rumah tangga dipamerkan sehingga pengunjung bisa membayangkan gaya hidup Goethe di masa silam.

Lewat tengah hari, kami berjalan ke arah selatan. Ke sebuah kompleks pekuburan. Dari luar terlihat seperti sebuah taman raksasa dikelilingi tembok lumayan tinggi.  Pekuburan kuno untuk warga dan kaum bangsawan Weimar. DI tempat inilah banyak sosok penting dalam sejarah menempati peristirahatan terakhirnya. Termasuk Goete, Schiller, dan Carl August. Mereka bertiga beristirahat di dalam sebuah gedung tersendiri, Fuerstengruft.

Baca juga:  Kiai Bisri Syansuri Ketemu Jodoh di Pelabuhan

Menyeberangi jalan, melewati gedung Universitas Bauhaus Weimar, kami kembali ke Taman Park an der Ilm. Taman ini berada di tepian sungai Ilm. Tempat ini sungguh nyaman buat rekreasi. Pohonnya rindang, bunga-bunganya terawat rapi dan bersih. Orang jogging, berjalan-jalan sendiri atau bersama rombongan, mempraktikkan yoga, bermain musik, membaca buku, atau sekadar duduk-duduk beralas rumput.

Sebelum kembali ke tempat parkir, kami sempatkan sekali lagi menengok satu monumen sederhana sepi pengunjung. Monumen Goethe-Hafiz.

Goethe mengenal karya penyair Persia Shamsuddin Muhammad Hafiz dari Shiraz (kira-kira 1320-1389) di usianya ke 65. Setelah meminta Joseph von Hammer menerjemahkan karya Hafiz, Divan. Membaca Divan, Goethe merasa dirinya menembus batas waktu, geografis, agama, dan budaya. Ia rasakan kedekatan dengan penyair muslim Persia dari abad 14 tersebut, menganggap Hafiz sebagai kembaran jiwanya. Menginspirasi dan membangkitkan semangat Goethe menggubah West-Eastern Divan saat usianya sudah tidak muda.

Representasi bagi Hafiz dan Goethe digambarkan melalui dua kursi batu granit berukuran besar, mirip singgasana. Diresmikan tahun 2000 oleh mantan presiden Jerman Johannes Rau dan mantan presiden Iran, Mohammad Khatami. Kedua kursi berdiri saling berhadapan. Sama besar, sama tinggi. Keduanya berdiri di atas sebuah lempengan perunggu persegi, permukaannya bermotif bintang. Bagian tengah lempengan berhias sebuah gazal dari Divan karya Hafiz dalam bahasa Persia. Sedangnya di belakang kedua kursi kita bisa membaca potongan syair gubahan Goethe dari West-Eastern Divan, dalam bahasa Jerman.

Kedua kursi berhadapan tersebut bisa jadi merupakan simbol komunikasi antar budaya dan agama, toleransi budaya, serta pemahaman antar bangsa. Di satu sisi Hafiz, seorang muslim dari dunia timur. Di sisi lain Goethe, seorang kristiani dari barat. Keduanya berdiri sama tinggi. Seperti petikan karya Goethe: Barangsiapa mengenal diri dan orang lain, akan juga mengenali, bahwa timur dan barat, tak akan terpisahkan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top