Sedang Membaca
Kenangan Bersama Abah Anom: Yang Waras Ngalah
Imam Safe'i
Penulis Kolom

Kepala Pusan Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan, Kementerian Agama RI

Kenangan Bersama Abah Anom: Yang Waras Ngalah

Abah Anom Suryalaya

Sambil menikmati libur akhir pekan di Pondok Pendawa (Pesantren Entrepreneurship Pemuda dan Mahasiswa), saya sempatkan ngobrol dengan para santri yang baru istitarahat kerja bakti.

Di lembaga ini setiap paginya ada kegiatan rutin setelah salat Subuh berjamaah dan baca Al-Qur’an dilanjutkan gotong royong bersih-bersih di lingkungan pondok. Setelah ikut nyapu dan menata tanaman, kami bersama-sama santri duduk-duduk di pinggir kolam ikan yang Insya Allah tidak lama lagi akan berubah menjadi HolydayResto yang akan menyajikan menu khusus di hari Sabtu dan Minggu. Kenapa disebut HolydayResto?

Karena kantin ini memang diproyeksikan bagi siapa saja yang ingin menikmati akhir pekannya di pondok. Tentu saja orang yang berlibur ke sini bukan hanya untuk menghabiskan hari liburnya saja tetapi diharapkan juga ikut mengaji bersama jamaah lain yang tergabung dalam kegiatan PAUL (Pendidikan Agama Usia Lanjut).

Di saat ngobrol dan menikmati kopi buatan santri itulah, tiba-tiba saya teringat peristiwa beberapa tahun lalu ketika masih menjadi mahasiswa pasca IKIP Negeri Yogyakarta yang sekarang berubah menjadi Universitas Negeri Yogyakarta dan ada yang membuat plesetan UNYIL (Universitas Negeri Yogya IKIP Lama). Ketika itu saya biasa memanfaatkan hari Sabtu-Minggu bersilaturahim mengunjungi pondok-pondok pesantren di sekitar pulau Jawa. Kenangan yang tiba-tiba muncul adalah ketika kunjungan di Pondok Pesantren al-Inabah Suryalaya yang diasuh oleh Abah Anom, di Tasikmalaya, Jawa Barat.

Saat itu, di sela-sela mengikuti acara Muktamar NU di Pondok Pesantren Cipasung Tasikmalaya Jawa Barat Tahun 1994, saya menyempatkan berkunjung ke Pondok Pesantren al-Inabah yang diasuh oleh Syeikh Ahmad Shahibul Wafa Tajul Arifin atau yang dikenal dengan panggilan Abah Anom. Saya tertarik berkunjung ke pondok pesantren ini karena mendengar cerita teman-teman dan dari pelbagai sumber yang saya baca terkait proses penyembuhan dengan “Metode Inabah” bagi eks pengguna dan pecandu narkoba.

Baca juga:  Dialog Imajiner Djaduk Ferianto dan Didi Kempot: Tak Ada Kaplingan di Surga

Alhamdulillah saya bisa sowan ke Abah Anom dan bisa bertemu cukup lama. Pertama saya dapat penjelasan dari beliau mengenai makna gerakan zikir yang biasa diamalkan oleh pengamal Thariqah Qadiriyah Naqshabandiyah. Beliau menjelaskan makna-makna simbolik di balik gerakan-gerakan penganut thariqah ini ketika melafalkan kalimat la ilaha iIallah yang disuarakan keras dengan menggelengkan kepalanya ke depan belakang, kiri kanan, dan atas bawah.

Luar biasa, ternyata makna dari sebuah gerakan yang ketika dilihat dari orang luar tampak sederhana tetapi memiliki arti yang dalam dan sangat bermakna bagi yang mengamalkannya. Beliau menjelaskan bahwa makna gerakan ini adalah kita meminta perlindungan kepada Allah Swt dari godaan setan dari pelbagai penjuru, dari kanan, kiri, atas, bawah, depan dan belakang. Hal ini sebagai respon terhada pesan tersirat dan tersurat dari surat al-A’raf ayat 16-17.

Kita menyadari betul bahwa godaan setan itu bisa melaui atasan dan bawahan, teman-teman dari kiri kanan kita dan orang-orang di belakang dan di depan kita. Dengan penghayatan yang mendalam seperti ini maka akan tampak orang-orang yang berzikir bisa melupakan semuanya kecuali kepada Allah. Ini sedikit simpulan dan makna yang bisa saya tangkap dari penjelasan Abah terkait dengan gerakan zikir tersebut.

Setelah mendapat wejangan seputar thariqah, saya diizinkan menginap di kediaman beliau. Saya dipersilakan menuju barak di lantai dua. Betapa gagetnya, di ruang ini sudah banyak penghuni sebelumnya. Bukan banyaknya orang yang mengagetkan tetapi di antara mereka adalah orang-orang yang kurang waras secara fisik karena mereka adalah para korban pengguna narkoba yang masih dalam proses rehabilitasi. Ada yang ngomel-ngomel sendiri dan ada juga yang berteriak-teriak. Saya hampir tidak bisa tertidur sepanjang malam berkumpul dengan orang-orang ini dalam satu ruangan karena takut kalau tiba-tiba ada yang memukul atau mereka berbuat kasar yang lain. Karena di samping mereka adalah korban pecandu narkoba, banyak juga orang-orang yang memiliki kelainan jiwa yang sedang berobat di sana. Yang sebenarnya menjadi pertanyaan dalam hati saya adalah kenapa Abah Anom menempatkan saya tidur bersama mereka. Saya terus merenung dan bertanya dalam hati sepanjang malam.

Baca juga:  KH Idham Chalid: Ulama-Politisi NU Pilih Tanding

Keesokan harinya, ternyata setelah saya terus renungkan secara mendalam saya menemukan jawabannya. Sebelumnya, di luar atau ketika saya berada di tengah-tengah masyarakat sering mendengar ungkapan Yang Waras Ngalah. Dan ketika mendengar ungkapan itu saya kurang memahami maknanya dan saya anggap itu kalimat biasa.

Setelah peristiwa ini, saya baru memahami dan menyadari. Dalam kondisi tertentu atau kondisi yang tidak normal Yang Waras Harus Ngalah. Berada di situasi seperti ini memang harus hati-hati karena ada kecenderungan kalau yang normal dikumpulkan dengan yang tidak normal, meskipun jumlah yang normal lebih banyak biasanya yang kalah dan terpengaruh adalah yang normal. Memang dari awal pasti yang terbebani yang normal atau yang waras dibandingkan dengan yang tidak normal.

Ada contoh sederhana yang sedikit membenarkan tesis ini. Ketika ada seorang pengendara motor yang yang tiba-tiba ban motornya pecah lalu mendatangi seorang tambal ban. Karena ingin menguji tesis ini, pemilik motor datang membawa motornya pada tukang tambal ban dengan pura-pura sebagai orang bisu. Sebagaimana orang bisu, semua gerak-geriknya dan kata-kata yang muncul dari ucapannya sangat meyakinkan kepada tukang tambal ban bahwa dia seorang bisu.

Akhirnya tukang tambal ban berbicara dan melayani dengan berusaha mengikuti dan menirukan gayanya orang bisu. Bahkan teman-teman tukang tambal ban banyak yang nimbrung ikut menggoda orang yang berpura-pura bisu itu dengan ngikuti gayanya orang bisu. Dalam hati orang yang menambalkan motornya bergumam, ternyata benar tesis saya, Kalau orang normal dikumpulkan dengan yang tidak nornal, yang normal kalah dan cenderung mengikuti yang tidak normal.

Baca juga:  Saya Tak Mau Jadi Guru seperti Bapakku

Kita juga bisa melihat contoh lain, terpampang banyak di jalan-jalan raya sebuah jargon yang berbunyi “Utamakan Keselamatan” dan bukan “Utamakan Kebenaran”. Karena di jalan raya itu adalah termasuk kondisi yang tidak normal, kadang-kadang kita bertemu dengan pengguna jalan yang ugal-ugalan, pengemudi mabuk, SIM-nya palsu, orang yang baru bisa mengemudi dan lain-lain. Dalam kondisi seperti ini, kita harus mengutamakan keselamatan bukan kebenaran atau yang waras ngalah. Meskipun benar tetapi kalau bonyok gimana?

Fenomena ini akhirnya menyisakan satu pertanyaan: Bagaimana kalau ada yang ngomong dan komentar seperti ini, “Kalau yang Waras Ngalah yang Gila yang Berkuasa”? Dan ada pernyataan terkadang menimpalin, “Kalau yang Waras tidak Mau Ngalah maka Berarti Sama Gilanya”. Lalu yang betul yang mana?

Sudahlah, nggak usah pusing-pusing, kita sama-sama berdoa saja semoga yang gila segera waras dan yang waras tidak menjadi gila. Dan mudah-mudahan tidak terjadi karena yang banyak adalah yang tidak waras maka yang waras dianggap tidak waras (gila) atau berusaha ikut gila saja. Embuh Wisss...
Semoga manfaat. 🙏🏻🙏🏻

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
2
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top